Mengintip Kebiasaan Suku Korowai, Pemilik Rumah Pohon Tertinggi di Papua

Mengintip Kebiasaan Suku Korowai, Pemilik Rumah Pohon Tertinggi di Papua
info gambar utama

Tidak hanya dikenal dengan kekayaan akan flora dan faunnyanya, Papua masih memiliki suku-suku asli yang mempunyai kehidupan yang unik dan menarik. Di sebelah selatan Papua terdapat daerah yang diapit oleh dua sungai besar dan gunung-gunung dari sisi utara yakni Suku pedalaman asli Papua yang dikenal dengan sebutan Suku Korowai.

Korowai adalah suku yang keberadaannya baru saja ditemukan sekitar 35 tahun lalu di pedalaman Papua oleh misionaris Belanda Johanes Veldhuizen. Suku ini mendiami wilayah Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua. Populasi mereka saat ini mencapai sekitar 3000 orang.

Salah satu keunikan dari suku ini yaitu selain tidak menggunakan koteka suku Korowai hidup dan tinggal di atas pohon yang tinggi, rumah yang mereka buat biasanya terletak dibagian dahan dengan ketinggian mencapai 15-50 meter.

Rumah Pohon Tinggi Suku Korowai | Foto : Georgeteinmetz
info gambar

Suku Korowai membangun rumah di atas pohon bertujuan agar terhindar dari binatang buas dan juga gangguan dari roh jahat, suku ini takut terhadap serangan “laleo” atau iblis yang kejam.

Konon katanya laleo merupakan makhluk yang berjalan layaknya seperti mayat hidup dan berkeliaran pada malam hari. Sebutan laleo ditujukan untuk semua orang asing yang tidak termasuk penduduk mereka, bahkan orang-orang Papua lainnya pun bisa disebut dengan julukan laleo. Mereka percaya bahwa, semakin tinggi rumah yang mereka buat maka akan semakin terhindar dari gangguan roh-roh jahat.

Terlepas dari segala alasan tersebut, suku Korowai begitu menghargai nenek moyangnya. Oleh karena itu, mereka juga menganggap bahwa rumah tinggi tersebut merupakan warisan dari leluhur yang harus tetap dilaksanakan, sehingga mereka akan tetap merasa nyaman dan aman meskipun harus bersusah payah memanjat pohon yang tinggi.

Dalam pembuatan rumah pohon ini, suku Korowai tidak sembarangan dalam memilih pohon. Mereka akan memilih pohon-pohon yang besar dan kokoh untuk dijadikan sebagai pondasi rumahnya, kemudian pucuk pohon tersebut digunduli dan dijadikan sebagai hunian rumah mereka.

Semua bahan yang digunakan untuk pembuatan rumah tinggi ini terbuat dari bahan alami, kerangka rumahnya pun terbuat dari batang-batang kayu kecil, sedangkan lantainya menggunakan cabang pohon. Kemudian, mereka memanfaatkan kulit pohon sagu dan daun hutan sebagai dinding dan atap rumahnya. Setelah itu semua bahan tersebut diikat menggunakan tali yang berasal dari ranting atau akar yang kuat.

Biasanya, pembuatan rumah pohon ini bisa memakan waktu sekitar tujuh hari, karena suku ini masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya, sehingga sebelum mendirikan rumah tersebut suku Korowai akan melakukan ritual malam terlebih dahulu guna mengusir roh jahat. Rumah pohon ini biasanya hanya bertahan hingga tiga tahun lamanya, hal tersebut dikarenakan rumah mereka hanya menggunakan bahan-bahan alami saja.

Mereka memanfaatkan hutan yang lebat sebagai sendi-sendi kehidupan, sementara hewan seperti babi dan anjing hutan dijadikan sebagai hewan peliharaan suku Korowai. Bagi mereka, babi memiliki nilai sosial dan hanya akan dibunuh pada saat ritual serta acara-acara khusus, sedangkan anjing mereka gunakan sebagai hewan untuk berburu.

Suku Korowai Papua | Foto : Georgesteinmetz
info gambar

Orang-orang Korowai menempati Kawasan hutan sekitar 150 kilometer dari Laut Arafura. Mereka merupakan pemburu dan pengumpul yang mempunyai keterampilan dalam bertahan hidup. Sampai sekitar 1975, Korowai hanya mengenal satu sama lain diantara mereka dan hampir tidak mempunyai kontak dengan dunia luar.

Suku ini memiliki kehidupan yang seimbang, dimana mereka begitu menjaga hubungan antara sesama manusia dan alam.

Dilansir dari Indonesia.go.id, seorang akademisi dari Kampus Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua, Rhidian Yasminta melakukan riset terkait dengan suku Korowai sejak 2016. Menurutnya, suku Korowai begitu menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dalam menjalin hubungan antar sesama manusia. Begitu setaranya, suku ini hidup tanpa ada strata sosial seperti adanya kepala suku atau panglima perang.

Catatan kaki: Jeratpapua.org | Indonesia.go.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

A.
GI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini