Merawat Optimisme, Harapan, dan Kepercayaan

Merawat Optimisme, Harapan, dan Kepercayaan
info gambar utama

By Asep Mulyana

Pada 9 Februari 2012, kita memperingati Hari Pers Nasional. Peringatan yang dipusatkan di Jambi itu dihadiri oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY meminta komunitas pers Indonesia untuk menyampaikan kabar dan berita secara seimbang. Pemberitaan yang tak berimbang, lanjut Presiden SBY, akan meningkatkan sikap rakyat yang makin sinis, skeptis, kecurigaan (distrust), dan pada akhirnya mengkristal menjadi sebuah kegemaran publik untuk menyalahkan pemerintah, bahkan menyalahkan bangsanya sendiri.

Di masa lalu, ketika rejim otoriter berkuasa, kebebasan pers dibatasi–untuk tidak mengatakan dibungkam. Kritik yang dilontarkan dunia pers hampir tak pernah bisa muncul ke permukaan. Ada beberapa instrumen yang digunakan rejim otoriter masa lalu untuk mengerdilkan komunitas pers. Salah satunya adalah ancaman pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang digunakan penguasa masa lalu untuk mengerangkeng kebebasan pers, utamanya ketika kritik dan pemberitaan suatu media dianggap mengancam kekuasaan. Pembreidelan terhadap Tempo, Detik, dan Editor menegaskan masa-masa kelam kebebasan pers di masa lalu.

Setelah rejim otoriter jatuh pada 1998, kebebasan pers di Indonesia membaik. Rejim-rejim Pasca-Soeharto membuka kran kebebasan pers seiring dengan diterimanya demokrasi dalam struktur politik Indonesia. Sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi, media massa mengalami kebebasan yang hampir mencapai puncaknya. Media massa kita bebas memberitakan apapun tanpa khawatir akan ancaman pembreidelan. Namun kebebasan pers yang kita nikmati kini tak serta-merta memberi kontribusi positif bagi kehidupan demokrasi. Bahkan beberapa kalangan menilai kebebasan pers telah kebablasan. Mengapa begitu? Bagaimana memanfaatkan iklim kebebasan pers saat ini sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi kehidupan demokrasi substansial?

Ada dua fenomena yang patut dicatat jika kita membaca kebebasan pers di masa kini. Pertama, munculnya konglomerasi media. Kepemilikan media-media arus utama (mainstream) dikuasai oleh segelintir pengusaha (konglomerat), baik yang memiliki kedekatan politik dengan penguasa ataupun pengusaha yang mengincar kekuasaan politik. Sekurang-kurangnya hanya empat pengusaha saja yang menguasai kepemilikan media besar, yaitu Chairul Tanjung, Harry Tanoesoedibjo, Aburizal Bakrie, serta Surya Paloh.

Pemusatan kepemilikan media hanya pada segelintir pengusaha di ring politik harus diwaspadai sebagai ancaman bagi demokrasi. Media berhubungan dengan pembangunan wacana di wilayah publik dan lalu berdampak pada pengkristalan opini publik. Opini publik sendiri, dalam iklim demokrasi, akan sangat berpengaruh bagi penyusunan agenda kebijakan publik. Jika media hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha yang berada di sekitar ring politik, pembangunan wacana publik dikhawatirkan mengalami abuse dan pembusukan. Agenda-agenda kebijakan publik pada akhirnya hanya akan dipengaruhi oleh “opini publik” yang lebih merepresentasikan kepentingan ekonomi-politik si empunya media, dan bukan kepentingan publik dalam arti sesungguhnya.

Dalam konteks pembangunan kebebasan pers yang sehat bagi demokrasi, langkah dan kebijakan pemerintah untuk membatasi pemusatan kepemilikan media di satu sisi dan mendesakkan diversifikasi kepemilikan media di sisi lain menjadi agenda penting dalam tahun-tahun ke depan.

Kedua, pemberitaan negatif. Ketika semua media massa bebas memberitakan peristiwa apapun, media massa kita cenderung mengeksploitasi paradigma lama dalam pemberitaan, yaitu “bad news is a good news”. Paradigma yang dianut oleh wartawan kita itu meyakini bahwa berita buruk adalah magnet bagi pembaca dan menjadi salah satu cara pengusaha media untuk meningkatkan oplah atau rating. Sementara oplah dan rating adalah kunci bagi membanjirnya iklan dan pendapatan media tersebut.

Paradigma lama ini telah mendorong pemberitaan di media massa kita sebagai ruang bagi eksploitasi kekerasan, konflik, dan intrik. Sejak bangun tidur di pagi hari, kita sudah disuguhi dengan berita-berita di televisi dan suratkabar yang penuh energi negatif: kekerasan, pembunuhan sadis, perkosaan, korupsi, intrik politik, dan berita-berita negatif lainnya. Hanya sedikit saja media massa kita yang menyuntikkan inspirasi dan energi positif kepada kita.

Dampak pemberitaan media yang negatif sangat besar. Selama puluhan tahun, semua informasi yang kita santap dari media massa kita mengendap dalam pikiran bawah sadar kita sebagai bangsa, kemudian diam-diam terinternalisasi menjadi nilai, pola perilaku, dan budaya. Karena pemberitaan media kita penuh dengan berita negatif, maka pada akhirnya kita menjadi bangsa yang sangat karib dengan nilai-nilai negatif pula: kekerasan, sinisme, skeptisisme, dan distrust. Alhasil, sebagai bangsa, kita amat sulit untuk merajut kohesi dan harmoni sosial.

Menjadi agenda mendesak bagi kita semua untuk mendorong media massa mengubah paradigma, dari paradigma lama “bad news is a good news” menuju paradigma baru “good news is a good news”. Media massa kita harus didorong untuk lebih banyak memberitakan peristiwa positif dan prestasi-prestasi anak bangsa lainnya yang menyuntikkan dan merawat optimisme, harapan, dan trust. Semua itu menjadi modal penting bagi pembangunan sosial kita sebagai sebuah bangsa.

Sumber : Klik disini

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini