Tak Ada Lagi yang "Ndeso"

Tak Ada Lagi yang "Ndeso"
info gambar utama

Sudah Tidak Ada Sekolah “Ndeso” di Indonesia.

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah, MSc*

Dulu setiap kali ada pendaftaran baru murid-murid SMA, banyak orang tua yang hatinya dag-dig dug karena berlomba-lomba untuk bisa mendaftarkan anak yg tercinta di SMA negeri di kota besar. Bagi keluarga yang punya uang tidak ada masalah, mereka sampai berani membayar “uang gedung” yang jutaan rupiah. Bagi keluarga yang pas-pasan berusaha mati-matian cari hutang kesana kemari, yang penting anaknya bisa sekolah di kota besar. Malahan sampai sampai ada yang berani pindah penduduk sementara, bayar KTP sementara agar domisili si anak sesuai dengan lokasi SMA kota besar itu.

Para orang tua, menganggap dan mempunyai persepsi bahwa SMA-SMA di daerah itu SMA “ndeso”, tidak maju, pelajarannya tertinggal, mutu guru2nya rendah, dan horizon cara pandangnya masih ndeso. Sebaliknya, SMA di kota besar seperti Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Jakarta dan lainnya dianggap lebih modern, lingkungannya mendukung untuk pendidikan anak, mutu gurunya modern-banyak yang berbahasa Inggris, laboratoriumnya lengkap, kegiatan ekstra-kurikulernya banyak dan modern, pokoknya serba modern dan tidak ndeso atau udik.

Namun dalam perkembangannya, sekarang ini anggapan itu berbalik 180 derajat. Banyak orang tua (termasuk para ahli apapun) terheran-heran, selama beberapa tahun ini tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) SMA dari kota-kota besar kalah dengan kota-kota kecil disekitar kota besar bahkan jauh dari kota besar itu.

Kita pakai contoh di Jawa Timur untuk tahun ini 2012, hasil rata-rata kelulusan UN Sidoarjo menempati urutan pertama dengan nilai rata-rata 8,6, Mojokerto 8,55, Trenggalek 8,45; Gresik 8,45; Kabupaten Mojokerto 8,43, Surabaya hanya 8,42, Tulungagung hampir menyamai Surabaya 8,41; Bojonegoro 8,36 dan kota Pasuruan 8,34.

Status kota atau desa maupun sosial saat ini tidak lagi bisa menghalangi anak untuk berprestasi dibidang akademik. Coba lihat achievement atau pencapaian akademik adik kita Novi Wulandari dari Lamongan Jawa Timur. Meski dalam kondisi ekonomi keluarga miskin karena orang tuanya adalah pembantu rumah tangga; prestasi Novil jauh melebihi anak-anak dari keluarga mampu yang tidak sulit kalau makan malam di restaurant mahal, nonton bioskop di mall, liburan ke Bali dsb. Novi meraih nilai ujian nasional (NUN) tertinggi ke-2 seluruh Indonesia. Novi yang murid SMAN 2 Lamongan menorehkan sejarah sebagai peraih nilai tertinggi ke-2 nasional untuk bidang IPA; dia juga memiliki nilai rata2 UN 58,50 – nilai terbaik se Jawa Timur. Bahkan SMAN 2 Lamongan dimana Novi sekolah ditetapkan sebagai SMA yang memiliki nilai rata-rata terbaik se Indonesia dengan nilai rata2 9,19.

Cerita tingkat kelulusan seperti yang terjadi di Jatim itu juga terjadi di Gorontalo, Denpasar dan ditempat-tempat lainnya di nusantara ini. Misalnya kepala Dinas Pendidikan Gorontalu Utara Aryati Polapa mengatakan bahwa empat SMA di wilayah perbatasan anak didiknya semua lulus UN 100%.


Ilustrasi "anak SD" (gambar Solopos)

Apapun pendapat yang mengatakan bahwa Ujian Nasional bukanlah satu-satunya alat yang tepat untuk mengukur mutu suatu sekolah. Tapi hasil-hasil anak didik SMA di daerah-daerah pelosok, kabupaten, desa di luar kota-kota besar itu membuktikan bahwa mereka sangat mengagumkan. Hal ini membuktikan bahwa mutu sekolah sekarang bisa di bilang tidak hanyak di dominasi kota-kota besar lagi. Memang kita tidak bisa meng klaim bahwa mutu sekolah secara nasional itu sudah merata mengingat ketidak seimbangan pembangunan ekonomi. Namun dengan upaya yang gigih dari para pahlawan tanpa nama mendidik anak-anak didiknya didaerah-daerah membuktikan bahwa mutu mereka tidak kalah dengan kota besar.

Jadi mulai sekarang, jangan lagi menganggap bahwa sekolah-sekolah di pinggiran kota, di desa2, di kabupaten2 itu adalah sekolah “Ndeso”.

* Alumni University of London dan Universitas Airlangga Surabaya, dosen di STIE PERBANAS Surabaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini