Kelebat sang Diplomat

Kelebat sang Diplomat
info gambar utama

Pikiran saya bercambur aduk ketika kantor pusat tempat saya bekerja menugaskan saya untuk menjadi country coordinator di negara yang sebelumnya jarang ada dalam pikiran saya, Kamboja. Satu hal yang saya tahu saat ini adalah negeri ini terkoyak hebat pada saat rejim Khmer Merah berkuasa diperkirakan 2-3 juta rakyat kamboja tewas karena keberingasan rejim komunis tersebut. Kawan saya yang sudah pernah ke Kamboja mengatakan bahwa Kamboja mungkin seperti Indonesia pada tahun 50-an. Separah itu? Bisa jadi, karena semua orang yang pernah mengecap pendidikan atau pernah bersekolah, atau bahkan yang bisa baca tulis, telah dibunuh oleh Khmer Merah, yang ada sekarang adalah generasi yang memulai dari awal, menata satu demi satu batu bata kehidupan untuk membangun sebuah bangsa.

“Assalamualaikum, apakah anda Arry dari Yogyakarta?” logatnya asing bagi saya, dan ketika menoleh ke belakang, benar saja, 2 orang asli Kamboja (yang kebetulan dari etnis Cham yang muslim) telah menunggu saya. Tanpa saya sangka, keduanya sangat fasih berbahasa Indonesia, usut punya usut, ternyata sang penjemput saya, yang bernama Man Sokry dan Yousos Aryfine, pernah mendapatkan beasiswa kuliah di IPB, Bogor. Menurut Sokry, dia takkan pernah bisa melupakan jasa pemerintah Indonesia yang telah memberinya beasiswa, sehingga dia menjadi orang yang sukses di bidang pemerintahan Kamboja. Sementara Aryfine juga mengungkapkan hal yang sama, “tentara Indonesia lah yang menyelamatklan kami” ungkapnya sambil bercerita bagaimana kampungnya di Kampong Thom, propinsi di bagian utara, pernah diserang habis-habisan oleh gerilyawan Khmer Merah, sebelum akhirnya tentara perdamaian dari Indonesia menyelamatkan keluarganya, sekaligus mengusir gerilyawan-gerilwayan brutal tersebut.

Kamboja memang (seharusnya) istimewa bagi Indonesia. Indonesia (dan Prancis) adalah 2 negara yang menginisiasi perdamaian di Kamboja pada akhir 80-an, setelah negara itu terkoyak perang saudara yang brutal dan pendudukan Vietnam selama 10 tahun. Tak hanya menjadi salah satu negara yang mengirimkan tentara perdamaian ke sana, namun Indonesia juga berperan besar dalam meletakkan sendi-sendi ekonomi Kamboja, dengan membangun jalur pelayaran dari Sihanoukville ke negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia, juga membangun Camintel (Cambodia Indonesia Telecom), SPBU, sekolah, dan lain-lain. Kamboja adalah salah satu saksi kecermelangan diplomasi Indonesia pada masa itu. Hingga kini, pemerintah Kamboja selalu memandang tinggi Indonesia, bahkan banyak rakyat Kamboja dari generasi tuanya masih mengenal Soeharto, Ali Alatas, dan waktu saya di sana, saya menemukan banyak rumah yang masih memajang foto kedua tokoh Indonesia tersebut.

Banyak generasi muda saat ini yang takkan mempercayai bagaimana Indonesia begitu berperan dalam banyak kancah global. Mungkin perlu sekali lagi ditegaskan kepada generasi muda kita peran tak terbantahkan Indonesia dalam mendirikan Gerakan Non Blok, Asean, WTO dan lain lain. Indonesia juga berperan besar menjembatani perdamaian di berbagai belahan dunia dengan mengirimkan tim negosiator dan pasukan perdamaian ke berbagai negara.

Namun sejak awal masa reformasi hingga 10 tahun kemudian, Indonesia mengalami ‘defisit diplomasi internasional’ yang membuat profile Indonesia di kancah global tak lagi mendapat perhatian yang layak. Bahkan di tingkat regional saja (kawasan Asia Tenggara), Singapore dan Malaysia mulai mengambil peran yang ‘ditinggalkan’ Indonesia. Bahkan konon pernah terbersit keinginan kedua negara tersebut untuk memindahkan Ibukota Asean dari Jakarta ke Singapura atau Kuala Lumpur. Sebuah langkah penuh nafsu, dan terburu-buru. Karena sepertinya Indonesia mulai mendapatkan tempat berpijak yang kuat untuk memulai kembali diplomasi ala Indonesia yang luwes, tidak gaduh, menenangkan.

Pelan namun pasti, Indonesia membangun kembali profile dan reputasi internasionalnya. Kita tentu tak sangat familiar dengan Bali Democracy Forum, namun event tahunan ini begitu ‘menggema’ ke seluruh dunia. Banyak negara (terutama dari negara-negara menengah) mulai memandang keberhasilan Indonesia menyandingkan keberagaman masyarakatnya dengan sistem demokrasi yang kuat, stabil, dan terbukti membawa banyak manfaat.

Kita juga perlu garis bawahi mengenai kepemimpinan de facto Indonesia di ASEAN yang mulai diakui oleh dunia luar. Saya bertemu dengan salah seorang diplomat dari Jepang di Jakarta, darinya saya ketahui bahwa bagi mereka (pemerintah Jepang), ketika ada yang menyebut ASEAN, maka yang pertama terlintas adalah nama Indonesia. Dan menurutnya, nama Indonesia mencuat bukan hanya karena ukuran dan populasinya yang besar, namun juga peran Indonesia yang sangat dominan di komunitas regional Asia Tenggara ini dalam hal menjaga stabilitas dan kesatuan anggota-anggotanya. Ketika belum lama ini Asean untuk pertama kalinya gagal mencapai kata sepakat dalam masalah konflik Laut China Selatan, Indonesia tampil ke depan untuk membujuk pihak-pihak yang berseteru, dalam hal ini terutama adalah Kamboja (sang ketua Asean 2012), Filipina, dan Vietnam untuk dapat duduk bersama menjaga kesatuan suara Asean. Usaha ini kemudian berhasil. Langkah Indonesia ini sangat mendapat perhatian besar di dunia diplomasi internasional, bahkan sampai-sampai di sebuah media besar di barat menulis dengan judul yang bombamtis “Indonesia the Man”.

Diakui atau tidak, langkah ‘mendamaikan’ ASEAN ini adalah langkah jitu dalam percaturan diplomasi global, karena semua orang mafhum bahwa kekuatan utama Geopolitik di Asia Pasifik adalah China, Jepang, dan Asean. Asean yang bersatu amat sangat penting bagi stabilitas geopolitik di kawasan ekonomi terpenting di dunia tersebut, karena ini akan menyulitkan kekuatan manapun dari luar untuk menciptakan instabilitas. Inilah pencapaian diplomasi Indonesia yang begitu dihargai oleh dunia internasional, meskipun di dalam negeri gaungnya kurang terdengar.

Kebangkitan diplomasi Indonesia tentu saja masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi kita semua. Contohnya adalah di Kamboja, diplomasi Indonesia yang sangat berhasil membawa perdamaian ke Negara tersebut mandek dan hampir-hampir tidak meninggalkan bekas kalau tidak segera disadari, karena waktu itu diplomasi politik Indonesia tidak serta merta dibarengi dengan diplomasi ekonomi melalui investasi dan kerjasama perdagangan. Mungkin bisa dimengerti, karena waktu itu Indonesia belum menjadi kekuatan ekonomi regional seperti sekarang, namun yang saya tahu waktu diplomasi ekonomi sebenarnya sudah dibangun, hanya saja masih sporadis, tidak begitu terarah, sehingga mandek di tengah jalan.

Selain itu, quiet diplomasi yang dianut Indonesia kadang terlalu quiet (tidak terdengar), seperti yang terjadi di Myanmar. Pada saat semua orang mengutuk Myanmar karena berbagai alasan, Indonesia dengan berani mengusulkan untuk menjadikan Myanmar sebagai ketua Asean pada 2013, bukan itu saja, Indonesia juga secara penuh mendukung Myanmar untuk menjadi tuan rumah Sea Games 2013. Sebelumnya, Singapura, Thailand, dan Filipina menentang keras pencalonan Myanmar menjadi ketua Asean dan tuan rumah Sea Games, dan dalam berbagai kesempatan, ketiganya mengungkapkan secara langsung ketidaksukaanny pada kebijakan politik Myanmar. Namun Indonesia sama sekali tak bergeming, dan memilih untuk memberi pengertian kepada ketiga Negara tersebut mengenai maksud Indonesia.

Perhitungan matematies Indonesia ternyata cocok. Myanmar yang mendapat kepercayaan dari kawan-kawan ASEAN-nya, akhirnya pelan-pelan mulai membuka diri dan memulai proses demokratisasi di Negara tersebut. Di sinilah letak ‘quiet’-nya diplomasi Indonesia, tak banyak yang tahu peran sentral Indonesia dalam proses terbukanya Myanmar,  tak ada yang mengakui kerja keras Indonesia membantu perlahan proses demokratisasi di Myanmar. Akhirnya, kita hanya melihat pemimpin-pemimpin barat sliwar-sliwer datang silih berganti ke Myanmar, seolah-olah karena tekanan dan embargo ekonomi mereka lah yang berhasil memaksa Negara tersebut membuka diri. Sayang kan?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini