Rumah Para Pemberani. Home of the Braves

Rumah Para Pemberani. Home of the Braves
info gambar utama
By Akhyari Hananto Pagi tadi saya membaca status Facebook salah satu teman saya. Statusnya menggambarkan kekecewaan mendalam seorang dosen yang juga bekerja di pemerintah. Dalam tulisan yang di copy paste kawan saya tersebut, dosen itu mengatakan bahwa pemerintah Indonesia adalah kumpulan orang-orang yang tidak mikir, idiot, dan umpatan lain-lain lah. Kata orang Jogja, “sak bonbin metu kabeh Rupanya dosen tersebut membandingkan kondisi sekarang antara negaranya, Indonesia, dengan China, sebuah perbandingan yang tidak saja unfair, namun juga keliru. Tapi sudahlah, saya tidak mau masuk ke situ. Yang saya prihatinkan adalah bahwa beliau adalah seorang dosen yang mengajar mahasiswa, dan pejabat pemerintah di salah satu propinsi di Indonesia yang (seharusnya) melayani masyarakat. Membayangkan kedua profesi yang sangat strategis dan menentukan bagi masa depan Indonesia, diisi oleh orang yang pesimistis dan negatif kepada negaranya sendiri seperti dia, seperti membayangkan sebuah perahu besar yang diisi kru yang takut ombak. Saya memilih untuk tidak membayangkannya, stress sendiri. Ketika BBM naik menjadi Rp. 6.500, ada sebuah akun twitter yang dengan lantang menulis “Aku malu menjadi orang indonesia. ” Ada pula yang menulis “Kalau aku terlahir kembali nanti, semoga tidak terlahir di negara sampah ini”. Sangking gemasnya, sembari becanda, saya reply ke dia “Belum terlambat untuk cabut”. Begitu buruknya kah Indonesia saat ini sampai-sampai orang merasa begitu pesimis dan negatif? Saya sendiri memilih untuk tidak berkonfrontasi dengan mereka yang mempunyai pandangan pesimis tentang masa depan Indonesia, dan saya lebih suka berkumpul dengan orang-orang yang membuat kepercayaan diri dan optimisme saya sebagai bagian dari Indonesia terus terpelihara. Saya teringat kata-kata presiden AS, Barrack Obama, yang begitu saya ingat “In the face of impossible odds, people who love his country can change it”. Di tengah segala masalah, tantangan, rintangan, kegagalan, kekurangan negaranya, hanya orang-orang yang mencintai negaranya tersebut lah, yang bisa mengubah negaranya menjadi lebih baik. Seorang teman, seorang desainer grafis yang kini bekerja dan tinggal di Phnom Penh, ibukota negara Kamboja, mengirimkan saya sebuah desain grafisnya yang ingin sekali saya beli. Isinya adalah gambar tokoh-tokoh perjuangan dan kemerdekaan, ada Diponegoro, ada Pattimura, ada Ngurah Rai, ada Teuku Umar, Soekarno Hatta, dan lain-lain. Total ada 19 orang pahlawan pejuang kemerdekaan disitu. Gambar grafis itu diberi judul “Home of the Braves”. Ke-19 orang di gambar tersebut hidup di tempat, waktu, dan jaman yang berbeda, namun ada satu kesamaan mereka yang paling penting dan mendasar, yakni bahwa semuanya begitu mencintai negerinya, dan rela mengorbankan apa saja demi bangsanya. Beberapanya bahkan harus rela kehilangan nyawa. Kesamaan yang lain adalah, mereka hidup di jaman serba susah. Indonesia (Hindia Belanda) pada masa mereka hidup, ada di era penjajahan yang begitu menyesakkan di mana semua hal dibatasi, pendidikan dibatasi, berpendapat di batasi, organisasi-organisasi kemasyarakatan dibatasi, mobilitas dibatasi, perdagangan dibatasi, kemiskinan menjadi absolut, kebodohan menjadi hal wajar, infratruktur sangat terbatas, pajak mencekik begitu tinggi, layanan public hanya untuk kalangan penjajah dan priyayi. Saya sering menganalogikannya seperti burung di dalam sangkar kecil yang jarang diberi makan dan dimandikan. Intinya, hidup di jaman itu memungkinkan semua orang punya alasan untuk menjadi pesimis, percaya diri hilang, dan berbuat sesuatu seolah-olah takkan mengubah apa-apa. Namun di tengah semua “keterbatasan dan ketiadaan” itu, orang-orang seperti Diponegoro, Soekarno, Teuku Umar, Pattimura, dan yang lain-lain, memilih untuk melalukan sesuatu daripada mengeluh tanpa akhir, memilih bergerak daripada hanya diam berbicara, memilih optimis dan penuh harap dibandingkan caci maki dan sumpah serapah. Mereka (mungkin) menyadari sepenuhnya bahwa kemungkinan berhasil, lebih kecil dibandingkan kemungkinan gagalnya. Dan sejarah membuktikan, mereka inilah yang kelak mengubah arah sejarah Indonesia, yang memungkinkan kita yang hidup di jaman ini mempunyai kesempatan sebesar-besarnya untuk menentukan nasib sendiri. Itulah makna sesungguhnya dari pengorbanan mereka yang begitu besar. Kini semua sudah tersedia di depan mata kita. Jalan, sekolah, jembatan, rumah sakit, pendidikan, transportasi, semua sudah ada tanpa kita sendiri yang membangunnya. Ekonomi kita sedang mulai tumbuh, tentu butuh waktu untuk menjadi seperti China seperti yang “dicita-citakan” sang dosen tadi. Namun, mencaci dan mengumpat pemerintah tentu saja takkan mengubah apa-apa. It is better to light a candle than curse the darkness, and let the universe do the rest, Pak Dosen.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini