Tiga Prestasi yang Terlupakan

Tiga Prestasi yang Terlupakan
info gambar utama
by Tasa Nugraza Barley Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus menerima kenyataan pahit bahwa di tahun-tahun terakhirnya sebagai presiden ia terus-menerus menjadi target bulan-bulanan publik, terutama di media sosial. Bahkan hingga ujung usia masa kepemimpinannya yang kedua, yang tinggal menghitung hari, cemoohan itu sepertinya tidak berhenti juga. Di mata para pengkritiknya, sosok SBY adalah seorang pemimpin yang lamban, yang tidak berani mengambil keputusan di saat-saat genting. Sebagai seorang presiden yang datang dari latar belakang militer, banyak pihak tidak bisa mengerti dengan sikapnya yang terkesan begitu ragu-ragu. Anggapan itu tidak hilang walau anak buahnya berdalih bahwa kesan tersebut timbul karena SBY adalah seorang negarawan sejati yang tidak mau mencampuri setiap urusan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga di bawah kekuasaannya demi tercapainya kemandirian. Di kalangan pengguna media sosial, sudah lama SBY dianggap seorang presiden yang gemar “curhat” lewat pidato-pidato kenegaraannya. Ia dituduh terlalu mengedepankan pencitraan pribadinya dibandingkan kepentingan orang banyak. Hobinya dalam bernyanyi – SBY meluncurkan albumnya yang kelima di bulan Agustus kemarin – jelas jadi sasaran empuk. Tapi apakah betul SBY bukan pemimpin tanpa prestasi? Apa betul tidak ada warisan yang ia tinggalkan kepada bangsa ini ketika harus turun dari singgasana? Saya setuju kalau kepemimpinan SBY selama ini tidaklah sempurna. Ada kalanya memang SBY jauh dari harapan publik. Tapi saya juga tidak setuju kalau SBY disebut sebagai presiden gagal. Pertumbuhan ekonomi Masyarakat kita memang tidak punya daya ingat yang baik. Kita lupa bahwa SBY telah memimpin bangsa ini melewati masa-masa sulit di bidang ekonomi. Ketika ia dilantik sebagai presiden di tahun 2004, Indonesia belum sepenuhnya pulih dari krisis ekonomi yang melanda sejak akhir 1990-an. Sedikitnya ada dua krisis ekonomi global yang harus dihadapi oleh pemerintahan SBY, yaitu di tahun 2004 dan 2008. Namun, bukannya ikut terseret, Indonesia justru berhasil bersinar sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata dunia semasa jabatannya. Tidak terbantahkan bahwa banyak perbaikan di sektor ekonomi dalam sepuluh tahun terakhir di bawah kepemimpinan SBY. Bank Indonesia menyebutkan bahwa rata-rata ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,5 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Di antara negara-negara G20, hanya Cina yang memiliki pertumbuhan lebih tinggi.
Pemerintahan SBY pun cukup berhasil mengurangi angka kemiskinan. Di tahun 2009 tercatat angka kemiskinan ada di level 14 persen, atau sekitar 32 juta penduduk. Kondisi tersebut membaik menjadi 11 persen pada bulan Maret tahun ini, atau sekitar 28 juta penduduk. Walau mungkin bukan pencapaian yang maksimal, tapi kita semua tahu bahwa mengurangi tingkat kemiskinan bukanlah perkara yang mudah.
Salah satu indikator perbaikan ekonomi lainnya adalah pertumbuhan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. Sepuluh tahun yang lalu, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia adalah 2.000 dolar AS sementara di tahun ini angka tersebut sudah naik dua kali lipat, atau menjadi sekitar 4.000 dolar AS. Tidak hanya itu saja, pada bulan Mei kemarin Indonesia oleh Bank Dunia dinobatkan sebagai ekonomi terbesar ke-10 di dunia, jika dihitung dari purchasing power parity. Di kawasan Asia ukuran ekonomi kita hanya kalah dari Cina, India dan Jepang. Tapi tentu angka-angka makroekonomi tersebut tidak bisa menjadi tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Gini Ratio Indonesia pada tahun lalu, misalnya, menjadi 0,41 padahal sepuluh tahun sebelumnya ada di level 0,36. Gini Ratio sendiri merupakan pengukuran untuk melihat sejauh mana pemerataan pendapatan di suatu negara, dimana nilai 0 berarti pemerataan yang sempurna. Pemberantasan korupsi dan penguatan KPK Apabila banyak pihak mencibir SBY atas kondisi pemberantasan korupsi saat ini, saya mencoba melihat dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Di bawah tekanan politik yang begitu kencang, nyatanya selama kepemimpinan SBY terdapat 277 pejabat negara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait tindak pidana korupsi. Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang kasusnya dipegang oleh Polri dan Kejaksaan. Walau banyak pihak yang menuduh bahwa pemerintahan SBY seringkali berusaha melemahkan KPK, namun SBY dan para menterinya selalu kompak menyatakan dukungan mereka terhadap penguatan KPK di berbagai kesempatan. Terlupakan oleh sebagian besar masyarakat, di akhir tahun 2012 SBY sangat vokal menentang revisi Undang-Undang KPK yang ketika itu hendak digulirkan oleh DPR. Revisi UU tersebut ditengarai menjadi salah satu upaya untuk melemahkan KPK. Rencana itu pun akhirnya kandas di tengah jalan. Suka atau tidak, harus diakui bahwa di era kepemimpinan SBY untuk pertama kalinya masyarakat benar-benar dapat menyaksikan bagaimana para pejabat negara yang terbukti mencuri uang rakyat ditangkap dan dipermalukan. Mantan menteri ESDM Jero Wacik menjadi nama pejabat teranyar yang dijadikan tersangka kasus korupsi. Jero tidak sendiri, ia ditemani nama-nama lain seperti Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng atau mantan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Pemberantasan budaya korupsi memang masih jauh dari memuaskan, namun setidaknya kita sudah menyaksikan banyak perbaikan di masa pemerintahan SBY. Stabilitas politik terkendali Di balik pola kepemimpinannya yang mungkin terkesan kurang berani, tidak bisa dipungkiri bahwa SBY adalah seorang ahli strategi sejati. Dan keahliannya ini betul-betul kita rasakan melalui kondisi politik dan keamanan yang relatif stabil selama sepuluh tahun terakhir ini. Dengan 33 provinsi serta 492 kabupaten dan kota, bisa dibayangkan banyaknya jumlah pilkada yang diadakan di negeri ini tiap tahunnya. Walau sengketa dan penggunaan politik uang masih sangat marak namun kita patut bersyukur bahwa stabilitas politik nasional masih sangat terkendali. Di sini kita bisa saksikan kehebatan SBY dalam memainkan perannya dengan sangat baik sebagai panglima tertinggi di negeri ini. Sepanjang kepemimpinannya, bisa dikatakan pelaksanaan pilkada di Indonesia berlangsung cukup lancar dan damai. Tidak ada kerusuhan besar yang meluas. Prestasi ini dapat dicapai karena kemampuan politik SBY yang handal serta pendekatannya terhadap penguasa-penguasa daerah. Di samping itu SBY juga mampu membina kekuatan TNI dengan efektif, melalui berbagai kebijakan dan keputusan yang strategis. Di bawah kepemimpinannya TNI mampu muncul sebagai mitra strategis pemerintah yang bisa diandalkan, yang lebih mengedepankan soft power ketimbang hard power. Prestasi terbesar SBY dalam menjaga stabilitas politik nasional diuji pada pelaksanaan Pileg dan Pilpres tahun ini. Walau intensitas persaingan yang begitu tinggi, namun pelaksanaan keduanya dapat berlangsung secara relatif aman dan damai. Sosok SBY sebagai seorang negarawan terbukti ketika ia beberapa kali memutuskan untuk turun tangan mengurangi ketegangan di antara dua kubu calon presiden. Pada akhirnya hanya waktu yang bisa menentukan presiden seperti apa SBY akan diingat oleh masyarakat. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, seorang pemimpin besar biasanya justru dikenang ketika ia sudah turun dari jabatannya. Tulisan ini sebelumnya dimuat di Rappler.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini