Menghargai Kebesaran Jiwa Dua Tokoh Bangsa

Menghargai Kebesaran Jiwa Dua Tokoh Bangsa
info gambar utama
by Tasa Nugraza Barley Momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Dua tokoh politik paling disorot di negeri ini akhirnya bertemu, usai keduanya melewati pertarungan politik paling fenomenal yang pernah disaksikan oleh negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Pertemuan ini secara otomatis melunturkan keraguan banyak pihak yang mempertanyakan sifat kenegarawan dari keduanya. Pada Jumat pagi (17/10), Presiden terpilih Joko “Jokowi” Widodo datang berkunjung ke rumah orang tua Prabowo Subianto di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ditemani oleh Ketua Tim Transisi Rini Soemarno dan Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto, kunjungan Jokowi mungkin saja singkat — tak lebih dari 30 menit — namun memiliki arti yang teramat penting bagi bangsa ini, bagi masyarakat luas, dan bagi proses perjalanan demokrasi Indonesia. Sejarah akan mencatat bahwa baik Jokowi dan Prabowo telah membuktikan kepada dunia luas bahwa politik hanyalah sebuah arena pertarungan yang tidak melulu harus berisikan persaingan dan dendam, bahwasanya keutuhan bangsa dan negara, serta nilai-nilai luhur Pancasila, adalah hal yang paling penting. Semua kalangan pasti setuju bahwa dibutuhkan jiwa besar bagi seorang Jokowi untuk mau mendatangi kediaman Prabowo, yang notabenenya adalah seorang lawan politik yang sudah sukses dikalahkan di masa kampanye pemilihan presiden tahun ini. Sebagai seorang presiden terpilih, yang pelantikannya hanya tinggal menghitung bahkan jam, tidak ada kewajiban bagi Jokowi untuk mengunjungi Prabowo. Namun dengan semangat untuk menciptakan sebuah kondisi politik Indonesia yang baru, Jokowi memutuskan untuk melawan ego pribadinya. Jokowi, melalui pertemuan singkat ini, sukses mempertahankan konsistensinya sebagai seorang pemimpin yang rendah hati, yang menghormati tokoh-tokoh senior bangsa. Kemampuan dalam memosisikan diri seperti inilah yang memang selama ini mencuatkan nama Jokowi di kancah perpolitikan nasional, tinggi jauh di atas angkasa. Bukan pertama kalinya Jokowi melakukan hal seperti ini. Masih segar di ingatan kita bagaimana di dalam suasana pelantikan walikota baru kota Solo, Jokowi, yang ketika itu sudah menjadi Gubernur DKI Jakarta, mencium tangan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, sebuah gestur khas Jawa untuk menghormati yang lebih tua. Kejadian tersebut menjadi menarik karena sebelumnya Jokowi sempat mengalami hubungan yang kurang harmonis dengan Bibit ketika dirinya masih menjabat walikota Solo. Perilaku yang sama kembali diperlihatkan oleh Jokowi ketika ia membungkukkan tubuhnya untuk membalas penghormatan yang diberikan oleh Prabowo, tepat di hari ulang tahun Prabowo yang ke-63. Sepertinya bukanlah suatu hal yang kebetulan bahwa pertemuan keduanya terjadi di hari ulang tahun Prabowo. Di mata para pengkritiknya, diplomasi politik ala Jokowi itu mungkin saja hanya dianggap sebagai sebuah strategi licik untuk mendapatkan simpati publik, sebuah aksi pura-pura demi popularitas. Namun di mata masyarakat awam, pendekatan politik seperti itu menjadi sebuah oase di tengah hiruk pikuk situasi politik nasional yang dipenuhi oleh para politisi busuk. Masalah tulus tidaknya niat Jokowi, biarlah Tuhan yang menilai. Namun, Prabowo pun tidak kalah hebatnya. Pujian juga layak kita berikan kepada Prabowo setelah ia mengalami kekalahan politik yang begitu menyakitkan. Bukan rahasia umum bahwa menjadi presiden adalah ambisi Prabowo selama bertahun-tahun. Maka ketika ia akhirnya harus menerima kenyataan bahwa takdir belum memberikan apa yang ia impikan, banyak pihak memprediksi bahwa karir Prabowo di dunia politik sudah habis. Melalui pertemuan singkatnya dengan Jokowi, Prabowo menunjukkan bahwa karir politiknya tidak habis, bahkan bisa jadi posisinya dalam menentukan arah bangsa akan menjadi lebih strategis dan penting di masa depan. Ia juga mampu memperlihatkan bahwa dirinya adalah seorang negarawan sejati, yang mengedepankan kepentingan bangsa di atas ambisi pribadi atau golongan. Kita semua pasti sepakat bahwa mereka yang kalah tentu memikul beban yang jauh lebih berat dari mereka yang menang. Penghormatan ala militer yang diberikan oleh Prabowo kepada Jokowi menjadi bukti bahwa ia tidak selamanya seorang pensiunan jenderal militer dengan sifat temperamental. Bahasa tubuh yang diberikan oleh Prabowo tersebut, sesuatu yang pernah ia lakukan terhadap Megawati Sukarnoputri di masa pemilihan presiden kemarin, secara implisit mengandung pesan bahwa ia menghormati dan mengakui Jokowi sebagai presiden Indonesia, menyangkal tuduhan banyak pihak yang selalu mengatakan bahwa Prabowo tidak bisa menerima kekalahannya. Politik memang dinamis dan selalu berubah, mengikuti perkembangan jaman dan keinginan masyarakat. Mungkin masih terlalu dini untuk menilai bahwa pertemuan antara Jokowi dan Prabowo menjadi tanda berakhirnya pertarungan politik di antara keduanya dan partai-partai politik pendukung keduanya. Namun paling tidak momen ini menjadi pelepas dahaga masyarakat, walau mungkin sementara, yang mulai kehilangan harapan terhadap arah politik bangsa ini, dimana para politisi kita tampaknya hanya menggunakan politik sebagai sebuah medium untuk memperkaya diri mereka sendiri. Momen spesial yang melibatkan dua tokoh politik yang sedang berseteru ini menjadi lebih spesial karena selama sepuluh tahun perhatian publik tertuju terhadap persaingan yang tidak kunjung usai antara presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Sukarnoputri, di mana keduanya hingga detik ini belum bisa saling memaafkan. Orasi-orasi berisik yang kita dengar selama masa kampanye, perdebatan sengit yang kita saksikan di layar televisi, atau perayaan suka cita kemenangan Jokowi oleh para relawannya bukanlah momen paling sakral bagi demokrasi bangsa ini di tahun ini. Momen paling sakral itu terjadi pada hari Jumat, ketika dua anak terbaik bangsa ini bertemu di dalam nuansa yang sederhana, memberikan penghormatan kepada satu sama lainnya. Prabowo memberikan penghormatan militernya dengan sigap, sementara Jokowi membungkukkan tubuhnya perlahan. Momen ini akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa ini, terutama bagi generasi muda penerus masa depan bangsa. Apapun alasannya, persaingan politik tidak boleh mencederai keutuhan dan persatuan bangsa. Saya yakin, pertemuan ini akan dikenang di dalam sejarah sebagai sebuah teladan, dan akan dibicarakan di dalam ruang-ruang kelas dan di berbagai forum diskusi hingga puluhan bahkan ratusan tahun dari sekarang. Artikel ini sebelumnya dimuat diRappler.com.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini