Sepeda adik saya...

Sepeda adik saya...
info gambar utama

Saya masih ingat ketika adik saya dibelikan oleh ayah sebuah sepeda. Waktu itu, kondisi keuangan belum begitu baik, sehingga karena terbentur anggaran, sepeda yang dibeli pun bukan sepeda dengan merk terkenal, dan saya yakin harganya pun murah. Tanpa saya sangka, dalam kurang dari seminggu, sepeda itu sudah mengeluarkan bunyi-bunyian yang menandakan sekrup-sekrupnya kendor. Rantaipun kadang lepas.

Saya juga masih kecil waktu itu, dan saya bisa merasakan bagaimana perasaan adik saya, dan pasti ayah saya juga merasa sangat bersalah. Namun ternyata saya salah.

Saya tidak pernah sekalipun mendengar dia mengeluh tentang sepedanya, dan saya masih ingat ketika dia pulang sekolah (kelas 3 SD), sepedanya dituntun karena rantainya putus. Bagi kebanyakan anak, mungkin kejadian tersebut akan membuatnya ngambek, marah, atau nangis. Tapi sungguh, tidak adik saya. Dan ayah saya pun dengan tekun membetulkan sepeda adik saya setiap kali ada yang tidak beres, mengganti suku cadang yang rusak satu demi satu, dan dari situlah ternyata adik saya mulai belajar untuk membetulkan sepedanya sendiri untuk kerusakan ringan.

Dalam 2 bulan pertama, saya masih ingat bahwa sepeda itu rusak hampir tiap 3 hari sekali. Tahun berlalu, ternyata sepeda itu menjadi jarang sekali rusak, selain karena sebagian suku cadangnya diganti dengan baik, juga karena ketekunan adik saya memelihara, membersihkan, dan membetulkannya. Sampai 15 tahun kemudian, sepeda yang awalnya bobrok itu masih bisa dipakai dengan baik. Dan satu hal yang perlu saya garis bawahi adalah, adik saya sekarang adalah pemilik dari 11 bengkel sepeda/sepeda motor di Jogja, pemilik toko suku cadang sepeda/sepeda motor di Jogja dan Solo.

Cerita yang seolah-olah seperti sinetron, tapi benar adanya dan ini kisah nyata.

Lalu saya membayangkan, sepeda itu adalah negara Indonesia, ayah saya adalah pemerintahnya, dan adik saya adalah rakyatnya. Mau apalagi, beginilah Indonesia warisan pendahulu kita, terima saja. Pemerintah juga mempunyai banyak keterbatasan, anggaran, kemampuan, kemauan, dan lain lain. Terima saja. Namun, rakyatnya lah yang berperan penting. Seperti adik saya itu, dia bisa saja menguliti kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan sepeda itu, sambil tanpa henti menyalahkan ayah saya. Namun, adik saya memilih memperbaiki semampunya, tanpa memaki.

*Teruntuk adik saya di Jogja

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini