Bahasa Melayu...Bahasa Internasional

Bahasa Melayu...Bahasa Internasional
info gambar utama
Tulisan ini adalah tulisan kedua dari tulisan pertama "Tulisan ini adalah tulisan kedua dari tulisan pertama " by Ken Miryam Vivakenanda Fadlil Sebetulnya, seberapa jauh kemelekatan bahasa Melayu digunakan dalam keislaman? Pada abad ketujuh belas, banyak dokumen yang tersimpan dalam arsip dan perpustakaan Eropa mengenai ini. Sebagian memang tulisan yang berkaitan dengan agama Islam karena ortografi Arab rapat hubungannya dengan agama Islam dan identitas Melayu. Umpamanya, Hikayat Nabi Yusuf, sebuah karangan Islamiah yang popular sekali. Dokumen ini disalin di Aceh pada tahun 1604. Namun, pada abad ketujuh belas itu juga, tulisan Arab Melayu bukan hanya menjadi medium sastra Islam saja; fungsinya lebih luas dan lebih beragam. Hikayat Sri Rama yang ditulis sebelum tahun 1633 menampilkan legenda Hindu tetapi dalam tulisan Arab dengan tambahan beberapa referensi Islamiah sehingga buku ini juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang membaca bahasa Melayu yang berhuruf Arab. Selain itu, fungsi bahasa Melayu juga menjadi tidak terbatas pada tulisan agama dan sastra saja. Misalnya, pada tahun 1602, dikeluarkan surat izin berdagang kepada kapal Inggris yang berlayar di wilayah kesultanan Aceh tentunya ditulis dalam ortografi Arab. Memang pada abad ketujuh belas, bahasa Melayu bertugas sebagai bahasa bisnis internasional dan sekaligus sebagai bahasa pemerintahan. Selaku bahasa pemerintahan, bahasa Melayu yang bertuliskan Arab juga digunakan dalam surat dan dokumen antarnegara. Jadi, kemelekatan bahasa Melayu dengan Islam ini memang perlahan-lahan sudah lepas dengan sendirinya sejak abad ketujuh belas. Dengan kata lain, bahasa Melayu seakan-akan mulai tercabut dari keislaman di abad itu. Apakah penggunaan aksara Latin juga menjadi faktor lepasnya ikatan bahasa Melayu dan keislaman itu? Pada masa yang sama ketika banyak dokumen ditulis dalam bahasa Melayu yang berortografi Arab, bermunculan juga dokumen-dokumen bahasa Melayu yang ditulis dalam huruf Latin. Dua ortografi itu, Arab dan Latin, melambangkan dua identitas berbeda yang mulai hadir. Keduanya menggunakan bahasa Melayu, namun melambangkan identitas dua komunitas berbeda dan menyokong dua sistem keberaksaraannya masing-masing. Ada komunitas dengan identitas yang dikatakan oleh Reid sebagai komunitas Melayu karena mereka berbahasa Melayu dan beragama Islam. Ada juga identitas berbeda, yakni komunitas yang juga berbahasa Melayu tapi beragama Kristen Protestan. Bahasa Melayu memang mulai dipilih sebagai bahasa usaha misionaris Katolik pada awal abad keenam belas. Selanjutnya, setelah benteng dan jajahan Portugis di Maluku diserahkan kepada pihak Belanda pada awal ketujuh belas, semua pribumi Katolik dijadikan penganut Protestan. Akhirnya, bahasa Melayu pun diangkat juga oleh pendeta Belanda untuk segala terbitan agama Protestan. Difusi dan diversitas bahasa Melayu yang hanya samar-samar pada abad keenam belas ini mulai memperlihatkan citra yang lebih tegas dan profil yang jelas pada abad ketujuh belas. Pada tahun 1611, di Amsterdam, seorang pedagang Belanda Protestan yang alim, A.C. Ruyll menerbitkan buku pelajaran ABC, judulnya “Sourat ABC akan mengaydjer anack boudack” (ejaan dari judul buku tersebut ada di makalah Collins-red). Buku ini digunakan di Betawi. Buku ini merupakan pedoman pertama tentang ejaan bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Latin. Namun, buku ini bukan saja bertujuan mengajar baca-tulis, tetapi juga menyampaikan beberapa doa Kristen. Lalu, selanjutnya, pada abad ke-17, Danckaerts dan pendeta-pendeta Belanda lain di Banda, Ambon, dan Batavia juga mulai menerbitkan berbagai buku pelajaran agama, koleksi khotbah Protestan, dan terutama terjemahan kitab-kitab agama Kristen. Apakah hal semacam itu yang menandakan sifat kosmopolit bahasa Melayu? Bisa dikatakan begitu. Dapat ditelusuri pula berbagai variasi bahasa Melayu yang lain, yakni yang sesuai dengan ruang geografi. Misalnya, terjemahan pelajaran agama Kristen di Ambon dan terjemahan dari teks asal yang sama di Batavia dengan varian Melayu lain. Atau bisa juga varian itu terjadi sesuai dengan ruang sosial, misalnya antara bentuk bahasa Melayu dalam surat perjanjian antarnegara dan bahasa Melayu dalam karya sastra Islam. Jadi diversitas bahasa Melayu tak hanya melambangkan jurang sosial dan jarak spasial di kepulauan ini, tetapi juga menandakan dinamika bahasa Melayu yang berstatus kosmopolitan di wilayah itu. Sifat kosmopolit inikah yang membuat bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa pemersatu? Kalau pembahasan sejarah bahasa Melayu dilanjutkan abad demi abad, profil bahasa Melayu akan tampak sebagai suatu fenomenon sosial yang kompleks sekali. Tapi, ternyata justru karena adanya kompleksitas itu, bahasa Melayu berperan sebagai lambang persatuan di kepulauan ini. Bahasa Melayu menjadi simbol dan agen persatuan. Dalam buku saya, Wibawa Bahasa, saya sebutkan bahwa bahasa Melayu saat ini tetap masih bisa dianggap sebagai bahasa dunia. Dilihat dari jumlah penutur, jumlah negara yang menggunakannya sebagai bahasa nasional, dan jumlah negara di luar alam Melayu yang institusi pendidikannya mengajarkan bahasa Melayu, maka saya berpendapat sampai sekarang pun bahasa Melayu tetap menjadi bahasa dunia. Menurut saya, hanya bahasa Melayu yang layak diangkat menjadi bahasa Indonesia karena sudah disepakati ratusan tahun sebelumnya. Terkait dengan penukaran nama bahasa ini, bukankah orang di kepulauan ini lebih mengenal bahasa Melayu dalam batinnya ketimbang bahasa Indonesia? Dalam keseharian, mereka memang menggunakan bahasa Melayu lokal yang tadi saya sebutkan. Tapi saya juga menemukan bahwa mereka menyadari ada perbedaan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu yang mereka gunakan. Mereka menyadari keberadaan bahasa Indonesia itu. Dan, sekali lagi, buat mereka yang sudah terbiasa dengan nasionalisme, akan lebih nyaman menyebutnya sebagai bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. Sebagian penutur bahasa Melayu varian lokal, menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang “kering”. Bagaimana pendapat Anda? Ya, memang. Bahasa Indonesia kini pada umumnya digunakan untuk bahasa sekolah. Bahasa sekolah ini pasti jauh dari hati orang. Itu yang membuat kering. Kalau mau dekat dengan hati, orang akan gunakan bahasa yang sehari-hari dia gunakan, yakni bahasa daerahnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini