Antara Rupiah dan Java Jazz

Antara Rupiah dan Java Jazz
info gambar utama
By Junanto Herdiawan Setidaknya ada 2 kejadian menarik minggu lalu. Yakni, pergelaran Java Jazz di Jakarta yang selalu 'wah' dan yang disemarakkan oleh para penyanyi kelas dunia, mulai Chaka Kan, Jessie J, hingga Christina Perri. Yang kedua adalah nilai tukar Rupiah yang menembus Rp 13.000 per dolar AS. Terakhir kali, rupiah anjlok cukup dalam di tahun 1998. Kekhawatiranpun muncul di masyarakat karena secara psikologis masyarakat kita masih menyimpan trauma tahun 1998, saat Rupiah melemah signifikan dan perekonomian Indonesia terpuruk. Namun tentu keadaan sudah jauh berubah. Membandingkannya secara langsung juga tidak tepat, karena kondisi tahun 1998 dan 2015 berbeda.
Christina Perri (Foto : Billboard)

Melihat keramaian Java Jazz 2015, di satu sisi kita melihat masih tingginya daya beli masyarakat menengah di Indonesia. Meski kita tetap menyadari masih banyak wajah kusam di setiap sudut negeri. Namun tak dapat dipungkiri bahwa hadirnya para bintang dunia ke Indonesia menunjukkan bahwa mereka melihat Indonesia memiliki daya tarik tersendiri. Christina Perri bahkan mengatakan bahwa inilah teriakan atau nyanyi bersama paling keras yang pernah ia dengar dari penonton. Bukan hanya di Jakarta, artis internasional juga mau datang ke berbagai daerah. Festival Rock Kutai Kartanegara di Kalimantan membludak dengan penampilan Grup Rock dari Amerika, Fire House, yang pernah tenar di era 80-an. Sementara di Malang, duo penyanyi Australia, Air Supply, juga tampil menghibur penggemarnya yang membludak. Memang, para penyanyi internasional yang sudah pernah tampil di Indonesia pasti “nagih”, ingin kembali konser di sini. Gegap gempita anak muda kita menjadi salah satu daya tarik, yang sudah jarang ada di negara maju. Tumbuhnya kelas menengah, naiknya daya beli, dan semakin stabilnya ekonomi Indonesia memang menjadi daya tarik tersendiri. Bukan hanya para penyanyi, tapi juga investor mancanegara. Namun tentu kita bertanya, dengan tingginya kepercayaan pada Indonesia, mengapa Rupiah melemah? Pelemahan Rupiah tentu harus dicermati dengan hati-hati karena bisa berdampak panjang pada kehidupan sebagian masyarakat. Namun, sebelum kita melihat penyebab pelemahan itu, satu hal penting yang perlu kita catat bahwa tekanan terhadap Rupiah saat ini tidak serta merta menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia memburuk. Kita lihat dulu beberapa hal yang menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia secara fundamental masih baik. Setidaknya ada tujuh indikator positif yang menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia saat ini masih memiliki ketahanan yang cukup dalam menghadapi tekanan global. Pertama, saat ini kita tidak lagi menghadapi tekanan inflasi yang tinggi, sebagaimana terjadi di tahun 1998, tahun 2013, atau tahun 2014. Bahkan pada Februari 2015 lalu, kita justru mencatat deflasi selama dua bulan berturut-turut. Kedua, cadangan devisa Indonesia yang relatif tinggi turut menopang kepercayaan menghadapi tekanan nilai tukar. Cadangan devisa merupakan bantalan (cushion) yang kita miliki untuk menghadapi gejolak eksternal. Pada Februari 2015, cadangan devisa Indonesia mencapai 115,5 miliar dolar AS. Angka ini dapat membiayai 7 bulan impor, serta berada di atas standar kecukupan internasional (3 bulan impor). Bandingkan dengan kondisi kita di tahun 1998, saat cadangan devisa kita hanya sekitar 17 miliar dolar AS. Ketiga, meski Rupiah tertekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih menguat bahkan cenderung terus meningkat. IHSG bahkan menembus angka 5.500, yang merupakan level tertinggi dalam lima tahun terakhir. Dana asing (capital inflow) juga tercatat terus masuk di pasar modal. Sepanjang tahun 2014 hingga Februari 2015, tercatat pembelian bersih oleh investor asing sebesar Rp 11,547 triliun. Keempat, indikator Credit Default Swap (CDS) Indonesia, yang merupakan indikator penurunan risiko investasi, membaik atau terus turun di level 133. CDS Indonesia ini lebih baik dari Turki, Brasil, India, dan Afrika Selatan. Turunnya CDS berdampak pula pada arus dana masuk ke Indonesia yang masih tinggi, mencapai Rp56,68 triliun (periode Januari – Februari 2015), atau meningkat dibandingkan periode yang sama di tahun 2014, sebesar Rp33,05 triliun. Kelima, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini sudah hampir tidak mengandung komponen subsidi bahan bakar minyak (BBM). Hal ini berbeda dibanding sebelum Januari 2015, di mana APBN masih harus menanggung beban komponen subsidi BBM, yang sangat rentan terhadap pelemahan Rupiah. Keenam, pelemahan Rupiah di tahun 2014 lalu memberi peluang bagi perbaikan neraca transaksi berjalan, karena ekspor industri manufaktur justru meningkat sebesar tujuh persen, sementara impor menurun. Ketujuh, Rupiah memang melemah terhadap dolar AS, namun apabila dibandingkan dengan mata uang dunia lainnya, Rupiah justru stabil atau relatif menguat terhadap Euro, Yen, Brasil, Rubel, dan beberapa mata uang lain. Menteri Keuangan, Kepala Komisioner OJK, dan Deputi Gub BI, menyampaikan penjelasan mengenai kondisi ekonomi dan Rupiah (10/3) / photo koleksi junanto herdiawan Mengapa Rupiah melemah? Tapi mengapa Rupiah tetap melemah? Meski berbagai indikator menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia lebih stabil dan positif, Rupiah tetap tertekan. Di sini kita perlu ingat kembali bahwa mata uang kita memiliki keterkaitan erat dengan mata uang negara lain dan perekonomian global. Di lain sisi, kita juga perlu melakukan introspeksi terhadap kondisi internal di perekonomian Indonesia. Pertama, faktor global, yang sering dijadikan alasan banyak pihak untuk menjelaskan pelemahan mata uang. Ya, perbaikan ekonomi di AS memang mendorong penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Ekpektasi kenaikan suku bunga The Fed, juga menjadi pemicu penguatan dolar AS ke depan, karena para investor mengalihkan asetnya ke dolar. Di lain sisi, pelonggaran moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) akan mendorong peningkatan pasokan dana ke pasar keuangan global. Akan ada sekitar 60 miliar Euro atau 69 miliar dolar AS (lebih dari Rp 120 triliun) setiap bulannya uang yang digelontorkan bank sentral Eropa ke pasar uang. Namun dalam kondisi ketidakpastian, para investor cenderung melarikan dananya ke dolar AS sebagai asset yang dinilai aman (safe haven). Akibatnya, ada kemungkinan dolar AS menguat. Sementara itu, di Asia, prospek perlambatan ekonomi Tiongkok yang merupakan mitra dagang utama Indonesia telah memberi tekanan signifikan pada ekonomi kita. Sebagian besar ekspor kita adalah ke Tiongkok, sehingga melesunya Tiongkok akan berdampak pada lesunya ekspor Indonesia. Akibatnya, penerimaan ekspor kita akan turun yang mengakibatkan pasokan dolar ke dalam negeri juga berkurang. Hal ini menambah gap permintaan dan penawaran dolar AS. Di sisi domestik, ini yang perlu kita cermati dan jadikan pekerjaan rumah, nilai Rupiah juga dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran di pasar. Salah satu sumber tingginya permintaan dolar AS di pasar adalah untuk memenuhi pembayaran utang luar negeri. Saat ini kita melihat jumlah utang luar negeri Indonesia sudah mencapai 292 miliar dolar AS pada triwulan IV-2014. Dari jumlah itu, sekitar 55 persen adalah utang swasta. Tentu kita perlu memonitor seberapa banyak utang luar negeri tersebut yang sudah diproteksi (hedging) sehingga saat jatuh tempo tidak akan membebani perusahaan atau Rupiah. Apabila jumlah pembayaran jatuh tempo meningkat, tentu akan memberi tekanan pada Rupiah. Hal lain yang perlu jadi PR kita adalah kondisi neraca transaksi berjalan kita. Apakah itu? Ini adalah gambaran ekspor dan impor kita. Saat ini karakter ekonomi Indonesia digerakkan oleh ekspor bahan mentah atau komoditas. Sementara kita mengimpor berbagai barang. Saat harga komoditas dunia melemah, dan permintaan global turun, tentu ekspor kita ikut turun. Di sisi lain, impor kita tetap tinggi terutama untuk bahan baku produksi dan konsumsi. Di sini kita menghadapi masalah serius. Defisit, yang mengakibatkan permintaan dolar lebih tinggi dari yang tersedia. Penyelesaiannya tentu harus struktural. Kita perlu meningkatkan ekspor barang manufaktur, industri ringan menengah, dan produk kreatif lainnya. Tanpa adanya inovasi ini, kita akan terus terjebak jadi negara pengekspor komoditas. Tentu tidak sederhana meningkatkan ekspor manufaktur. Pembenahan infrastruktur, kepastian hukum, menghilangkan praktik “mafia” di lapangan, menjadi prioritas. Menyikapi Rupiah ke depan Dengan Rupiah berada di level terbarunya, Pemerintah dan BI tentu perlu bersikap cermat. Secara fundamental, kita melihat bahwa ekonomi Indonesia memiliki ketahanan lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Berbagai indikator positif dapat kita lihat di atas. Masyarakat kelas menengah menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia. Saya mencontohkan kisah Java Jazz sebagai salah satu gambaran. Namun kita juga menyadari bawah masih banyak wajah kusam di masyarakat. Kemiskinan, ketidakhadiran pendidikan, termasuk kesehatan, masih tampak di beberapa sudut negeri. Mereka adalah golongan yang rawan dan rapuh terkena dampak dari gejolak ekonomi. Yang sedikit berada di atas garis kemiskinan, akan menjadi miskin. Sementara yang miskin, akan bertambah miskin. Kita juga menyadari, bahwa pelemahan Rupiah yang berlebihan dan terus menerus, apabila terjadi, akan memberi dampak psikologis, serta memukul dunia usaha, khususnya yang memiliki beban utang luar negeri dan bahan baku impor tinggi. Menghadapi pelemahan nilai tukar saat ini, kita harus tetap waspada dan cermat melihat berbagai indikator ekonomi Indonesia. Tentu kita tidak perlu panik, atau khawatir berlebihan, karena kekhawatiran berlebihan justru akan merugikan keadaan. Langkah kehati-hatian dan kerjasama antar pihak menjadi kunci dalam menghadapi setiap krisis.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini