Tapak-tapak Singa Asia Tenggara

Tapak-tapak Singa Asia Tenggara
info gambar utama
by Akhyari Hananto Apa yang anda rasakan ketika mendarat pertama kali di Bandara Changi, Singapura? Bagi yang baru pertama kali berkunjung ke Singapura, baik melalui Changi maupun lewat Harbour Front (naik ferry dari Batam), tentu akan segera mahfum bahwa Singapura sedikitpun tak mencerminkan sebagai negara kecil. Sebagai perbandingan, negara Singapura hanya seluas 716 km2 ini, bandingkan saja dengan luas Kabupaten Bogor yang 2.017 km2. Tapi, lihatlah Bandara Changi yang begitu besar dengan langit-langit yang tinggi, tiang-tiang yang besar, ruang check-in yang besar. Inilah suguhan pertama Singapura untuk para pengunjung. Keluar dari bandara menuju kota, lagi-lagi kita melihat segala hal yang serba besar. Jalan yang lapang halus dan lebar, pohon-pohon besar di kanan kiri jalan, bis-bis besar (panjang dan sebagian bertingkat) melaju kencang , gedung-gedung besar, dan sesekali kita masih melihat puluhan pesawat-pesawat besar dari seluruh penjuru dunia yang take off atau landing di bandara. Singapura juga adalah rumah bagi perusahaan-perusahaan raksasa Asia yang berasal; seperti Singapore Airlines, Osim, Creative, Singapore Ports, Keppel, Seagate, Raffles Int’l, Starhub, DBS Bank, OCBC, UOB, Wilmar, dan lain lain. Tangan-tangan ekonomi Singapura yang panjang menjalar jauh hingga ke pelosok-pelosok Afrika bahkan Russia, melalui investasinya. The Port with a large number of shipping containers and the ocean visible in the background Tentu kita juga mafhum, Singapore Armed Forces, TNI-nya Singapura, adalah kekuatan militer paling organized, dengan peralatan tempur yang cutting-edge, paling canggih di kelasnya, dan disegani. Satu hal lagi sebelum terlewat. Singapura “hobi” sekali mengumpulkan penghargaan-penghargaan dunia untuk excellence. Universitas-universitas terbaik, lingkungan terbersih, bandara terbaik, pelabuhan terbaik,  bank terbesar, ter- ini dan ter- itu. Lengkap. Singkatnya, meski negara ini kecil, tapi sesungguhnya 'besar'. Monster tapi mini...juga bertenaga. Lalu, apa yang membuat Singapura seperti itu? Yang bisa menjawab dengan sangat lugas, sangat jelas, sangat rinci...tentu saja adalah (Alm) Lee Kuan Yew yang meninggal 23 Maret 2015. Dia lah konseptor dan arsitek kemajuan Singapura saat ini. Tentu banyak yang mengira bahwa Singapura sudah maju sejak dulu. Anggapan yang salah.

Pada tahun 1963, Singapura yang sebelumnya sudah punya pemerintahan sendiri, (terpaksa) bergabung dalam Federasi Malaya (yakni gabungan wilayah-wilayah di Semenanjung Malaya, Sabah dan Serawak) karena sadar (dan khawatir) terkait kecilnya wilayah mereka, sumber daya air yang sangat terbatas, dan pasar yang kecil untuk menumbuhkan ekonomi.  Karena berbagai masalah politik dan ideologi, Singapura akhirnya dikeluarkan pada 1965, dan terpaksa harus mencari cara untuk menghidupi diri sendiri, tanpa bergantung lagi pada negara lain.

Inilah beban besar di pundak Lee Kuan Yew.

Setelah 'merdeka' dari Malaysia, Singapura dipaksa bergantung pada pasar domestik yang kecil serta tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi. Tujuh puluh persen keluarga di Singapura tinggal dengan kondisi ekonomi yang tidak buruk, dan tinggal penuh sesak di daratan kecil tersebut. Sepertiga diantaranya tinggal di daerah kumuh di pinggiran kota. Angka pengangguran rata-rata 14%, pendapatan per kapita masih US$ 516, dan setengah dari populasinya masih buta huruf.

BBC menulis, bahwa Lee Kuan Yew bermimpi mengubah Singapura dari yang pernah disebut 'limbah kemelaratan dan degradasi' menjadi negara industri modern. Menjadikan Singapura dari negara dunia ke-3 masuk ke jajaran negara maju, kaya, dan dihormati.

Sebuah mimpi besar mengingat kondisi Singapura masa itu.

Bagaimana langkah-langkah Singapura hingga bisa mencapai sekarang?

(Bersambung)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini