Menjaga Hutan Bersama Gajah

Menjaga Hutan Bersama Gajah
info gambar utama
Menjaga kelestarian hutan butuh peran dari semua pihak. Enam mahot alias pawang dan empat gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) di Conservation Rescue Unit atau Trumon Wildlife Corridor di Desa Naca, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, telah menunjukkan itu. Para pawang dan gajah rutin melakukan patroli di kawasan hutan. Tugas mahot dan gajah adalah mengantisipasi konflik antara gajah liar dan manusia serta menjaga kelestarian hutan kawasan itu dari ancaman pembalak hutan dan pemburu satwa liar secara ilegal. Minggu (25/1/2015) lalu, waktu menunjukkan pukul 06.00 di Conservation Rescue Unit (CRU) Trumon, saat Francesco Sirait alias Koko (28) bangun tidur, lekas mandi, dan memakai pakaian lapangannya. Pukul 07.00, ia bersiap menemui teman-temannya, yakni lima mahot dan empat gajah jinak. Mereka merupakan komponen utama penghalau gajah liar agar tidak masuk ke desa serta pelindung hutan lindung dan konservasi dari ancaman pembalak liar dan pemburu ilegal. Koko memulai aktivitas seperti itu hampir setiap hari dalam dua tahun ini. Ia adalah koordinator mahot di CRU Trumon. Ia bertanggung jawab atas kegiatan lima mahot dan empat gajah jinak. Ia pun bertanggung jawab terhadap kesehatan serta keselamatan para mahot dan gajah jinak tersebut. Paling tidak, aktivitas mereka terdiri atas dua bagian, yakni kegiatan harian dan kegiatan patroli yang dilakukan sejak pagi hingga sore hari. Kegiatan harian dilakukan pada pukul 08.00-18.00, antara lain memijat, melatih sejumlah gerakan atraksi, memandikan, dan mengajak makan gajah-gajah itu. Kadang-kadang, para mahot dan gajah menawarkan kegiatan wisata, seperti beratraksi dan berfoto atau berkeliling bersama gajah bagi wisatawan. ”Kegiatan itu dilakukan hampir setiap hari,” ujar Koko, mantan pemain sirkus gajah di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh Besar, pada 2005-2013. Kegiatan patroli dilakukan pada pukul 8.00-16.00. Umumnya, mereka menyisir sebagian hutan seluas lebih kurang 2.700 hektar yang menjadi bagian pengawasan CRU Trumon. ”Setidaknya, kami melakukan patroli 10-15 kali dalam sebulan,” ucap Koko. Koko mengatakan, patroli di kawasan hutan itu sangat penting. Hutan itu sangat rentan oleh pembalakan dan perambahan hutan secara ilegal. Apalagi kawasan hutan itu adalah kawasan hulu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), sedangkan bagian hilir bagian Suaka Marga Satwa Rawa Singkil. Kawasan hutan itu menjadi sumber air utama dan tempat tinggal sejumlah flora dan fauna endemik penyeimbang alam di Aceh Selatan. Patroli itu sendiri penuh risiko karena menembus hutan. Mahot dan gajah pun sering bertemu dengan pembalak liar atau pemburu ilegal yang memakai senjata tajam dan api. ”Tak jarang, mereka bertindak agresif sehingga mengancam keselamatan mahot dan gajah,” tutur Koko. Mengkhawatirkan Kepala Desa Naca periode 1999-2005 Azuhri (43) menuturkan, kerusakan hutan di Trumon memang sudah mengkhawatirkan di Trumon, terutama kawasan Desa Naca. Apalagi pernah ada pabrik dan kilang kayu pada 1980-1990 di hutan seluas 2.700 hektar itu. ”Hutan ini sempat kritis, seperti hilangnya tutup pohon dan keringnya mata air,” ujarnya. Kondisi ini yang kemudian memicu konflik antara gajah liar dan masyarakat setempat. Hutan yang sudah gundul membuat gajah liar kehilangan sumber makanan. Akibatnya, gajah liar itu masuk permukiman dan perkebunan masyarakat. ”Puncaknya pada 2005, sekitar 74 ekor gajah liar turun ke permukiman dan perkebunan masyarakat hingga mengakibatkan dua warga cedera parah,” ucap Azuhri. Azuhri menyebutkan, situasi itu membuat masyarakat resah. Mereka lalu bersepakat meminta pemerintah mengatasi masalah itu. Akhirnya, pemerintah mendirikan CRU Trumon pada 28 Juni 2012 di Desa Naca. CRU Trumon berdiri atas inisiatif ataupun bantuan segenap pihak, antara lain Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, Yayasan Leuser Internasional, Tropical Forest Conservation Act-Lembaga Donor United State Agency International Development (USAID), dan Tim Indonesia Forest and Climate Support (IFACS)-USAID. CRU Trumon menjadi tempat tinggal enam mahot dan empat gajah jinak yang didatangkan dari PLG Saree. Kehadiran mahot dan gajah jinak itu memberikan dampak positif. ”Setidaknya, konflik antara gajah liar dan manusia berkurang drastis atau nol persen di kawasan ini sejak 2012 hingga sekarang,” katanya. Kehadiran mahot dan gajah jinak itu pun penting untuk upaya pelestarian lingkungan Trumon, khususnya hutan di kawasan Naca. Asisten Lapangan CRU Trumon Abdul Khair Syukri mengutarakan, manajemen CRU Trumon memiliki program reboisasi lahan yang rusak di kawasan hutan 2.700 hektar di Desa Naca. Reboisasi itu telah mencapai 50 persen sejak tahun 2012. Bagi masyarakat, segala kegiatan itu telah memberikan banyak keuntungan. Paling tidak, tutupan hutan kembali rimbun di kawasan hutan di Desa Naca. Sejumlah mata air kembali muncul sehingga sejumlah anak sungai kembali terisi air. ”Dahulu, ketika hutan ini rusak, sumber air warga terbatas bahkan hilang. Kini, setelah hutan ini mulai pulih, sumber air warga kembali banyak,” ujar warga Naca, Muhammad Nasir (43). Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Selatan Teuku Masrul mengatakan, pelestarian hutan memang sangat penting, terutama hutan lindung dan konservasi yang menjadi bagian TNGL di Aceh. Apalagi menurut data Balai Besar TNGL, taman nasional itu merupakan sumber mata air bersih bagi lebih dari 50 persen masyarakat di Aceh. TNGL juga menjadi rumah sejumlah flora dan fauna langka dunia, seperti pohon meranti, sejumlah jenis anggrek, gajah sumatera, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), dan orangutan sumatera (Pongo abelii). Terancam Namun, kondisi TNGL kian terancam. Berdasarkan data Balai Besar TNGL, total area taman nasional itu sekitar 1,1 juta hektar dan terbagi di dua wilayah, yakni 80 persen di Aceh dan 20 persen di Sumatera Utara. TNGL di Aceh berada di Aceh Selatan, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues. Sekitar 10.000 hektar TNGL di Aceh Tenggara dan 2.500 hektar di Gayo Lues rusak parah akibat pembukaan lahan dan pembalakan ilegal. Masrul menambahkan, kerusakan hutan lindung dan konservasi akan sangat terasa bagi masyarakat. Contohnya, pembukaan lahan dan pembalakan hutan secara ilegal marak dilakukan di hutan lindung dan konservasi yang luasnya sekitar 80 persen dari total luas wilayah Aceh Selatan 498.000 hektar. Itu terjadi dalam 10 tahun ini. Setidaknya, kondisi itu telah memicu perubahan lingkungan dan iklim sehingga membuat banyak predator alami hilang, bahkan punah dari hutan Aceh Selatan. Akibatnya, sejumlah hama dan penyakit tanaman marak terjadi 10 tahun ini. Masrul menyadari situasi itu belum menyadarkan sejumlah oknum yang tetap melakukan pembukaan lahan dan pembalakan hutan secara ilegal. Namun di sisi lain, pihaknya belum dapat berbuat optimal melindungi dan melestarikan hutan di Aceh Selatan. Anggota staf IFACS-USAID di Aceh, Tisna Nando, menuturkan, seluruh tingkatan pemerintah dari pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota harus segera melakukan rencana aksi nyata untuk menyelamatkan hutan lindung dan konservasi di Aceh dan Indonesia, seperti membuat satu peta tunggal (one map solution). Mereka pun perlu meningkatkan kapasitas masyarakat untuk lebih sadar menjaga dan melestarikan hutan. disadur dari kompas.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini