Asal Mula Hubungan Minangkabau Dan Negeri Sembilan

Asal Mula Hubungan Minangkabau Dan Negeri Sembilan
info gambar utama
by Arif Budiman - Lentera Timur Dua menit menjelang pertandingan usai, Negeri Sembilan FA, atau Persatuan Bolasepak Negeri Sembilan, terus merangsek pertahanan Semen Padang FC. Saat itu mereka berada di atas angin. Skornya 1-0. Sorak sorai pendukung Negeri Sembilan membahana. Tapi riuh rendah itu harus terpaku di menit 90. Saat waktu tambahan (injury time), Semen Padang berhasil menyepak bola menerobos gawang Negeri Sembilan. Hingga pluit panjang dibunyikan, skor sama kuat: 1-1. Riuh pertandingan persahabatan sepakbola bertajuk Minang Derby itu terjadi di Stadion Tuanku Abdul Rahman Paroi, Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia, 30 Desember 2012. Ini adalah pertandingan balasan setelah sebelumnya, 23 Desember 2012, kedua tim beradu kebolehan. Pada pertandingan pertama, di Padang, Sumatera Barat, Semen Padang menundukkan Negeri Sembilan, yang berjuluk tim Rusa, dengan skor 2-1. Pertandingan ini disebut-sebut sebagai pertandingan antar-Minang. Kedua negeri memang berada dalam ranah kebudayaan yang sama, yakni sama-sama berasal dari tanah rantau Minangkabau. Hanya saja, keduanya terpisah dalam dua negara, dimana masing-masing kini berada di dalam negara yang lebih besar. Padang (markas tim Semen Padang FC, yang berjuluk tim Kabau Sirah) yang kini jadi ibu kota Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, masuk dalam kawasan Pagaruyuang/Minangkabau. Hal serupa juga terjadi pada Negeri Sembilan, yang sekarang menjadi negara bagian di Malaysia. Di kalangan orang Minang, Padang dan Negeri Sembilan disebut dua daerah badunsanak atau bersaudara.
Tarian Minang di Negeri Sembilan - Malaysia

Jika melihat lebih detail, sesungguhnya Minangkabau lebih luas dari Sumatera Barat hari ini. Secara kebudayaan, geografi Minangkabau dibagi atas dua, yakni wilayah inti atau disebut dengan Darek (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto; sekarang menjadi kabupaten), dan wilayah Rantau. Wilayah Rantau ini dibagi atas dua bagian. Pertama, rantau pesisir, yang meliputi daerah dataran rendah di sebelah barat bukit barisan yang berbatasan langsung dengan Samudera Indian (Indian Ocean). Kedua, Ikua Rantau (ekor rantau) dan Kapalo Rantau (kepala rantau), yang meliputi daerah aliran sungai yang bermuara ke arah timur Alam Minangkabau. Wilayah rantau ini secara garis besar bisa diurut dari Tapak Tuan di Aceh, Mandailing Natal di Sumatera Utara, Muara Bungo di Jambi, Rantau Barangin di Riau, Muko-Muko di Bengkulu, dan Pantai Barat Sumatera. Penyebaran kawasan Minangkabau ini juga merebak ke Negeri Sembilan di Semenanjung, Malaysia. Alam Minangkabau inilah yang membuat ‘laga Minang’ ini tumpah oleh penonton. Walaupun tidak semua pemain dari kedua tim yang berasal dari dua negeri tersebut, tetapi rasa persaudaraan itu masih tumbuh dihati orang-orang Minang, baik di Padang maupun di Negeri Sembilan sendiri. Ketika bertanding di Padang, instrumen-instrumen Minang pun sambut menyambut dari alat musik yang dibawa oleh para suporter. Musik Kampuang Den Jauh Dimato, misalnya, berdendang sore itu. Semaraknya pertandingan ini pun laksana perayaan urang minang baralek gadang (pesta besar orang Minang). Warna kebesaran Minangkabau, yakni hitam, merah, dan kuning, tak ketinggalan melekat di tubuh para pendukung yang mengelilingi gelanggang olahraga bernama Haji Agus Salim itu. Dan ketiga warna itu, yang disebut marawa, juga menjadi warna lambang bagi kedua kesebelasan. Bagi orang Minang, ini warna sakral, yang hanya digunakan untuk perayaan-perayaan besar saja. Dalam tradisi Minangkabau, ketiga warna ini memiliki sejarah sendiri. Ia mewakili wilayah inti Minangkabau (Darek), yakni hitam mewakili Luhak Lima Puluah Koto, merah mewakili Luhak Agam, dan kuning mewakili Luhak Tanah Datar. Ketiga warna ini harus tersusun sejajar, yang menyiratkan makna berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

***

Tali-temali sejarah ini disebut-sebut dimulai dari tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya (Sumatera). Dalam perjalanannya, tali sejarah yang sama itu dilanjutkan dan dipererat oleh Kerajaan Pagaruyuang di Minangkabau sejak abad 14. Hal ini ditandai dengan adanya perkawinan antara Putri Ambun Suri, anak Tuan Gadih Indo Juita, dengan Raja Malaka (Semenanjung).
Istana Pagaruyung di Sumatera Barat

Menurut Asmaniar Z Idris, dalam tulisannya berjudul Kerajaan Pagaruyuang di buku Menelusuri Sejarah Minangkabau (1970), Mansyur Syah Yang Dipertuan Negeri Sembilan menarik asal usulnya dari raja-raja Sriwijaya (Seri Maharaja) dan raja-raja Pagaruyuang atau Minangkabau (Yang Dipertuan Rajo Alam). Atas dasar itu, hubungan negara Kerajaan Negeri Sembilan dengan Kerajaan Pagaruyuang menjadi abadi sepanjang masa. Menjelang abad 18, masih menurut Asmaniar, Negeri Sembilan pernah mengirimkan utusan kepada Pagaruyuang. Tujuannya adalah meminta supaya Pagaruyuang mengirimkan seorang raja untuk Negeri Sembilan. Saat itu, Negeri Sembilan tengah menjadi bulan-bulanan politik dari pihak lawan. Sejak abad 14, Negeri Sembilan memang tak pernah lepas dari pergolakan politik yang terjadi di Semenanjung. Jatuhnya Bandar Malaka ke Portugis pada 1511, bangkit dan berkembangnya Kerajaan Aceh di Sumatera dan Kerajaan Johor di Semenanjung, menjadikan jazirah Semenanjung sebagai medan pertempuran sengit yang melibatkan Aceh, Portugis, dan Johor. Memasuki 1614, Kerajaan Belanda kemudian merebut Bandar Malaka beserta segala warisan perang. Negeri Sembilan yang berada di Semenanjung menjadi terombang ambing oleh pergolakan negara-negara kerajaan tetangga tersebut, yang berusaha memaksakan dominasi politik dan ekonominya. Dalam relasi dinamis Sumatera-Semenanjung ini, Bugis dari Sulawesi memainkan perannya yang penting. Kala perang kian berkobar, Johor kemudian mengundang Daeng Kamboja, yang dikenal sebagai “Raja Bajak Laut”, untuk membantunya mengusir Belanda di pesisir timur Sumatera, pesisir barat Borneo, dan Semenanjung. Kerjasama ini membuat Belanda dapat dipukul mundur di Semenanjung. Keberhasilan ini membuat orang-orang Bugis menetap di Johor. Dan Negeri Sembilan pun kena imbasnya, dimana orang-orang Bugis silih berganti datang dan menduduki Negeri Sembilan. Raja Ketjil keturunan Siak dan Bugis pun pernah menjadi raja di Negeri Sembilan. Tapi itu tak berlangsung lama. Karena tak kuat menjadi bulan-bulanan, Raja Ketjil pun dibunuh oleh orang-orang Negeri Sembilan. Menjelang abad 18, Negeri Sembilan akhirnya mengirimkan utusan ke Raja Pagaruyuang, saudara mereka, untuk meminta raja yang dapat memimpin Negeri Sembilan. Di Pagaruyuang, mereka menemui Basa Ampek Balai, sebagai otoritas yang berhak menentukan rajanya. Setelah berunding, akhirnya ditunjuklah Raja Malewar (1773-1795) untuk menjadi Yang Dipertuan Negeri Sembilan, mewakili Raja Alam Pagaruyuang/Minangkabau. Dalam perjalanannya, hubungan Pagaruyuang dengan Negeri Sembilan mulai kabur seiring terjadinya ketegangan politik antara Belanda dan Inggris pada akhir abad 19. Saat itu, Pagaruyuang berada dalam pengaruh Belanda dan Negeri Sembilan dalam pengaruh Inggris. Di masa-masa ini hubungan keduanya ikut menjadi renggang. Akan tetapi, keterputusan hubungan hanya dalam hal administratif teritorial saja. Dalam bidang kebudayaan, keduanya masih menyimpan memori yang kuat. Kedua negeri memiliki sekian kesamaan yang membumi, seperti pakaian adat, bentuk rumah adat, upacara adat, pola keturunan dari garis ibu, musik, warna kebesaran, serta makanan macam rendang. Lentera Timur

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini