Indonesia untuk Dunia. Wiweko Soepono

Indonesia untuk Dunia. Wiweko Soepono
info gambar utama

Wiweko Soepono adalah seorang pejuang, perintis AURI, penerbang, perancang pesawat, pengembang industri dirgantara, pelopor penerbangan sipil hingga membesarkan perusahaan penerbangan nasional Garuda Airways. Selain itu beliau juga dianggap sebagai pionir industri pesawat terbang Indonesia yang sekarang dikenal dengan nama PT. Dirgantara Indonesia. Wiweko juga penggagas two-man cockpit yang memajukan industri pesawat terbang Indonesia dan dunia.

Masa Kecil Wiweko dilahirkan hari Kamis tanggal 18 Januari 1923 dari keluarga pegawai terpelajar di Kota Blitar, Jawa Timur. Wiweko adalah anak pertama dari lima bersaudara. Wiweko mengikuti pendidikan dasar di Europesche Lagere School (ELS). Saat orangtuanya pindah ke Yogyakarta, Wiweko berkesempatan melihat kegiatan penerbangan yang sering diadakan. Mulailah ketertarikannya pada dunia penerbangan.

Wiweko melanjutkan sekolah di HBS Bandung. Dengan berbekal pedoman dari majalah Vliegwereld atau Dunia Penerbangan edisi Hindia Belanda, Wiweko sudah membuat berbagai model pesawat pada masa remajanya. Bahkan sebagian besar teman-temannya yang merupakan orang-orang belanda sering berkumpul di pavilun rumah Wiweko untuk membuat pesawat model.

Makin banyaknya peminat pesawat model sehingga Tanggal 10 Desember 1937, Wiweko dan teman bulenya Fred Raas membentuk Klub Penerbangan Remaja Bandung. Klub ini cepat mendapatkan perhatian dari para tokoh kedirgantaraan bandung yang saat itu adalah pusat kegiatan penerbangan di Hindia Belanda.

Bahkan seorang pemuda pelajar dari Semarang bernama Nurtanio Pringgoadisuryo ikut jadi anggota. Meskipun hanya dengan mengirim surat khusus kepada Wiweko agar diterima menjadi anggota klub Bandungsche Jongen Luchtvaart Club ini.

Klub ini sangat sukses sehingga betul-betul disokong oleh Militaire Luchvaart di Lanud Andir. Wiweko belajar ilmu aeromodelling secara otodidak. Setelah menyelesaikan sekolah di HBS Bandung pada akhir Mei 1941, Wiweko masuk Technische Hoge School Bandung yang sekarang disebut ITB. Jurusan yang dimasukinya adalah Teknik Permesinan yang saat itu jumlah mahasiswanya baru 250 orang. Semasa pendudukan Jepang Wiweko berhenti kuliah dan bekerja sebagai pegawai Angkutan Darat di bagian Gudang. Kemudian pindah di laboratorium Uji Coba materil THS.

Terlibat Perjuangan Kemerdekaan

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Wiweko bersama tokoh-tokoh pemuda seperti Sarbini, Mashudi dan Nasution sepakat mengambil alih kantor dan persenjataan Jepang serta membentuk BKR setempat. Wiweko dengan teman-teman berhasil merebut Lapangan Udara Andir. Mereka meminta Suryadarma yang mantan Militeire Luchvaart untuk menerbangkan pesawat Jepang yang berhasil direbut. Suryadarma meminta Wiweko dan Sutoyo segera pergi ke Bogor menemui Husein Sastranegara yang lulusan Sekolah penerbang Kalijati.

Awal tahun 1946 Wiweko berangkat ke Yogyakarta, hendak bergabung dengan TKR-Jawatan penerbangan. Wiweko berjumpa sahabat penanya Nurtanio dan AJ Salatun yang juga pecinta penerbangan. Suryadarma menugaskan ketiganya bergabung di bagian rencana, Konstruksi dan Propaganda AURI.

Di Lapangan Udara Maospati, Wiweko juga merancang pesawat eksperimental RI-X pesawat ringan ia rancang dan terbang pertama kali 27 Oktober 1948 yang dikenal dengan nama pesawat WEL (Wiweko Eksperimental Lightplane/Pesawat ringan ekseperimental Wiweko) bernama WEL-1 RI-X dan berhasil diterbangkan penerbang uji (test pilot) bernama Suhada, mantan penerbang militer Jepang. Pesawat kursi tunggal RI-X dibuat Wiweko saat berusia 25 tahun pada tahun 1948, ditenagai mesin sepeda motor bekas Harley Davidson 750 cc.

Replikanya mengisi Museum Satrya Mandala, Jakarta. Duo Nurtanio-Wiweko pada akhir tahun 1946 atau awal tahun 1947 berhasil membuat pesawat luncur NWG-1 (Nurtanio-Wiweko Glider) jenis “Zogling” yang berjasa dalam seleksi calon siswa penerbang yang kemudian dididik di India. Sampai zaman globalisasi dan internet sekarang, pesawat terbang layang tersebut belum ada tandingan dalam segi keistimewaannya 100 persen dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di dalam negeri.

Bergerilya Lewat Angkasa

Pada masa Revolusi Indonesia (1945-1949), Wiweko pernah ditugasi Presiden Soekarno untuk membeli pesawat DC-3 Dakota untuk kepentingan perjuangan Republik Indonesia dari sumbangan masyarakat Aceh. Tidak hanya zaman sekarang, tapi sejak dini zaman perjuangan korupsi sudah terjadi.

Wiweko hanya menerima setengah dari dana sumbangan pembelian pesawat Dakota. Jumlah dana yang diterimanya 60.000 straits dollar, Padahal seharusnya yang diterima adalah sebesar 120.000 straits dollar, sesuai dengan tanda terima uang wesel. Tapi kenyataan setelah wesel tersebut diuangkan, Wiweko tidak menerima jumlah tersebut. Meski jumlahnya sudah disunat, DC-3 Dakota berhasil ia peroleh di Siam (Thailand sekarang) menjelang akhir tahun 1948.

Pesawat yang dinamakan RI 001 Seulawah itu sedianya dibawa ke Indonesia, namun diurungkan karena ada blokade dari pihak Belanda, maka dijadikan modal usaha penerbangan Indonesian Airways yang beroperasi di Birma (kini Myanmar) pada tanggal 29 Januari 1949. Saat itu Birma membutuhkan jasa angkutan udara baik untuk kepentingan sipil maupun militer menghadapi kaum separatis.

Dari sebuah Dakota, ia berhasil mengadakan dua C-47 (DC-3 versi militer) tambahan, salah satu pesawat Dakota RI-007 Djakarta kemudian disumbangkan kepada pemerintah Burma 31 Oktober 1950 sebagai rasa terima kasih pemerintah RI selama Indonesian Airways beroperasi di Myanmar.

Sejarah juga mencatat, Bersama awak pesawat DC-3 Dakota RI-001 “Seulawah” (pesawat hasil sumbagan rakyat Aceh) Indonesian Airways, Wiweko berhasil dua kali menembus blokade udara Belanda, menyelundupkan senjata, peralatan komunikasi dan obat-obatan dari Myanmar ke Pangkalan Udara Lhok Nga dan Pangkalan Udara Blang Bintang, Aceh.

Dari Bukit Tinggi, Wiweko membuka jalur penerbangan internasional ke Ibukota RI yang pada saat itu berlokasi di Yogyakarta dengan menembus blokade udara Belanda. Wiweko juga bolak-balik menyelundup keluar negeri untuk mengurus pendidikan calon penerbang AURI di India.

Kegiatannya di Myanmar meletakkan landasan dasar penerbangan niaga yang kita kenal sekarang. Tanggal pendirian tersebut di kemudian hari dijadikan hari jadi Garuda Indonesia. Visi Wiweko menjadi kenyataan ia mendirikan maskapai penerbangan Indonesian Airways, membuka lembar pertama era penerbangan sipil/niaga Indonesia. Wiweko pun tidak pernah mimpi bakal memimpin Garuda Indonesian Airways (1968-1984).

Berangkat dari pengalaman mengelola maskapai penerbangan di Myanmar dimana laporan keuangan rapi dibuatnya sehingga mampu mengadakan dua pesawat tambahan, secara teratur BUMN Garuda Indonesian Airways di bawah kepemimpinannya menerbitkan buku Annual Report yang memuat posisi keuangan, rencana pengembangan perusahaan, dan informasi lain yang dapat dipergunakan menganalisa kondisi perusahaan secara menyeluruh.

Membangun AURI

Begitu penyerahan kedaulatan berakhir, Wiweko segera kembali ke tanah air untuk membangun AURI. Serah terima Lanud Andir dengan sejumlah besar pesawat pembom, pemburu, transport dan latih diserahkan sepenuhnya kepada AURIS. Belanda diwakili oleh Mayor.E.J. Van Kuppen, sedang dari AURIS diwakili Mayor Udara Wiweko Soepono. Selain Pangkalan Udara Andir juga diserahkan bengkel pemeliharaan pesawat, fasilitas pendidikan, dan sejumlah besar pesawat militer.

Awal Juli 1950,Wiweko ditunjuk sebagai Komandan Komando Teknik Udara di Andir Bandung dengan pangkat Komodor Muda Udara. Wiweko juga merangkap sebagai Kepala Jawatan Teknik Udara. Wiweko bersama Ir.Karno Barkah membangun sebuah Pusat Teknik Udara di Lanud Andir, Bandung. Kemudian membangun Lanud Margahayu sebagai Pangkalan kegiatan latihan tehnis bersama Ir.AR.Suhud. Di pangkalan Udara Andir, Wiweko dan rekan-rekan menyelenggarakan Sekolah Penerbang Kalijati, Sekolah Penerbang Lanjutan, Fasilitas Overhaul di Andir serta Sekolah Terjun Payung.

Sebagai Koordinator Sekolah Penerbang, Wiweko mempekerjakan sejumlah instruktur penerbang dan seorang teknisi berkebangsaan Amerika mantan anggota “The Flying Tiger” yang pernah bekerja di Indonesian Airways, Rangoon. Wiweko juga membentuk Djawatan Angkutan Udara Militer untuk menunjang mobilitas pemerintah dan militer menjalin keutuhan tanah air. Kembalinya Nurtanio dari sekolah Aeronautic di Filipina memperkuat keinginan mereka untuk membuat pesawat sendiri untuk AURI dan penerbangan sipil.

Biro Rencana dan Konstruksi AURI yang dipimpinnya berhasil pula memodifikasi pembom Guntei peninggalan Jepang, menjadi pesawat angkut dalam upaya untuk mempersiapkan bila sewaktu-waktu didirikan penerbangan niaga atau penerbangan komersial yang kita kenal sekarang.

Pilot Helikopter Pertama Indonesia

Bulan September 1950 mewakili Menhan RI mengunjungi Air Show di Farnborough. Seusai pameran kedirgantaraan ini Wiweko ke AS untuk membeli pesawat dan suku cadang dari “War Surplus”. Atas nama AURI, Wiweko berhasil membeli 25 pesawat AT-6, 40 pesawat BT-13 Harvard, 6 PBY Catalina serta 6 Helikopter Hiller – 360 UH. Disamping itu sejumlah besar suku cadang pesawat. Saat itu pula Wiweko menjajaki pendidikan calon perwira penerbang AURI di Sekolah Penerbangan Taloa “Trans Ocean Airline” California.

Enam puluh kadet penerbang dikirim ke Taloa, pada tanggal 16 November 1950 untuk belajar terbang selama setahun. Sembilan dari siswa diambil dari kadet Sekolah Penerbang Kalijati. Saat pembelian helikopter Hiller, Wiweko juga sempat belajar menerbangkannya di Palo Alto California.

Tanggal 14 Oktober 1950 Wiweko dinyatakan lulus pendidikan dasar serta lanjutan helikopter dan mendapat sertifikat serta wing penerbang helikopter dari Civil Aeronautics Authority of the United States. Dengan ini Wiweko menjadi penerbang helikopter pertama bangsa Indonesia. Saat enam helicopter Hillet-360 UH tiba di Lanud Andir bulan Desember 1950, keadaannya terurai dalam beberapa peti kemas. Wiweko ikut memberi supervisi langsung selama perakitan. Dan uji coba penerbangan helikopter pertama juga dilakukannya, karena dia satu-satunya penerbang helikopter Indonesia saat itu.

Alhasil hari Minggu 24 Desember 1950, sebuah benda “aneh” berbaling-baling mendarat di tengah-tengah lapangan. Padahal saat itu ada upacara pembukaan lomba olahraga untuk seleksi Asian Games di New Delhi. Seorang perwira AURI keluar dari helikopter, menuju pengeras suara di depan podium dan berkata, “Selamat Berlomba Olah raga”. Setelah itu perwira itu terbang lagi dengan pesawatnya yang masih aneh bagi masyarakat Indonesia.

Hari yang bersejarah, karena saat itu sebuah helikopter AURI pertama, pertama kali diterbangkan di bumi Indonesia oleh penerbang helikopter pertama, Komodor Muda Udara Wiweko Soepono. Pagi 15 Januari 1951, Wiweko dan LMU I Tosin terbang dengan helikopternya menuju Istana Negara. Hari itu Wiweko membawa terbang keliling Jakarta, Bung Karno, Ibu Negara Fatmawati, Mayjen Soehardjo, Kepala Bagian Siaran RRI dan teraktir mengantar KASAU ke Kementrian Pertahaan di Jalan Medan Merdeka Barat. Wiweko tercatat sebagai perancang helikopter kepresidenan tahun 1951. Karena itu pula, saat itu Presiden Sukarno menjadi presiden pertama di dunia yang memiliki helikopter.

Meraih Brevet Penerbang Militer

Di awal tahun 1951 KSAU Suryadarma memberi kesempatan para perwira yang tugas di staf untuk mengikuti pelatihan terbang. Agar mereka bisa menghayati dan mengerti perannya dalam operasi udara. Namun tidak hanya mengikuti pelatihan dasar untuk mendapat Wing penerbang Kelas III, Wiweko meneruskan hingga setingkat lulusan Sekolah Penerbang Lanjutan. Setelah berlatih dengan pesawat Piper Cup, Wiweko meneruskan dengan Harvard hingga transisi ke pesawat B-25 Mitchell. Pada bulan April 1950 mendapat ijazah dan Wing Penerbang Kelas II. Meskipun demikian Wiweko tidak pernah terdaftar sebagai personel penerbang AURI.

Wiweko baru menikah dengan wanita Aminah, yang lebih dikenal sebagai Mieke, pada tanggal 19 September 1951. Bahkan Istrinya yang tercinta inipun dilatihnya terbang dengan pesawat Piper Cup, sehingga memperoleh Wing Penerbang Kelas III dari aeroclub Aviantara.

Tidak banyak diketahui masyarakat bahwa Mieke Wiweko adalah penerbang wanita pertama Indonesia. Mieke tetap terbang hingga pertengahan limapuluhan. Mereka dikaruniai dua putra dan seorang putri, yaitu Sriyanto, Boedi Darma dan Siti Indrani.

Berpisah Dari AURI

Bulan April 1952, pada usia 29 tahun lebih 3 bulan Komodor Muda Udara Wiweko mendapat promosi jabatan sebagai jabatan sebagai Perwira Staf Teknik (Deputi Logistik KASAU). Namun sayang pada pertengahan tahun 1953 Wiweko terpaksa tidak bisa aktif lagi di AURI. Kebetulan ada beberapa politisi pusat dan perwira idealis yang menyarankan pada Presiden agar Wiweko diangkat sebagai KASAU. Suatu hal yang tidak disetujuinya karena mempolitisir urusan AURI. Namun hubungannya dengan KASAU terlanjur memburuk.

Wiweko berusaha mengklarifikasi berita-berita tidak benar tersebut, namun tanggal 27 Januari 1954 Wiweko terkena status tahanan rumah. Tanggal 20 Maret 1954 statusnya dirubah menjadi tahanan kota sampai dicabut tanggal 21 Juni 1955. Dipindahkan ke staf Kementerian Pertahanan, Wiweko adalah satu-satunya perwira yang tidak mau keluar dari AURI meski terkena dampak situasi konflik politik. Akhirnya Wiweko yang diminta berhenti, ia bersedia asal disekolahkan dengan biaya negara.

Tahun 1956 pula berangkat di University of California, Berkeley sebagai anggota staf Angkatan Perang RI. Wiweko meraih gelar MBA dibidang transportation pada tahun 1959, serta sarjana ekonomi pada tahun 1960. Selama kuliah Wiweko juga mendapat lisensi Penerbang Komersial (CPL) dengan rating multi engine (1957).

Tanggal 1 Juni 1960, Wiweko menerima lisensi yang sama dari jawatan Penerbangan Sipil Indonesia. Bahkan saat di Amerika pula mendapat lisensi sebagai penerbang layang dan Observer resmi dari Soaring Society Of America.

Terbang Melintasi Pasifik Seorang Diri

Sepulangnya dari tugas belajar di Berkeley, Wiweko ditempatkan sebagai staf ahli Kepala Staf APRI. Namun dia sempat menjadi penerbang pembasmi hama di perkebunan tembakau PPN-Baru, Sumatera Utara antara Februari sampai dengan Juni 1961 dan waktu yang sama tahun 1962. Mulai 1 November 1962, dengan gelar SE dan MBA dari Berkeley, Wiweko diangkat menjadi dosen luar biasa pada FE-UI Jakarta dengan mata kuliah Transportation Management.

Pada 1 September 1963 diangkat sebagai Rektor Kepala Luar Biasa dengan mata kuliah yang sama. Wiweko berhenti dari tugasnya sebagai dosen luar biasa pada tanggal 1 Oktober 1967, sewaktu kesibukannya sebagai penerbang dan pengelola penerbangan di Permina dan BI banyak menyita waktu dan perhatiannya. Mulai tanggal 11 September 1963 Wiweko ditunjuk sebagai Kepala Bagian Penerbangan PN Pertambangan Minyak Nasional (Permina). Tanggal 1 April 1964 dia diangkat menjadi Penasihat Presiden Direktur Permina untuk urusan perkapalan.

Wiweko dipindah tugaskan sebagai tenaga ahli Bank Indonesia urusan penerbangan pada tanggal 23 Juni 1966. Tanggal 24 Agustus 1966 bersama empat kapten penerbang dan seorang teknisi berangkat ke AS untuk berlatih di Beech Aircraft Factory, selama satu bulan.

Saat itu 5 pesawat Beechcraft Super H-18 pesanan BI sedang dirakit. Pesawat ini dimodifikasi agar dapat diterbangkan oleh seorang penerbang atas masukan dari Wiweko dan masukan ini diterima oleh pihak Beechcraft. Pesawat ini juga dilengkapi peralatan radar cuaca, autopilot, avionic serta komunikasi yang cukup canggih. Bahkan salah satu pesawat Beechcraft Super H-18 diterbangkannya sendirian melintasi Samudra Pasifik. Terbang dari Wichita via Oakland, California ke Jakarta selama 60 jam, dengan mengisi bahan baker di Honolulu, Wake Island, Guam dan Manila.

Dengan prestasi ini patut dicatat dalam buku rekor bahwa Wiweko sebagai orang Asia pertama yang terbang terbang seorang diri melintasi Samudera Pasifik dari Oakland Amerika ke Jakarta menggunakan pesawat Beechcraft Super H-18 pada tahun 1966.

Pada bulan September 1977, saat mengunjungi pabrik Airbus di Balgnac, Wiweko diberi kesempatan mencoba menerbangkan A300. Sebagai tamu penting, Wiweko diberi kehormatan duduk di kursi kiri, sebagai captain pilot. Sedangkan di sebelah kanan sebagai kopilot adalah chief pilot Airbus, Pierre Baud. Di belakang, menghadap ke samping ada seorang flight engineer.

Pada waktu itu Wiweko belum memiliki type rating pesawat besar. Namun Wiweko memiliki rating beberapa pesawat dan helikopter, diantaranya pesawat B-25 dan helikopter Hiller 360.

A300 yang diterbangkan Wiweko benar-benar kosong. Belum ada langit-langitnya, tidak ada kursi dan masih terlihat kabel-kabel serta kerangka pesawat. Wiweko melakukan beberapa kali pendaratan touch-and-go. Kemudian gantian Pierre Baud mendemonstrasikan touch-and-go dengan bantuan komputer.

Tampaknya Wiweko terkesan dengan kemudahan menerbangkan pesawat tersebut, terutama karena ada bantuan komputer. Wiweko juga terkesan dengan kemudahan prosedur mematikan komputer setelah mendarat.

Pierre Baud melontarkan pertanyaan. ”Komodor Wiweko, bagaimana pendapat anda mengenai A300?”

Jawaban Wiweko justru balik bertanya, “Apa kerjanya orang yang duduk di belakang saya itu?”

“Dia adalah flight engineer…,” Jawab Pierre Baud.

“Itu saya sudah tau, tapi apa kerjanya?” tegas Wiweko.

Akhirnya Roger Beteille sebagai penggagas A300 buka kartu. Menurutya, sebetulnya Flight Engineer tidak diperlukan karena kokpit serba otomatis. Namun kursi flight engineer adalah konsensi dengan serikat buruh Eropa. Di samping itu, dunia penerbangan belum bisa menerima apabila pesawat berbadan besar hanya diawaki oleh dua pilot.

Pesawat-pesawat besar milik pabrik kenamaan Boeing, Lockheed, dan Douglas menggunakan tiga awak kokpit. Takut tidak laku dipasaran, Airbus terpaksa mengekor penggunaan tiga awak kokpit, walau sebenarnya tidak berguna. Mengambil pengalaman pada DC-8, dan pengalaman terbang solo melintas samudera Pasifik dengan pesawat Beechcraft Super H-18 dari Auckland, Amerika ke Jakarta, Wiweko berkesimpulan bahwa kokpit pesawat Airbus A300 cukup diawaki 2 orang saja.

“Keluarkan kursi (Flight Engineer) dan mari kita berunding mengenai pembelian pesawat,” ujar Wiweko tegas.

Beteille merasa terkejut, ketika Wiweko menyatakan akan membeli enam pesawat dengan tiga opsi tambahan. Roger Beteille, Executive Vice President and General Manager Airbus Industrie, pernah melontarkan gagasan pesawat Airbus kokpitnya diawaki 2 orang.

Gagasannya mengambil dasar pesawat dua awak buatan Perancis, Caravelle, tapi pasar saat itu hanya mau menyerap pesawat badan lebar Boeing, McDonald Douglas dan Lockheed yang kokpitnya tetap dilengkapi side-panel bagi flight engineer.

Sementara Wiweko di belahan Bumi lain, sudah mengambil langkah berani menuju ke arahtwo-man crew cockpit bagi pesawat kapasitas besar. la juga pernah mengurangi jumlah awak kokpit pesawat bermesin empat DC-8 buatan pabrik Amerika, McDonald Douglas, dari 5 menjadi 3 orang.

Alasan yang diberikan, pekerjaan flight radio operator dan navigator sudah tidak diperlukan lagi dalam pesawat, karena sudah tertangani oleh pilotnya. Seketika itu Beteille seakan mendapat durian runtuh. la menemukan seseorang dengan visi jauh ke depan yang sama. Dan orang itu berada di hadapannya dalam sosok Wiweko Soepono, asal negara berkembang tapi maju pemikiran dan pandangannya dalam menerapkan teknologi mutakhir penerbangan.

“Saya langsung menerimanya dan menawarkan kepada Komodor Wiweko untuk merancang dan mensertifikasi versi Airbus A300 yang memenuhi syarat dan kehendaknya,” kenang Roger Beteille mengenai hari bersejarah kelahiran two-man crew cockpit.

Dengan menghilangkan flight engineer dan mengubah setting layout cockpit pesawat, maka diperoleh konsep FFCC (Forward Facing Crew Cockpit) yang memungkinkan pesawat kelas jumbo hanya diterbangkan oleh 2 awak pesawat. Konsep FFCC sangat ditentang pada saat itu, baik di dalam maupun di luar negeri. Dunia penerbangan dibuatnya gempar penuh dengan suara pro dan kontra atas kejutan yang dibuat oleh Garuda Indonesian Airways dan Airbus Industrie.

Nadanya banyak yang menentang, termasuk di Indonesia. “Mungkin karena FFCC lahir dari pemikiran seorang Wiweko, sehingga pesawat besar yang hanya dikemudikan dua orang akan sangat membahayakan penumpang, Media massa Indonesia ikut pula latah: “Jangan nyawa penumpang dijadikan kelinci percobaan!”.

Reaksi yang paling keras datang dari Persatuan Pilot Belanda. Asosiasi tersebut mengajak para rekan penerbang negara tetangganya untuk mengikuti jejaknya. Sebuah harian di Hilversum tanggal 6 September 1979 menurunkan berita besar-besaran mengecam two-man cockpit yang diprakarsai Garuda Indonesia. Begitu gencarnya kecaman terhadap awal kehadiran pesawat badan lebar two-man cockpit ketika itu, tapi dengan melajunya teknologi serta perkembangan pesat dunia, pesawat badan lebar Boeing yang semula menentang akhirnya menggunakan teknologi ini pada pesawat B-747 400 dan B-777.

Nama lain dari FFCC adalah glass-cockpit yang juga dikenal sebagai Garuda cockpit. Airbus Industrie kemudian memberi predikat kehormatan kepada Wiweko sebagai “Bapak Two-man Forward Facing Crew Cockpit” Tapi ia menolak ketika Airbus menamakan kokpit ini sebagai “Wiweko Cockpit.” Dengan rendah hati, ia meminta agar kokpit tersebut dinamakan sebagai “Garuda Design Cockpit”.

Tercatat Garuda Indonesia mengoperasikan 9 pesawat jenis ini (A 300 B4 FFCC), salah satunya jatuh di Sibolangit, Sumatra Utara pada tahun 1997. Pada akhirnya untuk menyehatkan keuangan perusahaan (dan mengikuti perkembangan teknologi), pesawat ini kemudian dijual untuk menyehatkan perusahaan meskipun menurut R.J. Salatun, setidaknya ada salah satu yang dipajang di museum. Bahkan ia mengoreksi Pierre Baud, Chief Pilot Airbus yang menyebutkan: “Mr. Wiweko you have the honour to fly the ‘Wiweko Cockpit”‘ saat Wiweko masuk ke dalam kokpit A310, pesawat 2 awak full digital cockpit yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan glass-cockpit, mengambil dasar A300-B4 FFCC Garuda Indonesian Airways.

Wiweko langsung mengoreksi Baud dengan mengatakan, “Garuda Design Cockpit.” Saat itu Desember 1984, Wiweko tengah pamitan pada Airbus setelah usai tugas sebulan sebelumnya di Garuda Indonesia. Airbus A310 mulai melayani penerbangan komersial tahun 1983, setahun setelah pesawat two-man cockpit A300-B4 Garuda mengudara melayani penumpang di Indonesia.

Far East Area Sales Manager Airbus Mr. Fritz Winkelmann mengatakan: ”We are proud that this type of aircraft has come to make use of an idea originating from the mind of a son of Indonesia, combined with new modern technology, which employs push button illuminated switches and digital system. The Two man cockpit has become a reality and I believe that this Garuda Design could become the choice of many airlines”.

Two Man Cockpit tersebut merupakan cikal bakal semua cockpit berawak 2 sampai sekarang termasuk Airbus A380. Kata-kata “It was Mr. Wiweko who gave birth to the two-man Forward Facing Crew Cockpit,” ujar Fritz Winkelmann memproklamirkan kepada hadirin mengawali sambutan utama dari Presiden Airbus Industrie Lathier, Direktur Utama Garuda Wiweko Soepono dan key speaker Duta Besar Rl, Barli Halim pada acara penyerahan pesawat pertama Airbus A300-B4 FFCC(Forward Facing Crew Cockpit) kepada Garuda Indonesian Airways 18 Januari1982.

Kutipan Fritz Winkelmann, Far East Area Sales Manager Airbus Industrie, dikutip dari buku “Dari Blitar ke Kelas Dunia, Wiweko Soepono Membangun Penerbangan Indonesia”.

Namun yang mengejutkan adalah ketika Wiweko Soepono menolak dengan halus kedudukan di Airbus Industrie yang ditawarkan Roger Beteille, Executive Vice President/General Manager Airbus.

“Terima kasih penghargaan yang diberikan, tapi saya orang Indonesia, ingin mengabdikan diri sepenuhnya bagi bangsa Indonesia,” ucapnya menolak dengan halus tawaran yang disodorkan kepadanya.

Menjadi Direktur Utama Garuda

Suatu hari pada bulan Februari 1968, Wiweko diminta menghadap Presiden Jendral Suharto memintanya menyehatkan BUMN Garuda Indonesian Airways yang berada dalam kondisi hampir bangkrut dengan armada yang terdiri dari 17 DC-3 Dakota, 8 Convair 340, 3 Lockheed Electra, 3 Convair 990-A, serta 1 DC-8. Dengan pengalamannya selama memimpin Indonesian Airways di Myanmar, beliau melakukan penyehatan perusahaan dan peremajaan armada dengan mengganti armada dengan pesawat Fokker F27 dan Fokker F28. Jabatan Direktur Utama dipegangnya selama 16 tahun, mulai 17 Februari 1968 hingga 17 November 1984.

Mulai berumur 45 hingga 61 tahun, Wiweko memiliki rating dari semua pesawat yang dimiliki oleh Garuda. Wiweko berhasil membawa flag carrier Indonesia memasuki pasar modal internasional. Garuda mendapat pinjaman komersial oleh sebuah konsorsium bank yang dipimpin oleh The Chase Manhattan Bank untuk pembelian sebuah pesawat Douglas DC-9.

Pinjaman ini sejak awal hingga akhir ditangani langsung oleh Garuda sendiri, tanpa jaminan pemerintah. Sebagai jaminan terhadap pinjaman tersebut adalah pesawat terbang yang dibelinya. Pesawat tersebut dibeli pada tahun 1972, yakni tahun kebangkitan Garuda Indonesian Airways di bawah kepemimpinan Wiweko Soepono.

Pesawat kemudian diberi nama “Serayu” oleh Wiweko, sebuah sungai yang mengalir di sepanjang Banyumas. Sistem manajemennya yang ketat, berhasil membangun sebuah penerbangan dengan armada jet terbesar di Asia Tenggara tanpa subsidi pemerintah. Lisensi Airline Transport Pilot (ATPL) dari AS diperolehnya tanggal 23 september 1977 dan ATPL RI diperolehnya pada tanggal 1 Desember 1977.

Dari sebuah DC-9 kemudian dengan cara menghimpun pendapatan demi pendapatan untuk memperkuat keuangan perusahaan. Manajemen dilakukan secara ketat terutama di sektor-sektor keuangan yang rawan terjadi kebocoran sehingga sewaktu ia dilengserkan Presiden Soeharto pada tahun 1984, di Chase Manhattan Bank Garuda memiliki 108 juta dollar AS dalam bentuk tunai diluar dana taktis 4 juta dollar serta armada yang terdiri dari 79 pesawat dalam kondisi baik diantaranya 24 McDonald Douglas DC-9, 36 Fokker F-28, 4 jumbo jet Boeing 747-200 dan 6 pesawat badan lebar McDonald Douglas DC-10 serta 9 Airbus A300-B4 sehingga membuat maskapai Garuda Indonesia terbesar di Asia setelah Japan Air Lines milik Jepang. Dengan 36 pesawat Fokker F28 juga menjadikan Garuda Indonesia operator terbesar Fokker F-28 di dunia.

Namun kebijakannya dibidang keuangan yang dikenal pelit membuat dia begitu kurang disukai para pilot. Dengan gaji sebesar Rp 59.000 saat itu, para pilot yang saat itu merasa kurang melakukan tindakan yang dikenal dengan nama ngobyek atau freefrighter (pilot mengadakan jasa kargo udara di luar kargo resmi).

Wiweko bukan tidak tutup mata dalam hal itu, sehingga pernah suatu saat Wiweko memberikan nasihat kepada para pilot “Saya tahu bahwa gaji yang diberikan sangat kurang, namun janganlah sekali-kali menjadi pencuri”.

Setelah R.A.J.Lumenta diangkat menjadi direktur utama, kondisi gaji pilot berangsur angsur ditingkatkan. Gayanya mengatur perusahaan cukup unik dan keras. Banyak komentar mengenai gaya kepemimpinannya, namun Wiweko memberi komentar, “Since my youth I’ve not been the most popular member of the human race”.

Bintang Jasa Utama untuk Wiweko Soepono

Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Jasa Utama, salah satu bintang tertinggi negara kepada Wiweko Soepono yang dinilai telah memberi sumbangan besar terhadap perkembangan dunia dirgantara Indonesia, khususnya pada flag carrier Garuda Indonesia. Penganugerahan bintang jasa tersebut diberikan dalam peringatan tahun emas 50 tahun Garuda Indonesia, 26 Januari 1995 dalam acara yang berlangsung di Garuda Maintenance Facility (GMF) Bandara Soekarno-Hatta.

GMF adalah salah satu fasilitas Garuda Indonesian Airways (kini Garuda Indonesia) yang dirintis pembangunannya oleh Wiweko Soepono. Fasilitas lainnya adalah pusat boga (catering), pusat pelatihan Duri Kosambi dan dua hotel berbintang di Bali.

Wiweko Soepono meninggal dunia di Rumah Sakit St Carolus pada 8 September 2000 pukul 11.30, setelah dirawat beberapa waktu akibat menderita sakit prostat. Setelah disemayamkan di rumah duka Jalan Cianjur 24, Menteng, pukul 17.00, jenazah dikebumikan di Pemakaman Umum Jeruk Purut, Cipete, Jakarta di sebelah makam istrinya, Siti Aminah Mieke Wiweko, yang meninggal dua tahun sebelumnya. Istri tercintanya, Siti Aminah Mieke berpulang mendahuluinya pada tanggal 30 September 1998 di RS. Pelni Jati Petamburan.

Sejak saat itu Wiweko merasa kosong. Dua tahun kemudian, Hari Jumat, 8 September 2000, Wiweko yang telah beberapa lama di rawat di RS.St Carolus karena sakit prostat, menyusul berpulang ke Rahmatullah pada pukul 11.30.

Dua puluh empat jam terakhir Wiweko terus menerus bertakbir “Allahu-Akbar”, lalu manusia udara sejati ini berpulang dengan wajah tenang. Wiweko dilepas dengan upacara Kehormatan Militer penuh, jasadnya diistirahatkan dekat istrinya Mieke, di TPU Jeruk Purut Cipete. Bangsa dan Negara ini telah kehilangan salah satu putra dirgantara terbaiknya.

Kunci sukses dan Pesan Wiweko

Wataknya yang keras dan suka melawan arus, tercermin dalam menghadapi keluarga Soeharto. Penguasa Orde Baru tersebut sering membuat banyak orang ketakutan. Tidak demikian dengan Wiweko. Pada saat menjadi Dirut Garuda, ia pernah menolak mentah-mentah anak-anak Soeharto yang datang menawarkan jasa asuransi. Bukan hanya menolak, ia malah menasehati anak-anak Soeharto agar belajar dulu mengenai perasuransian.

People call him stubborn, proud, and aloof, an autocrat who runs the national airline as his personal fiefdom,” tulis Purra.

Memang dengan berpenampilan cenderung arrogant, Wiweko mengundang pertanyaan apakah keberhasilannya mengelola Garuda yang tidak segan menentang arus, karena latar belakang berpendidikan Barat di masa remajanya?

“Kenyataannya memang orang Barat lebih mudah mengenal watak dan kepribadiannya daripada orang Indonesia,” Salman Hardani pernah menjelaskan.

Mengenai ini, Wiweko menyangkal keras prasangka tersebut ia menguraikan bahwa pendidikan Barat yang sempat dienyamnya, hanyalah sekadar sarana mempertajam berfikir, sebagai pelengkap.

“Saya diasuh dalam lingkungan keluarga Jawa yang menempatkan nilai moral di atas kebendaan. Semenjak kecil saya telah diakrabkan dengan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Rasa ini masih teguh karena ditempa oleh perjuangan kemerdekaan di tahun 1945. Inilah yang membentuk watak dan kepribadian saya,” ujar Wiweko (yang lahir 18 Januari 1923 di Blitar).

Wiweko mereda kemudian membeberkan kunci suksesnya memimpin Garuda Indonesian Airways. “Kuncinya adalah daya pemupukan modal,” Menurut pendapat Wiweko Soepono, perusahaan model yang diperlukan negara berkembang seperti Indonesia adalah perusahaan yang selalu berusaha meningkatkan daya pemumpukan modalnya.

Dalam perusahaan semacam itu, diperlukan adanya sikap keprihatinan yang wajar dan semangat perjuangan, sekalipun tidak perlu ekstrim atau berlebih-lebihan dalam austerity akan sikap hematnya.

"Yang penting adalah kebutuhan-kebutuhan dasar terpenuhi secara wajar. Jangan dulu dipentingkan wants atau keinginan-keinginan ekstra" tegas Wiweko.

Karena menurut visinya, sikap yang terlalu mementingkan wants itu, pada akhirnya dapat merongrong atau bahkan mengerosi modal dasarnya sendiri. Diibaratkan misalnya, jika masyarakat hanya menikmati hidup dengan tingkat konsumsi tinggi seperti di luar negeri dengan dibiayai dana minyak dan melupakan pemupukan modal, maka pada akhirnya modal dasar itu akan habis. Lalu kita mau ke mana, tanya Wiweko.

Mungkin hanya suatu kebetulan (co-incidence) saja, dengan perginya Wiweko Soepono, pesawat two-man cockpit Airbus A300-B4 juga “menghilang” dari armada Garuda Indonesia dijual. Apakah tidak sebaiknya, salah satu diantaranya dipertahankan, dijadikan museum terbang sebagai pesawat badan lebar pertama dunia diawaki oleh dua pilot guna mengenang pengagasnya, Wiweko Soepono, putra Jawa Timur yang lahir di Blitar di tempat yang sama Anthony Fokker, pembuat pesawat Fokker dan Bung Karno lahir.

Artikel ini ditulis setelah terinspirasi membaca artikel dari blog ini :https://budhiachmadi.wordpress.com/2009/09/05/wiweko-soepono/

Kemudian digabungkan dengan materi dari sumber-sumber lain :

– Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Wiweko_Soepono) – Majalah Angkasa - Indonesiasetara.org

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini