Ende telah terkenal ke mancanegara jauh sebelum Taman Nasional Komodo dikunjungi wisatawan. Akan tetapi, saat Bung Karno datang ke sini ini dahulu, Ende ibarat kota mati dengan jalanan kecil belum beraspal. Saat itu rumah penduduk pun masih jarang dan wilayahnya masih berupa hutan, kebun karet, dan tanaman rempah-rempah. Belum ada pelabuhan laut apalagi transportasi udara di Ende saat itu. Rumah yang menghadap ke timur di Pelabuhan Ende ini awalnya milik Haji Abdullah Ambuwaru yang kemudian dikontrak oleh Bung Karno. Luas bangunannya 9 x 18 m², memiliki tiga kamar yang berderet di sisi kanannya. Satu kamar tidur untuk Bung Karno, satu kamar untuk Ibu Inggit bersama Ibu Amsih, dan satu kamar lagi untuk ruang tamu.Selama 8 hari pelayaran dari Surabaya dan dikawal dua orang petugas pemerintah, tibalah Bung Karno dan keluarganya di Ende. Ia langsung dimasukkan dalam tahanan rumah milik pemerintah Hindia Belanda hingga akhirnya tinggal di rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru.
Di belakang rumah ini juga ada sebuah ruangan yang sering digunakan Bung Karno untuk salat dan bermeditasi. Masih membekas dua telapak tangan Bung Karno ketika ia bersujud. Ada juga sebuah sumur yang airnya masih dapat digunakan hingga sekarang. Tidak banyak yang berubah dari bentuk asli rumah yang dibangun tahun 1927 itu, kecuali saja atap sengnya yang diganti karena bocor. Rumah ini sejak tahun 1954 resmi dijadikan museum dan setelah Indonesia merdeka, Bung Karno sudah tiga kali berkunjung, yaitu tahun 1951, 1954 dan 1957. Tahun 1952 rumah ini pernah dijadikan Kantor Sosial Daerah Flores dan tempat bersidang DPRD Flores. Di Rumah Pengasingan Bung Karno ini dapat Anda jumpai beragam barang rumah tangga yang dahulu digunakan Bung Karno. Saat Anda berkunjung disarankan Anda dipandu untuk mendapatkan penjelasan dan kisah menarik di baliknya. Bapak Musa adalah seorang penjaga yang dapat Anda sewa sebagai pemandu. Musa adalah cucu Abu Bakar, yaitu seorang pemain sandiwara dari naskah tonil yang dibuat Bung Karno. Saat itu ada 47 anggota dari grup tonil Kelimoetoe yang dibentuk oleh Bung Karno. Setelah mengisi buku tamu dan membayar tiket Rp2.500,- maka Anda akan melewati pintu berdaun ganda. Di ruang tamunya terdapat kursi rotan dan satu meja bundar yang biasa Bung Karno gunakan untuk menjamu tamunya. Di dinding rumah tergantung lukisan sosok Soekarno karya Affandi yang mulai pudar. Ada pula lukisan Pura Bali yang dibuat Bung Karno tahun 1935. Beberapa foto Bung Karno bersama keluarga dan teman-temannya terpajang juga.Di Ende, Bung Karno kehilangan mertuanya Ibu Amsih yang paling menyayangi beliau. Ibu Amsih wafat tahun 1935 dan dimakamkan di Pemakaman Karara, Ende. Karena sayangnya pada mertua, Bung Karno mengerjakan sendiri makam mertuanya tersebut. Bahkan kini makam itu masih dalam keadaan kondisi sangat baik.
Di sebuah lemari kaca ada dua tongkat kayu yang biasa dibawa Bung Karno dimana ujungnya berkepala kera. Tongkat tersebut digunakan Bung Karno apabila bertemu dengan Pemerintah Hindia Belanda. Bung Karno tidak membalas hormat penguasa Hindia Belanda dengan anggukan tetapi dengan mengarahkan tongkatnya yang berkepala kera. Cara ini sebagai simbol bahwa sifat penjajah hanya bisa dihargai oleh binatang dan tidak oleh sesama manusia. Dalam lemari kaca juga tersimpan naskah tonil karya Bung Karno dalam map berwarna oranye. Selama di Ende, Bung Karno menghasilkan 13 naskah tonil, diantaranya adalah: “Dokter Setan”, “Aero Dinamik”, “Jula Gubi”, dan “Siang Hai Rumbai”. “Rahasia Kelimutu”, “Tahun 1945”, “Nggera Ende”, “Amuk”, “Rendo”, “Kutkutbi”, “Maha Iblis”, dan “Anak Jadah”. Naskah-naskah tonil tersebut digunakan Bung Karno untuk mengobarkan semangat rakyat merebut kemerdekaan. Pementasan dramanya saat itu dilakukan di Gedung Imakulata, milik Paroki Katedral Ende yang lokasinya berada di Jalan Irian. Sayang, kondisinya saat ini rusak parah.Lukisan tangan Bung Karno tentang Pura Bali adalah bentuk rasa hormat Bung Karno kepada ibunya yang berasal dari Bali. Dalam lukisan pura dengan atap miring itu ada empat orang sedang berdoa terdiri dari pemeluk Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Penggambaran ini menyiratkan masyarakat Indonesia yang hidup rukun berbeda agama berdoa bersama dan atap miring puranya menggambarkan Pemerintah Hindia Belanda sudah hampir jatuh.
Pengikut setia Soekarno, Djae Bara, sebelum meninggal tahun 1990-an, pernah memaparkan kepada koran nasional (Kompas) bahwa dalam satu karya tonil tahun 1935- 1936, Bung Karno meramalkan Indonesia akan merdeka tahun 1945. Kemerdekaan itu tidak direbut dari Belanda melainkan dari sesama bangsa Asia.
Bung Karno biasa merenung di sebuah lapangan dengan pohon sukun yang besar menaunginya. Tempat ini menghadap Teluk Sawu dengan lautnya yang tenang dan dikelilingi bukit-bukit hijau menyejukkan mata dan hati. Dari perenungannya, Bung Karno menyadari bahwa semangat untuk meraih kemerdekaan tidak bisa berhenti tetapi tak bisa lepas dari kehendak semesta.
Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila. Indonesia.travel
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News