80 Tahun Sang Bapak Sastra Kebanggaan Orang Minang

80 Tahun Sang Bapak Sastra Kebanggaan Orang Minang
info gambar utama
Siapa yang tidak mengenal penyair besar Indonesia Taufiq Ismail? Sastrawan kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935 itu terkenal sebagai penyair yang religius. Taufiq Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat.[1] Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan SMA di Pekalongan. Taufiq Ismail sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh. Ini beberapa karya sang legenda hidup.

DOA

oleh : Taufik Ismail

 

Tuhan kami

Telah nista kami dalam dosa bersama

Bertahun-tahun membangun kultus ini

Dalam pikiran yang ganda

Dan menutupi hati nurani

 

Ampunilah kami

Ampunilah

Amin

 

Tuhan kami

Telah terlalu mudah kami

Menggunakan AsmaMu

Bertahun di negeri ini

Semoga Kau rela menerima kembali

Kami dalam barisanMu

 

Ampunilah kami

Ampunilah

Amin

1966

LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK

Oleh :Taufiq Ismail

 

Sebuah Lasykar truk

Masuk kota Salatiga

Mereka menyanyikan lagu

‘Sudah Bebas Negeri Kita’

Di jalan Tuntang seorang anak kecil

Empat tahun terjaga :

‘Ibu, akan pulangkah Bapa,

dan membawakan pestol buat saya ?’

(1963)

Budaja Djaja

Thn. VI, No. 61

Juni 1973

 

BAGAIMANA KALAU

 

Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,

tapi buah alpukat,

Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,

Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,

dan kepada Koes Plus kita beri mandat,

Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,

dan ibukota Indonesia Monaco,

Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,

salju turun di Gunung Sahari,

Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin

dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,

Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia

dibayar dengan pementasan Rendra,

Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,

dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,

Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di

kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki

pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara

percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan

margasatwa Afrika,

Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil

mempertimbangkan protes itu,

Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita

pelihara ternak sebagai pengganti

Bagaimana kalau sampai waktunya

kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.

1971

 

BAYI LAHIR BULAN MEI 1998

 

Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga

Suaranya keras, menangis berhiba-hiba

Begitu lahir ditating tangan bidannya

Belum kering darah dan air ketubannya

Langsung dia memikul hutang di bahunya

Rupiah sepuluh juta

 

Kalau dia jadi petani di desa

Dia akan mensubsidi harga beras orang kota

Kalau dia jadi orang kota

Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya

Kalau dia bayar pajak

Pajak itu mungkin jadi peluru runcing

Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing

 

Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga

Mulutmu belum selesai bicara

Kau pasti dikencinginya.

1998

 

Oktober Hitam (1)

Atap-atap gunung Dan daratan

Meratap Ke mega gemulung Mata yang duka

Menatap Sepanjang pagi murung Angin yang nestapa

Berdesah Awan pun mendung Di musim pengap

Yang gelisah Menitiklah gerimis Karena berjuta

Telah menangis Tujuh lelaki Telah mati Pagi itu

 

(2)

Kaki kami lamban menyongsongmu, Kenyataan Begitu keras kau gedor-gedor pintu negeri kami Yang terkantuk-kantuk dalam kefanaan panjang Dan terendam mimpi demagogi

Cakar kekhianatan Telah mencengkeram urat leher Menebas jalan napas

 

(3)

Pohon-pohon cemara Pohon asam Pohon randu sepanjang jalan Pohon pina di hutan-hutan Pohon kamboja di pekuburan

Menundukkan Daun-daunnya

Dan margasatwa Kawanan unggas Burung kepodang Balam dan elang

Berbisik-bisik Tiada henti Menyebut namaMu

 

(4)

Darah Ade, anak perempuan mungil itu Menetes sepanjang tongkat ayahnya Yang bertelekan di kuburan Menahan berat beban cobaan Tapi tetap tegak bertahan

Sembilu telah mengiris Langit Menyayat-nyayat mega Menurunkan gerimis Semua berbisik Tiada henti Menyebut namaMu Kami pun terjaga dalam Oktober yang hitam Bangkit dan kabut ilusi Tahun-tahun meleleh, tangan ‘kan menegak keadilan Dalam deram tak tertahan-tahan!

 

(5)

Awan pun jadi mendung Di pagi musim yang pengap Ketika arakan jenazah Bergerak pelahan

Di atas kendaraan baja Di bawah awan nestapa Dipagar air mata Kulihat pagi jadi mendung Kulihat cuaca mengundang gerimis Di negeri yang berkabung Dalam duka mengiris

Fajar kelabu Fajar kelam Pagi pembunuhan Pagi yang hitam

Tujuh lelaki Telah mati Dikhianati.

1965

 

GUGUR DALAM PENCEGATAN

TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN

 

Demikian cerita kakek penjaga

Tentang pengunjung lelaki setengah baya

Berkemeja dril lusuh, dari luar kota

Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya

Datang ke musium perjuangan

Pada suatu sore yang sepi

Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela

Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara

Lelaki itu menulis kesannya di buku-tamu

Buku tahun-keenam, halaman seratus-delapan

Dan sebelum dia pergi

Menyalami dulu kakek Aki

Dengan tangannya yang dingin aneh

Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh

Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan

Ke tengah gerimis di pekarangan

Tetapi sebelum ke pagar halaman

Lelaki itu tiba-tiba menghilang

 

DARI CATATAN SEORANG DEMONSTRAN

 

Inilah peperangan

Tanpa jenderal, tanpa senapan

Pada hari-hari yang mendung

Bahkan tanpa harapan

 

Di sinilah keberanian diuji

Kebenaran dicoba dihancurkn

Pada hari-hari berkabung

Di depan menghadang ribuan lawan

1966

 

Dari Ibu Seorang Demonstran

 

“Ibu telah merelakan kalian

Untuk berangkat demonstrasi

Karena kalian pergi menyempurnakan

Kemerdekaan negeri ini”

 

Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada

Atau gas airmata

Tapi langsung peluru tajam

Tapi itulah yang dihadapi

Ayah kalian almarhum

Delapan belas tahun yang lalu

 

Pergilah pergi, setiap pagi

Setelah dahi dan pipi kalian

Ibu ciumi

Mungkin ini pelukan penghabisan

(Ibu itu menyeka sudut matanya)

 

Tapi ingatlah, sekali lagi

Jika logam itu memang memuat nama kalian

(Ibu itu tersedu sedan)

 

Ibu relakan

Tapi jangan di saat terakhir

Kau teriakkan kebencian

Atau dendam kesumat

Pada seseorang

Walapun betapa zalimnya

Orang itu

 

Niatkanlah menegakkan kalimah Allah

Di atas bumi kita ini

Sebelum kalian melangkah setiap pagi

Sunyi dari dendam dan kebencian

Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan

Serta rasul kita yang tercinta

 

pergilah pergi

Iwan, Ida dan Hadi

Pergilah pergi

Pagi ini

 

(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta

Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka

Dan berangkatlah mereka bertiga

Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)

1966

Karangan Bunga

 Tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu Datang ke Salemba Sore itu.
Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang di tembak mati siang tadi’ (Taufiq Ismail, Tirani, 1966)

Jalan Segara

 

Di sinilah penembakan

Kepengecutan

Dilakukan

 

Ketika pawai bergerak

Dalam panas matahari

 

Dan pelor pembayar pajak

Negeri ini

 

Ditembuskan ke pungung

Anak-anaknya sendiri

1966

(Dari Berbagai Sumber)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini