Gairah Baru Lahirkan Ikon Baru Industri Penerbangan Negeri

Gairah Baru Lahirkan Ikon Baru Industri Penerbangan Negeri
info gambar utama
Kunjungan lapangan di Bandara Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, tahun 2005, membuat Palmana Banandi (45) terenyak. Sugapa ada di antara Pegunungan Cartenz. Panjang landasannya tak lebih dari 600 meter. Sugapa adalah wajah geografis Indonesia yang memerlukan respons teknologi penerbangan yang fleksibel. ”Banyak bandara dengan kondisi seperti itu di Indonesia wilayah timur. Lengah sedikit bisa sangat berbahaya,” ujarnya. Kondisi itu bukan satu-satunya persoalan. Data lain menyebutkan, banyak pesawat di daerah terpencil butuh penyegaran. Usianya 20 tahun atau kurang dari 5-10 tahun memasuki usia pensiun. Pesawat-pesawat yang mengudara di langit Papua termasuk di antaranya. ”Data dan fakta itu memberi keyakinan, dibutuhkan pesawat lincah, harga terjangkau, dan perawatan mudah, tetapi mampu membawa banyak penumpang dan barang bawaan,” kata Palmana. Serangkaian fakta dan kebutuhan itulah yang jadi alasan di balik pentingnya pembuatan pesawat turboprop Nusantara 219 (N219). Pesawat itu bisa menjadi jembatan warga, barang, hingga militer melintasi daerah berkondisi geografis sulit hingga rentan perubahan cuaca ekstrem. Digagas tahun 2004, desain N219 hampir rampung. Tahun ini, PT Dirgantara Indonesia (DI) menargetkan satu pesawat purwarupa dan satu pesawat untuk pengujian struktur. Uji struktur mengukur kekuatan pesawat pada titik paling rentan. ”Area paling kritikal di bagian sayap. Melalui tekanan hidrolik akan dilihat seberapa besar sayap menerima beban maksimal. Hasil tes dijadikan panduan laik atau tidak N219 terbang. N219 punya keunggulan menghubungkan daerah terpencil Indonesia,” kata Palmana yang adalah Chief Engineer PTDI untuk pesawat N219. Salah satu kunci penting N219 ada pada sistem aerodinamika dan avionik. Sistem aerodinamika N219 mirip pendahulunya, N250 dan CN235, yang dibuat tahun 1990-an. Jauh lebih mudah ketimbang kompetitor yang mengandalkan desain tahun 1960-an. Itu memberi keunggulan meraih kecepatan minimal untuk daya angkat (stall speed) 59 knot. Stabil pada kecepatan rendah bisa memberi keuntungan saat pesawat harus bermanuver melintasi daerah sempit di antara tebing tinggi. Aerodinamika perpaduan dari N250 dan CN235 juga memungkinkan pesawat mendarat mulus meski landasannya rumput atau tanah sepanjang 500 meter. Sistem avionik N219 pun diyakini lebih unggul. Pada tubuhnya dibenamkan Garmin 1000. Perangkat ini lazim dibenamkan pada pesawat kategori FAR (Federal Aviation Regulation) part 23 masa kini. Salah satu ciri pesawat FAR part 23, penumpangnya tidak lebih dari 19 orang. Menggunakan G1000, pilot dimudahkan radar cuaca yang memetakan awan berserakan di udara. Pilot juga akan ditemani teknologi terrain alerting and warning system (TAWS).
BPPTBPPT
Menurut Palmana, TAWS bisa memberi gambaran tiga dimensi saat pesawat mendekati daratan, termasuk peringatan jika ada tebing di depan. TAWS diklaim lebih canggih ketimbang ground proximity warning system (GPWS) yang tanpa citra tiga dimensi. ”Cocok terbang melintasi daerah pegunungan,” katanya. Pemilihan mesin Pratt & Whitney PT6A juga bukan tanpa alasan. Kini, keluarga mesin PT6A digunakan di sekitar 2.500 pesawat di dunia. Keuntungannya, mesin ini dikenal banyak mekanik Indonesia, termasuk di daerah terpencil. Palmana mengklaim, mesin PT6A yang digunakan lebih unggul ketimbang kompetitor. N219 memakai PT6A-42 yang mampu menghasilkan kekuatan 850 shaft horse power (shp). Kekuatannya lebih besar ketimbang PT6A-34 yang digunakan Quest Kodiak atau Twin Otter 400 yang menghasilkan kekuatan 750 shp. ”Dengan kombinasi sistem aerodinamika dan avionik, N219 sanggup membawa 12 penumpang dengan 20 kilogram bawaan per penumpang, dari maksimal 19 penumpang, atau tiga penumpang lebih banyak ketimbang kompetitor saat harus berada di ketinggian 5.000-6.000 kaki,” katanya. Meski didukung teknologi anyar, kata Palmana, biaya penelitian masih terjangkau, sekitar 70 juta dollar AS. Biaya penelitian sebesar itu turut menekan harga jual. N219 akan dibanderol 5,2 juta dollar AS, lebih murah ketimbang Twin Otter Series 400 yang dipatok 7,8 juta dollar AS per unit. Direktur Utama PTDI Budi Santoso mengatakan, pasar N219 terbuka lebar. Direncanakan membangun hingga 24 pesawat per tahun, sebanyak 200 pesawat diminati sejumlah pihak. Maskapai penerbangan Lion Air siap memesan 100 unit jika N219 layak terbang. N219 juga akan diproyeksikan menggantikan Nomad milik angkatan bersenjata Thailand. ”Selain bisa memberi keuntungan finansial, N219 juga sangat potensial menjadi masa depan dunia penerbangan Indonesia,” katanya. Regenerasi Pada saat berkunjung ke PTDI, pekan lalu, wajah Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir semringah melihat kesiapan pembangunan, termasuk miniaturnya. Ia antusias mencoba replika kursi penumpang dan pilot yang disediakan baginya. Berulang kali ia mengatakan, N219 membawa semangat baru bagi dunia dirgantara Tanah Air. Menurut Palmana, optimisme itu sangat beralasan. Sempat mati suri, N219 membawa gairah baru. Ia mencontohkan Laboratorium Aero Gasdinamika dan Getaran Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kembali melakukan uji lorong angin. Uji Struktur juga dilakukan Laboratorium Uji Konstruksi BPPT. Pengujian serupa dilakukan tahun 1995 untuk N250. Keberadaan N219 juga diyakini menghidupkan Pusat Teknologi Penerbangan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. ”Sertifikasi layak terbang atau tidak nanti akan dilakukan Kementerian Perhubungan. Sebelumnya, mereka hanya terbiasa melakukan validasi pesawat,” katanya. Bagi PTDI, kata Palmana, keuntungan besar ada di depan mata. N219 memberikan kesempatan regenerasi ahli dirgantara tetap berjalan dengan baik. Regenerasi PTDI mencapai puncak 1-2 tahun ke depan. Saat itu, banyak ahli penerbangan PTDI pensiun. ”Dalam tim pusat desain N219 terlibat 200 orang. Sekitar 30 orang di antaranya muda usia,” katanya. Salah satunya Defanti Fajar (24). Baru 1,5 tahun ia lulus dari Teknik Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung. Ia bangga jadi bagian pembuatan N219 dan siap menerima banyak ilmu dari para seniornya. ”Memang rumit karena ini pengalaman pertama. Namun, saya sangat terbantu dengan semangat tim,” kata Defanti yang bertanggung jawab atas tampilan panel multifungsi N219. Peran pemerintah yang kian aktif mengembuskan angin segar. Demi memenuhi penggunaan komponen lokal hingga 40 persen, Kementerian Perindustrian melatih para pengusaha lokal tentang, di antaranya, cara membuat karet, interior, hingga produk berbahan metal. Kuota 40 persen adalah jumlah minimal yang mewajibkan pemerintah turut bertanggung jawab membiayai N219. ”Saya bilang kepada anggota tim, kita harus siap. Mari wujudkan N219 mengudara,” kata Palmana. Terus semangat!

(Cornelius Helmy/KOMPAS)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini