Wregas Bhanuteja, Sutradara muda Yogyakarta nominator festival film Bernilale 2015

Wregas Bhanuteja, Sutradara muda Yogyakarta nominator festival film Bernilale 2015
info gambar utama
Lembusura, sebuah legenda kuno tentang iblis gunung. Hujan abu turun menyelimuti pulau Java. Abu lebat itu berasal dari gunung api aktif, Gunung Kelud. Gunung yang dikenal sebagai gunung paling aktif dan paling berbahaya karena letusannya yang eksplosif. Ketika abunya beterbangan semuanya sekejap menjadi abu-abu, rumah-rumah, jalanan, bunga-bunga dan juga payung. Menurut Legenda hujan abu ini disebabkan oleh iblis gunung bernama Lembusura yang mengenakan tudung sihir dikepalanya dan tinggal di gunung api.
Wregas Bhanutedja Wregas Bhanutedja seusai screening Lembusura (Foto: Berlinale)

Begitulah kira-kira sinopsis dari sebuah karya film pendek berjudul Lembusura yang mendapat banyak pujian. Sebuah karya dari seorang Wregas Bhanutedja. Pemuda asal Yogjakarata yang karyanya menjadi nominator dalam festival film Berlinale 2015. Bisa melihat festival film Berlinale secara langsung di Jerman, bagi Wregas Bhanuteja adalah impian yang menjadi kenyataan. Sejak berkuliah di Institut Kesenian Jakarta ia kerap menonton Berlinale dari kanal video Youtube. Tidak heran, betapa terkejutnya pria berusia 22 tahun ini, begitu mengetahui film pendeknya lolos seleksi program kompetisi Berlinale Shorts. “Saya tidak bisa tidur. Waktu diumumkan masih jam empat sore. Saya senang sekali dan saya tidak bisa tidur sampai jam tiga pagi keesokan harinya. Saya terkejut. Begitu saya membuat film tanpa adanya pretensi, tanpa ada keinginan bahwa film ini harus jadi film art atau film bagus, ternyata secara alamiah kesenian film itu muncul dari diri saya sendiri. Tanpa harus dipaksakan. Jadi ibaratnya biarkan mengalir, biarkan keluar alami, maka kesenian akan film itu akan keluar sendiri dari diri kita masing-masing,” katanya kepada Deutche Welle yang mewawancarainya Karya yang berangkat dari kejadian nyata letusan gunung kelud tahun 2013 silam ini dikombinasikan dengan mitologi kuno tentang Lembu Sura. Mitologi yang dekat dengan kisah legenda kerajaan Majapahit. Mitologi Lembu Sura bercerita tentang seorang siluman berkepala lembu bernama Lembu Suro dan rekannya siluman berkepala kerbau bernama Mahesa Suro. Keduanya dikhianati seorang putri Kerajaan Majapahit, Dyah Ayu Pusparani. Pusparani merupakan putri Raja Brawijaya yang memerintah Majapahit pada abad ke-15. Kedua siluman itu memenangi sayembara merentang busur Kyai Garudyeksa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima yang diadakan untuk mencari suami buat Pusparani. Tapi, bukannya mereka menepati janji, mereka malah dikubur hidup-hidup di puncak Gunung Kelud saat membuatkan sumur dalam waktu semalam seperti yang diminta sang putri. Menjelang kematiannya kemudian Lembu Sura mengeluarkan kutukan yang intinya setiap dua windu sekali dia akan merusak seluruh wilayah Prabu Brawijaya. Karena itu, sampai kini, setiap Sura (salah satu bulan dalam kalender Jawa), warga sekitar Kelud mengadakan larung sesaji sebagai simbol Condro Sengkolo alias penolak bala. Cerita mitologi jawa Lembusura ini menurut Wregas, adalah cara orang Jawa menyikapi bencana. Bahwa musibah tak harus selalu ditangisi. Sinema Jawa. Demikian pria yang lahir pada 20 oktober ini menyebut benang merah karya-karya filmnya yang akan terus berusaha dipertahankannya. Sebagai bagian dari usaha untuk memperkenalkan film dengan rasa Indonesia.
Tim Lembu Sura Wregas (kaos hitam berkacamata) bersama tim Lembusuronya. (Henricus Pria, Yohanes Budyambara, Wregas Bhanuteja, Wulang Sunu, Rangga Yudhistira)

Meski konteks Indonesia sangat luas. Mitologi dan budaya Jawa, yang dipilih Wregas, hanyalah bagian kecil dari Indonesia. Dia memilih Jawa karena merupakan latar belakangnya, bagian dari kesehariannya. ’’Jawa itu sendiri saja sangat luas maknanya, apalagi Indonesia. Dan, itu kekayaan kita. Jadi, tidak perlu diseragamkan,’’ tegasnya. Secara keseluruhan, diri nya sudah membuat 20 film pendek. Tapi, selain Lembusura, hanya tiga yang sudah diikutkan festival. Yakni, Hanoman (2011), Senyawa (2012), dan Lemantun (2014). Wregas pun memperlakukan film-filmnya itu sebagaimana kesenian tradisional Jawa yang berjalan nyaris tanpa skenario. ’’Semua perasaan tercurah, tanpa sebuah batasan. Ini menjadi sebuah eksperimen. Percaya saja film yang kamu anggap benar dan bagus,’’ jelasnya. ’’Bagi saya, film pendek itu bentuk ekspresi dan karya seni,’’ pojoksatu; poskotanews; dw.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini