Ransel Pupuk Praktis Inovasi Mahasiswa Universitas Brawijaya

Ransel Pupuk Praktis Inovasi Mahasiswa Universitas Brawijaya
info gambar utama
Bertani memang tidak mudah. Bertani membutuhkan kerja keras agar mendapatkan hasil pertanian yang berkualitas, mulai dari pembajakan tanah, pembibitan, pemupukan hingga panen. Sayangnya, mayoritas petani di Indonesia masih menggunakan cara tradisional ketika mengolah lahan. Akibatnya, hasil pertanian dianggap masih kurang maksimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini tentu menjadi sebuah kerugian sebab tenaga dan waktu yang dibutuhkan tidak sedikit. Kondisi ini bisa kita jumpai di salah satu desa sentra penghasil jagung, Desa Pandanrejo, Kota Batu, Jawa Timur. Sehari-hari, Kelompok Tani Pangestu di desa tersebut menghasilkan jagung manis bermutu tinggi. Namun, para petani kesulitan menjaga konsistensi jumlah hasil panen. Jika normalnya memanen 3,2 ton per hektare, pada musim penghujan mereka hanya mampu memetik 1,2 ton per hektare. Tidak heran, Kelompok Tani Pangestu sering kesulitan memenuhi kebutuhan pasar. Lima mahasiswa Universitas Brawijaya (UB), Malang, yaitu Intan Avionita, Sri Mursidah, Adi Mas Sulthon, Zunanik Mufidah dan Sujatmiko meneliti fenomena ini. Mereka menemukan, penyebab utama tingkat produksi yang fluktuatif adalah metode pemupukan yang kurang tepat. Petani Seperti di kutip dari Okezone.com Intan menjelaskan, selama ini para petani menggunakan pupuk cair agar lebih mudah diaplikasikan menggunakan hand sprayer. Padahal, pupuk cair hanya cocok diterapkan pada musim kemarau dengan kelembaban tanah relatif rendah. "Namun jika dipaksakan menggunakan pupuk granul, petani justru akan mengeluarkan biaya ekstra untuk menyewa buruh tani dikarenakan rendahnya kapasitas pemupukan," kata Intan Dia memaparkan, petani harus membungkuk guna mengaplikasikan pupuk pada area akar tanaman satu per satu. Akibatnya, petani butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan proses tersebut. Tidak hanya itu, biaya yang dikeluarkan juga lebih besar. Tim Program Kreativitas Mahasiswa Penerapan Teknologi (PKM-PT) itu menemukan, solusi paling tepat guna menangani masalah tersebut adalah teknologi pemupukan berbasis spring valve (katup pegas). Menurut Intan, teknologi ini bersifat multi fungsi. "Jadi bisa dipakai untuk mengaplikasikan pupuk granul dan cair," imbuhnya. Teknologi tersebut juga memungkinkan petani mengatur jumlah pengeluaran pupuk, proses pembuatannya mudah dan ekonomis. Selain itu, keunggulan lainnya adalah desain yang ergonomis, bisa dibawa ke mana-mana (portabel) dan mudah digunakan. Jagung Berdasarkan prinsip teknologi pemupukan berbasis spring valve tersebut, Intan dan kawan-kawan pun membuat inovasi bernama Enchis alias Enricher Portable Applications. Sesuai prinsip ekonomis, Enchis menggunakan galon air mineral sebagai tangki penampung pupuk. Menggunakan selang, tangki ini dihubungkan dengan batang aplikator berbentuk seperti senapan api yang berfungsi mengeluarkan pupuk. "Selain galon mineral, kami juga memakai tangki berbahan stainless steel. Tangki didesain seperti tas ransel dan dilengkapi spons pada bagian punggung, sehingga lebih ergonomis," ujar Intan. Perempuan berjilbab ini menambahkan, prinsip spring valve tadi dipasang pada ujung batang aplikator dan dimanfaatkan sebagai pengatur pengeluaran pupuk. Jadi, jika petani menarik pemicu batang aplikator, maka pegas pada spring valve akan meregang dan membuka pintu katup sehingga pupuk dapat keluar karena tertarik gaya gravitasi bumi. Kemudian jika pemicu dilepaskan, maka pegas akan kembali normal dan menutup pintu katup tertutup sehingga pupuk berhenti keluar. Tim beranggotakan lintas angkatan itu membuat 12 unit Enchis. Intan mengklaim, Enchis meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemupukan jagung di Kelompok Tani Pangestu. "Ada peningkatan kapasitas kerja hingga 20 kali lipat, penurunan jumlah pekerja, penurunan waktu operasi, dan penurunan biaya pekerja. Tingkat kesuburan tanaman juga naik karena pupuk yang diberikan jumlahnya terkontrol, sehingga jagung dapat tumbuh optimal dan seragam," tuturnya. Berbekal Enchis, Intan dan timnya pun berkompetisi dalam ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) 2015 di Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Pada 5-10 Oktober mendatang, mereka akan beradu ide dengan para inovator muda dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini