Special Interview: Dari Mojokerto untuk Dunia

Special Interview: Dari Mojokerto untuk Dunia
info gambar utama

Special Interview (7) Rasa cinta pada bangsa dapat disampaikan dalam beragam cara termasuk dalam rancangan busana. Rancangan yang dibuatnya bukan sekadar busana tapi merupakan mahakarya dari seorang anak bangsa. Dialah Diana Putri, seorang perempuan kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, yang baru-baru ini membawa ‘Garuda’ terbang tinggi di New York Couture Fashion Week 2015. Tinggal dan berkarya di Kota Surabaya tidak menghalangi Diana Putri untuk bisa sukses bahkan membawa karyanya hingga ke mancanegara. Diana meruntuhkan stigma saya yang sebelumnya percaya bahwa sukses hanya bisa di raih di ibukota. Ternyata tidak, dari Surabaya bersama pekerja asal Surabaya pula, Diana tetap bisa berkarya dan meraih suksesnya. Pemilik nama lengkap Diana Muljono Putri ini melalui lini busana Diana Couture menyabet penghargaan Global Fashion Avenue Award di ajang New York Couture Fashion Week 2015 yang lalu di New York City, Amerika Serikat. Penghargaan bergengsi ini sebelumnya vacum selama 10 tahun dan terakhir kali dimenangkan oleh designer dari Rusia.
Diana Putri di New York Couture Fashion Week 2015 (photo: Reinhardt Kenneth) Diana Putri di New York Couture Fashion Week 2015 (photo: Reinhardt Kenneth)

Beberapa waktu yang lalu, saya mewakili tim Good News From Indonesia (GNFI) melakukan special interview di kediaman Diana Putri di kawasan Dharmahusada Indah, Surabaya.

GNFI: Seperti kita tahu, di Surabaya khususnya, tidak banyak perancang busana yang mengambil jalur couture yang memang high-end fashion. Apa yang membawa Diana sampai akhirnya memilih jalur couture?

Diana Putri (DP): Pada dasarnya saya menyukai tantangan dan couture memberikan tantangan tersebut. Awalnya sebelum saya terjun di bidang fashion design, sebenarnya berawal dari kesulitan saya untuk mencari baju untuk saya sendiri. Kemudian saya coba buat sendiri, dan teman-teman mulai suka dan minta dibuatkan baju oleh saya. Jadi saya mulai buat ready-to-wear dan couture ini memang lebih ada tantangannya.

GNFI: Tantangan apa saja yang diberikan oleh couture? Apakah lebih sulit, lebih lama?

DP: Ya, tentu lebih sulit, lebih lama, lebih detail. Khususnya kemarin di New York Couture Fashion Week, semua bahan harus handcrafted dan benar-benar tidak mau kita menggunakan bahan dari toko kain lalu dijahit dan dipakai, mereka tidak mau seperti itu. Karena itu bukan couture. Semua prosesnya dari bahan-bahan biasa, bahan basic seperti santung, tulle, dan bahan lain yang benar-benar simple.

GNFI: Wah, dari bahan-bahan sederhana seperti itu bisa jadi mahakarya seperti ini ya?

DP: Di situ justru tantangannya. Dari bahan-bahan sederhana ini, saya harus membawa tema saya untuk bisa jadi karya rancangan yang sesuai dengan pakem-pakem couture.

GNFI: Kemudian, bagaimana awalnya bisa tampil di New York Couture Fashion Week?

DP: Awalnya, saya dihubungi oleh pihak Indonesia Creative Hub (ICH). Kemudian saya tanya apa sebaiknya saya membawa kain-kain tradisional seperti batik dan songket ya? Tapi pihak ICH menyarankan untuk mencari tema dan konsep lain karena bulan Februari lalu, 3 desainer Indonesia ke New York membawa tenun NTB. Saya ditantang untuk membawa identitas Indonesia tanpa menunjukkan kain-kain kita. Dari situ saya tertantang untuk mencari ide lain yang bisa mencirikan Indonesia namun tetap wearable dan sesuai dengan international taste.
Untitled design 8 dari 12 koleksi Diana Putri di New York Couture Fashion Week 2015 (photo: Reinhardt Kenneth)

GNFI: Rancangan couture tapi tetap wearable tentu menantang sekali ya? Padahal kan couture identik dengan kerumitan, keunikan, dan kesempurnaan head-to-toe nya. Bagaimana Diana memadukan ini semua dalam konsep rancangan yang menunjukkan identitas Indonesia?

DP: Betul. Tidak hanya itu, di New York Couture Fashion Week 2015 ini semua karya harus against animal abuse. Awalnya saya tidak begitu aware dengan syarat yang satu ini. Pada saat penjurian, karya GARUDA saya ini dipertanyakan karena garuda adalah burung. Apakah menggunakan bulu-bulu asli binatang, apakah bahan kulit yang digunakan asli atau sintetis, dan sebagainya. Saya bilang kalausaya tidak menggunakan bulu dan menggunakan kulit sintetis karena kulit asli tidak bisa digunakan untuk teknik laser cut. Tetapi justru karya-karya ini menyelamatkan saya karena karya saya tidak animal abuse karena menggunakan bahan-bahan sintetis

GNFI: Nah, bicara tentang GARUDA, mengapa Diana mengusung tema ini dan bagaimana awalnya sampai tema ini dipilih?

DP: Pertama kali saya ingin orang yang melihat karya saya langsung tahu kalau GARUDA adalah Indonesia karena kan cuma Indonesia yang punya garuda. Awalnya saya memilih wayang untuk diusung dalam New York Couture Fashion Week kali ini. Tapi kemudian saya khawatir akan rancu dengan negara lain karena yang saya tahu, ada negara lain yang juga punya wayang. Kemudian saya pikir-pikir lagi, sampai akhirnya memilih GARUDA. Saya yang tadinya benar-benar kesulitan mencari ide sampai pesimis untuk mundur ke tahun depan berubah seketika setelah memutuskan untuk mengusung tema GARUDA.

GNFI: Apakah GARUDA membawa spirit tertentu bagi Diana?

DP: Tentu. Energinya luar biasa sekali, saya menjadi percaya diri dan dari situ ide-ide mengalir sampai semalaman ngga tidur dan bikin sketch semuanya bisa dapat. Saya juga mulai mempelajari tentang burung garuda dari ensiklopedia dan sumber lainnya. Saya pelajari bagaimana bentuk tubuhnya, struktur bulunya, filosofinya, dan proses riset lainnya karena dengan mempelajari garuda nya, saya dapat menentukan busana ini akan dibawa ke arah mana, either feminine, fierce, atau apa. Saya mau rancangan-rancangan saya ini punya satu jiwa.

GNFI: Untuk proses keseluruhan mulai pemilihan tema hingga proses produksi dilakukan dalam jangka waktu berapa lama?

DP: Proses memilih tema ini sebenarnya cukup singkat karena pada bulan Juli 2015 lalu saya dinyatakan lolos kurasi oleh pihak ICH dan langsung diminta untuk mengumpulkan tema. Saat itu saya benar-benar clueless untuk mengusung tema apa karena waktunya singkat hanya satu bulan ditambah akhir Juli berepatan libur lebaran. Praktis saya tidak bisa banyak bekerja karena pekerja libur dan mudik sampai lebaran usai. Sampai akhirnya dapat ide GARUDA, saya buat lebih dari 8 sketch, karena yang diminta adalah 8 sampai 12 rancangan, saya kirim ke ICH dan dari situ proses produksi dimulai.

GNFI: Pada saat tampil di New York, bagaimana tanggapan dari pengamat fashion dan para undangan yang datang?

DP: Nah, ini menarik. Jadi sebelum berangkat ke sana, saya punya ide untuk membuat video teaser di Borobudur. Ada dua video yang saya buat yakni teaser dan behind the scene. Sampai akhirnya pada saat saya press conference di Jakarta tanggal 24 Agustus lalu, video behind the scene ini ternyata dikirim ke panitia New York Couture Fashion Week oleh pihak ICH tanpa sepengetahuan saya. Dan ternyata, founder sekaligus produser dari acara ini sangat takjub dan terkagum-kagum oleh video saya. Mereka tidak tahu bahwa Candi Borobudur ada di Indonesia karena yang mereka tahu hanya Bali. [embed]https://www.youtube.com/watch?v=bh9nv67CpfI[/embed]

GNFI: Mengapa pada saat itu memilih Borobudur untuk lokasi syuting video teaser? Bagaimana respon pengamat fashion di sana

DP: Awalnya saya memilih Bali, tapi saya pikir-pikir lagi, dunia sudah tau Bali. Selain itu, setelah saya membayangkan, baju-baju saya lebih cocok dengan Borobudur dari warna, desain, bisa satu jiwa. Sampai akhirnya video itu disaksikan oleh pihak New York Couture Fashion Week dan mereka mengira bahwa lokasi video saya ada di India. Saya bilang bahwa ini Indonesia. Kemudian di upload oleh pihak panitia dan ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengamat fashion di sana. Sebelum saya datang responnya sudah ramai dan tiket show saya sudah sold out baik yang ekonomi sampai platinum sudah habis terjual di H-19. Semua itu berkat video behind the scene saya ini. Padahal harga tiketnya antara USD 1,200 – 1,500 yang terjual untuk 1000 seat untuk hadir di show saya

GNFI: Luar biasa sekali ya. New York Fashion Week memang terkenal sebagai ajang fashion yang bergengsi di dunia dan Indonesia bisa disandingkan dengan designer mancanegara sampai berhasil meraih Global Fashion Avenue Award. Bagaimana saat Diana mendapat penghargaan itu?

DP: Dari awal saya tidak berharap bisa mendapat penghargaan itu. Niat saya hanya ingin menampilkan yang terbaik dan tidak buat malu Indonesia di mata dunia. Penghargaan ini hanya bonus saja buat saya. Dari 50 negara yang tampil di ajang ini, saya merasa bersyukur sekali bisa meraih penghargaan ini untuk Indonesia

GNFI: Selanjutnya ada rencana Diana untuk membawa karya GARUDA di dunia internasional atau ada karya-karya selanjutnya

DP: Rencana saya memang ingin go international dalam hal klien dan celebrity. Sejauh ini saya fokus untuk Jakarta Fashion Week 2016 bulan Oktober ini. Dan kabar baiknya, setelah saya menang kemarin, pihak penyelenggara New York Couture Fashion Week 2015 menunjuk saya untuk fashion show di Cannes, Perancis dalam rangkaian Festival Film Perancis tahun depan. Saya ingin membawa Indonesia lagi ke sana. Saya benar-benar ingin mengeksplor daerah-daerah di Indonesia yang belum banyak orang tahu.

GNFI: Terakhir, pesan apa yang ingin disampaikan Diana pada anak muda Indonesia?

DP: Pesan saya, banggalah jadi Indonesia dan berkaryalah untuk Indonesia. Kita kaya akan budaya yang bisa dieksplor dan dihargai di mata dunia. Terus berkarya dan jadilah diri sendiri dengan mencintai budaya Indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini