Potensi LTJ di Indonesia Miliaran Ton

Potensi LTJ di Indonesia Miliaran Ton
info gambar utama

Bangsa ini sejatinya mampu untuk segera menjadi negara maju dan mensejahterakan rakyat. Selain memiliki modal sumber daya manusia, Indonesia juga memiliki banyak sumber daya alam yang melimpah. Terutama sumber daya mineral tambang. Salah satunya adalah rare-earth oxides atau yang dikenal dengan Logam Tanah Jarang (LTJ) yang saat ini belum banyak di eksplorasi secara benar. Padahal logam ini memiliki nilai hingga jutaan rupiah per kilogramnya.

Indonesia memiliki potensi mineral LTJ mencapai 1,5 miliar ton. Namun, mineral LTJ tersebut belum dimanfaatkan optimal sebagai barang strategis untuk mendukung kegiatan industri dalam negeri maupun menjadi komoditas ekspor.

"Potensi besar mineral LTJ itu tersimpan dalam jumlah cukup banyak di wilayah Provinsi Kalimantan Barat dan Bangka Belitung," kata Pejabat Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Purnomo, Jumat (23/10). Mineral Dia mencotohkan di Pulau Bangka Belitung. Di wilayah ini, LTJ terkandung dalam mineral monasit yang tersimpan dalam jumlah cukup besar sebagai limbah industri tambang timah di Pulau Bangka Belitung atau mineral ikutan. Mineral ikutan industri timah yang mengandung LTJ itu hingga kini dibiarkan terbuang begitu saja oleh perusahaan PT Timah karena tidak memiliki kemampuan mengelola. Tumpukan LTJ yang terkandung dalam mineral monasit itu lalu ramai-ramai diambil masyarakat dan dijual dengan harga sangat murah, berkisar Rp 2.000-Rp 10.000 per kg.

Padahal menurut Peneliti dari Pusat Pengembangan Geologi Nuklir Batan, Erni Rifandriyah Arief, monasit yang mengandung LTJ itu seharusnya dihargai mahal bisa mencapai Rp 7 juta per kg. Bahkan menurut perusahaan pemasok LTJ asal Australia, Arafura Resources, harga europium oksida (salah satu oksida LTJ) bisa mencapai US$ 3.410 (sekitar Rp 40 juta) per kg. Karena mahalnya harga mineral LTJ, ada risiko stok mineral LTJ itu diselundupkan ke luar oleh orang-orang yang mengerti nilai sesungguhnya mineral ini.

Melihat kondisi tersebut Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju, Batan berupaya mendorong berbagai pihak melakukan pengolahan dan pemanfaatan LTJ secara optimal menjadi komoditas penyumbang devisa, katanya. Dia menjelaskan, LTJ saat ini telah menjadi komoditas penting dan isu strategis di seluruh dunia karena keterbatasan ketersediaannya, lebih lagi ketika pemerintah Tiongkok mengambil kebijakan untuk mengurangi ekspor komoditas itu sejak 2011. LTJ dibutuhkan dalam pengembangan berbagai aplikasi bahan, khususnya magnet di bidang elektronika, transportasi, energi, kesehatan dan lainnya.

Potensi pengembangan dan industri LTJ juga telah disadari oleh pemerintah dan telah dituangkan dalam buku II Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Berdasarkan RPJMN tersebut, beberapa kementerian/lembaga dan institusi yang meliputi Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Batan, BPPT, Perguruan Tinggi dan lainnya ditugaskan untuk mengembangkan potensi LTJ dari awal penambangan, pemurnian dan Litbang aplikasi LTJ baik dalam bentuk produk magnet permanen maupun untuk aplikasi energi lain.

Saat ini konsorsium LTJ lintas lembaga telah dibentuk untuk menjadi wadah komunikasi para 'stake holders' (pemangku kepentingan) dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi tersebut, katanya. Dalam kaitan untuk mengoptimalkan pemanfaatan LTJ itu, Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju, Badan Tenaga Nuklir Nasional telah bekerja sama dengan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya untuk melakukan riset pengolahan dan pemanfaatan LTJ.

Pengolahan dan pemanfaatan LTJ dianggap sangat krusial mengingat pentingnya LTJ dalam pengembangan berbagai aplikasi bahan khususnya magnet di bidang elektronika, transportasi, energi, kesehatan dan lainnya, serta telah menjadi komoditas penting dan isu strategis di seluruh dunia karena keterbatasan ketersediaannya.

Sumber: kontan.co.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini