Cerita Tiga Pemuda Indonesia Pamerkan Inovasinya di Dutch Design Week 2015

Cerita Tiga Pemuda Indonesia Pamerkan Inovasinya di Dutch Design Week 2015
info gambar utama
448503_620ditulis oleh Yuke MaYaratih untuk TEMPO Ada yang istimewa dalam pergelaran Dutch Design Week (DDW) 2015 yang digelar sepanjang 17-25 Oktober 2015 di kota Eindhoven, Belanda tahun ini. Paling tidak, diantara 2400 peserta pameran paling bergengsi di Eropa, ada tiga peserta dari Indonesia. Ketiganya membawa karya seni dan inovasi terbaru. Achmad Fadilah, 34 tahun, asal Bandung membawa karya desain botol minuman berbentuk lego. Nah, karena bentuk botolnya seperti lego, maka bisa disusun menjadi meja, rumah-rumahan untuk anjing, kotak pos, bahkan meja tulis. “Jadi konsepnya bisa dibuat apa saja, sesuai kebutuhan. Justru dalam kesempatan ini saya menantang pengunjung untuk membuat botol bekas minuman berbentuk lego ini sesuai dengan imajinasi mereka” kata Fadil bersemangat. Fadil yang lulus Scuola Politecnica di Design-Milan, Italia pada 2010 ini mengaku sangat semangat ketika mendapat undangan memamerkan kreasinya di Eropa. “Awalnya saya melakukan riset kecil-kecilan yang saya baca-baca dari internet. Disitu saya menemukan bahwa Indonesia adalah negara ke-2 yang paling banyak membuang botol plastik bekas minuman ke laut, setelah Cina," kata Fadil. Kegalauan inilah yang membuat Fadil berpikir, bagaimana caranya agar botol bekas minuman dari plastik ini bisa terus dimanfaatkan. Tapi dia memilih tidak melakukan daur ulang (recycling). Alasannya, daur ulang juga membutuhkan proses. "Kalau dibakar juga akan menimbulkan polusi. Lalu tercetuslah ide disain lego. Karena kebetulan itu jenis permainan kesukaan saya semasa kecil dulu. Nah begitu kira-kira awalnya ide ini ada” kata Fadil. Yohanna Eggeling, pengunjung asal Equador, mengaku kagum dengan desain botol Fadil. "Mungkin kalau diberi warna bisa lebih seru," katanya. Yahanna yang kebetulan sedang liburan di Belanda tertarik dengan berbagai inovasi desain terbaru. Berbeda dengan Fadil, Arie Syarifuddin, 30 tahun, membawa konsep tepung yang terbuat dari tanah liat (clay) yang bisa diolah menjadi makanan. “bisa juga menjadi bahan campuran kue bolu atau biskuit”, kata Arie. Ari yang berasal dari Jatiwangi, Jawa Barat menjelaskan, idenya muncul dari kebiasaan warga di kampungnya yang gemar makan tanah liat. Terutama ibu-ibu yang sedang hamil. Menurut kepercayaan, tanah liat ini mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan ibu dan bayi. Dengan kata lain, tanah liat yang selama ini hanya dikenal sebagai bahan pembuat genteng, alat musik, dan kerajinan keramik, juga bisa dibuat menjadi tepung (seperti terigu) yang bisa diolah menjadi bahan makanan. Saat presentasi, Arie juga membagi-bagikan potongan tanah liat Jatiwangi itu ke pengunjung untuk dimakan. Terang saja, semua pengunjung terheran-heran dan cuma bisa tersenyum. Namun, karena penasaran mereka akhirnya mencicipi juga tanah liat yang mereka pegang itu. Selanjutnya Arie dan panitia mengajak pengunjung ke ruangan workshop. Disana mereka memperagakan bagaimana cara membuat makanan dari tanah liat. Disitu juga sudah dipajang kue kering yang sudah jadi. Semua pengunjung yang penasaran bahkan bisa langsung mencicipi makanan secara gratis. Selain kue kering, ada juga mpek-mpek kapal selam ( ada telur didalamnya) lengkap dengan kuahnya. Lalu bakpau isi daging dan sayur dan juga kue bolu. Semuanya berbahan baku tanah liat, tapi juga dicampur sedikit tepung terigu. “adanya campuran tanah liat ini memberikan sensasi baru”, jelas Masha Ru, warga Rusia yang sedang belajar di Belanda untuk mengambil gelar doktoral. Seniman Indonesia lainnya yang ikut pamer karya di Dutch Design Week adalah Yoyo Yoga Samana, 45 tahun. Yoyo yang berasal dari kasepuhan Ciptagelar, Banten memperkenalkan konsep pertanian yang selama ini digunakan Kasepuhan Ciptagelar. Menurut dia, hasil padi yang ditanam, tidak menggunakan pupuk dan pestisida. ”Kami menggunakan penghitungan perbintangan ( astronomi). Kami menghitung kapan padi bisa ditanam, kapan bisa dituai dan kami tidak menjual hasil padi tanaman kami. Padi bagi kami sama dengan kehidupan atau pemberi hidup”, jelas Yoyo. Tata cara itu, kata Yoyo, merupakan warisan leluhur.Tahun in Yoyo Yoga Samana yang mewakili Kasepuhan Cipta Gelar dari Indonesia terpilih sebagai The First Eco Medali untuk kategori Ecological Life. Dutch Design Week 2015 DDW adalah acara yang digelar setiap tahun di kota Eindhoven sejak 14 tahun silam.Udara dingin di musim gugur tidak menyurutkan pengunjung yang selalu antusias dengan pameran disain, seni dan teknologi terbaru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Eindhoven memang bercita-cita ingin menjadi kota inovatif dan kreatif di Eropa. Tidak kurang dari 2400 peserta dan lebih dari 250 ribu pengunjung dari seluruh dunia datang kesini. Lokasi pameran, workshop dan pertunjukan seni disebar dalam 80 titik di sekitar Eindhoven. Bukan hanya pameran, seni dan teknologi saja yang digelar, tapi juga ada cermah dan diskusi, pemberian penghargaan bagi peserta. Bahkan juga ada ajang pertemuan antara peserta dan kalangan bisnis ( business network). DDW menekankan pada inovasi kreatif di masa depan yang dilakukan anak muda diseluruh dunia. Nah yang paling istimewa di tahun ini adalah bergabungnya Hivos (NGO- Belanda) dan Baltan Laboratories. Kedua lembaga ini melahirkan program Age of Wonderland. Melalui Program inilah mereka melakukan seleksi dan mengundang 6 anak muda dari Afrika, Asia dan Amerika latin untuk membahas isu tentang sistem pangan global untuk bertukar pengetahuan. Selain tiga pemuda asal Indonesia, mereka adalah Sari Dennise, 29 tahun, dari Mexico, Symbat Satybaldieva, 26 tahun, dari Kyrgyztan dan Ahadi Katera, 23 tahun, dari Tanzania.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini