Burung Khas Indonesia ini Ternyata Masih Banyak Menyimpan Misteri

Burung Khas Indonesia ini Ternyata Masih Banyak Menyimpan Misteri
info gambar utama

Indonesia merupakan negara mega biodiversity, tempat hidup aneka spesies hewan dan tumbuhan, yang secara hipotesis terbagi antara garis Wallacea dan Weber.

Dua garis ini memisahkan wilayah geografis hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia, dan di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia, serta kawasan peralihan diantaranya.

Salah satu keragaman spesies hewan khas ekosistem Wallacea adalah burung maleo (Macrocephalon maleo). Burung ini berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm.

Burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi, artinya hanya bisa ditemukan hidup dan berkembang di Pulau Sulawesi, Indonesia.

Meskipun ukuran burung maleo relatif kecil, namun telur burung maleo memiliki ukuran 5 kali besar telur ayam. Maleo tidak mengerami telurnya dan memelihara anaknya. Setelah anaknya menetas, anaknya diharap akan dapat berjuang untuk hidup. Padahal untuk keluar dari dalam tanah bukan hal yang mudah untuk ukuran anak burung maleo. Namun, jika anak burung maleo dapat keluar sampai ke permukaan tanah, mereka sudah dapat terbang.

Burung Maleo (Macrocephalon maleo) memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan. Banyak cerita yang beredar soal burung maleo antara lain bahwa burung yang tidak mengerami telur dengan cara menguburnya ini merupakan burung anti poligami.

Burung maleo akan pingsan setelah bertelur. Namun rumor yang beredar masih perlu banyak dibuktikan secara ilmiah. Salah seorang peneliti burung maleo, Mobius Tanari yang menyelesaikan S3-nya di Institut Pertanian Bogor mengatakan selama tujuh tahun lebih melakukan penelitian terhadap burung ini. Dan hingga kini belum diketahui bagaimana burung maleo itu kawin. “Apakah cara kita melakukan riset yang salah? Karena kan katanya maleo itu monogami, tetapi ini juga perlu dibuktikan betulkah maleo ini monogami. Saya coba tanya peneliti di lapangan alasannya mereka sederhana, setiap maleo itu terbang itu pasti berpasangan.

Ada saatnya maleo datang sendiri. Asumsi mereka ketika dia datang sendiri berarti pasangannya sudah mati. Sehingga mereka katakan maleo ini monogami,” katanya. Namun ia masih ragu bila maleo itu monogami, karena belum melihat bagaimana burung itu kawin. Sampai saat ini belum ada peneliti yang bisa menjawab asumsi burung endemik Sulawesi itu anti poligami. Teka teki perkawinan itu, termasuk pingsannya burung maleo setelah menikah, yang membuat Mobius terus meneliti burung bertonjolan kepala besar ini.

“Ini (pingsannya maleo) juga perlu pembuktian. Burung maleo ketika mau bertelur itu sudah diintai predator. Secara logika jika dia pingsan, bukan hanya telurnya yang diincar tapi juga burung maleo-nya,” ujarnya. Mobius berhasil mengetahui tentang penetasan telur maleo, setelah pada tahun 2005-2006 ia melakukan uji coba pengeraman dengan temperatur 34 derajat celsius dan kelembaban 70, dengan keberhasilan 70 persen telur menetas.

Di Sulawesi Utara, juga ada Iwan Hunowu (42), seorang aktivis Wildlife Conservation Society (WCS) yang bertanggung jawab dalam program konservasi burung maleo di propinsi itu. Interaksi Iwan dengan maleo berawal dari pendataan sarang burung itu di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone,Gorontalo. Iwan yang aktif di LSM konservasi sejak 1999 itu kemudian mempelajari perilaku bertelur maleo dalam memilih sarang dengan membersihkan beberapa tempat bertelurnya (nesting ground), dan sisanya dibiarkan alami ditumbuhi semak-semak.

“Dan ternyata burung maleo itu lebih suka dan memilih sarang yang dibersihkan untuk meletakkan telurnya. Termasuk juga ada pohon pelindung. Dari hasil pengamatan itu, nesting ground itu kita bersihkan secara berkala,” katanya. Iwan memberdayakan satu hingga dua orang masyarakat setempat dibantu polisi hutan untuk membersihkan sarang maleo.

Selain itu, WCS membuat hatchery berukuran 2×3 meter hingga 5×2 meter untuk meletakkan dan melindungi telur-telur maleo itu dari ancaman predator. Setelah menetas, barulah burung-burung itu dilepaskan ke alam. “Sudah hampir 9000 anakan maleo yang kita lepas di alam,” kata alumi Fakultas Pertanian Unsrat dengan spesialisasi di bidang agroferestry ini.

Meski begitu, Iwan tak mengetahui apakah anakan burung maleo yang telah dilepas ke alam selamat sampai dewasa. Dan apakah burung maleo dewasa selamat di alam bebas serta akan kembali dalam satu atau dua tahun, biarlah itu menjadi seleksi alam. mongabay.co.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BR
MS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini