Anak Bangsa Penemu Rumus Pencarian "Emas Hitam"

Anak Bangsa Penemu Rumus Pencarian "Emas Hitam"
info gambar utama
Saat ini kebutuhan terhadap energi terus menerus meningkat. Atas dasar itu banyak penelitian yang berusaha untuk menemukan cara-cara penambangan energi seperti minyak bumi yang lebih efisien. Seorang anak bangsa ternyata mampu menjawab tantangan tersebut melalui risetnya, yang berhasil memecahkan rumus persamaan Helmholtz pada bulan Desember satu dekade yang lalu. Selama 30 tahun terakhir, tak ada yang berhasil memecahkan persamaan matematika Helmholtz yang sering dipakai untuk mencari titik lokasi minyak bumi itu. Persamaan matematika itu sendiri dikenal sejak satu abad silam. minyak Anak bangsa itu adalah Yogi Ahmad Erlangga pria kelahiran Tasikmalaya, dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), yang saat itu sedang menempuh program Ph.D di Delft University of Technology (DUT), Belanda. Persamaan Helmholtz yang telah dibuktikan dan dipecahkan oleh Yogi memuluskan jalan bagi perusahaan perminyakan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan biaya lebih rendah. Selama ini, perusahaan perminyakan menggunakan gelombang suara untuk mendeteksi keberadaan minyak di lapisan bumi. Pantulan suara tersebut kemudian diterima kembali dan dihitung menggunakan persamaan Helmholtz. "Gelombang suara akan mengenai banyak lapisan seperti pasir, tanah liat, atau bebatuan. Lapisan-lapisan itu akan memantulkan gelombang suara dengan kecepatan yang berbeda-beda, sehingga para ahli geologi mampu membuat gambaran dari dasar laut. Namun gambar itu masih dua dimensi. Suara yang dipantulkan itu akan terus memantul dengan berbagai gelombang frekuensi yang berbeda. Melalui persamaan Helmholtz akan didapatkan tingkatan gelombang dalam bentuk tiga dimensi. Namun perhitungan sebelumnya tidak mampu untuk menghitungnya sebab tidak ada komputer yang mumpuni. Padahal jika menganalisa gelombang yang lebih besar, Anda akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas," kata Dr Kees Vuik promotor dari penelitian Yogi saat itu. Pemecahkan persamaan Helmholtz ini bahkan dianggap mampu memberikan hasil 100 kali lebih cepat dalam upaya pencarian minyak dibandingkan proses sebelumnya. Tidak hanya itu, kebutuhan perangkat keras yang pada saat itu membutuhkan hampir 1000 komputer hanya untuk pencitraan tiga dimensi, saat ini sudah bisa dilakukan dengan 300 komputer. Artinya ini adalah penghematan biaya hampir lebih dari 60 persen. Pria kelahiran 8 Oktober 1974 ini menjelaskan, penelitian mengenai persamaan Helmholtz ini dimulai pada Desember 2001 silam ketika dirinya mengajukan diri untuk melakukan riset di DUT. Waktu itu, perusahaan minyak raksasa Shell datang ke DUT untuk meminta penyelesaian persamaan Helmholtz secara matematika numerik yang cepat atau robust (bisa dipakai di semua masalah). Uniknya Yogi sendiri sat itu bukanlah seorang ahli matematika. Dirinya mengaku sebagai seorang ahli teknik yang hitung-hitungannya sering kali berlindung dibalik margin eror atau faktor keselamatan. Padahal dalam matematika yang dibutuhkan adalah sebuah ketepatan yang benar-benar presisi. Bahkan dirinya mengaku persamaan Helmholtz pada saat itu dianggap sebagai membeli kucing dalam karung atau dalam bahasa Belanda disebut Een kat in de zag kopen. "Jika Anda bertanya pada saya di tahun 2001, apa itu persamaan Helmholtz? maka saya akan menjawab, tidak tahu," jelas Yogi. Meski begitu, Yogi mengatakan bahwa dirinya percaya dengan sebuah proses. Ini adalah sebuah tantangan baginya untuk diselesaikan. Dirinya harus bekerja dan belajar dengan keras sebelum kemudian berhasil memecahkan persamaan ini. Terkait penggunaan persamaan, Yogi menjelaskan bahwa selama ini Shell selalu memiliki masalah dengan rumus Helmholtz dalam menemukan sumber minyak di bumi. Persamaan Helmholtz yang digunakan oleh perusahaan minyak Belanda itu membutuhkan biaya tinggi, tidak hanya waktu perhitungan tetapi juga penggunaan komputer serta memori. "Shell selama ini harus menggunakan rumus Helmholtz berkali-kali. Bahkan, kadang-kadang harus ribuan kali untuk survei hanya di satu daerah saja. Itu sangat mahal dari sisi biaya, waktu dan hardware," ungkap Yogi. Sehingga Shell meminta DUT melakukan penelitian yang mengarah pada persamaan Helmholtz agar bisa lebih efisien, cepat, dan kebutuhan hardware yang cukup kecil. Untuk proyek penelitian tersebut, Pemerintah Belanda, Shell dan Philips memberikan pendanaan karena proyek ini dianggap sebagai bagian dari kegiatan untuk meningkatkan perekonomian Belanda. Pria yang memiliki hobi memasak, melukis, dan olah raga itu, memecahkan rumus Helmholtz setelah menekuninya selama kurang lebih empat tahun. Penelitian itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena persamaan Helmholtz adalah fungsi matematika numerik, yaitu matematika yang bisa diolah dengan menggunakan komputer. Sehingga dalam melakukan penelitian, diperlukan beberapa tahapan yang membutuhkan waktu lama. Apalagi, menurut Yogi persamaan ini memang sangat sulit. Ada dua cara untuk menguraikan matematika numerik yaitu secara langsung (direct) dan iterasi. Yogi Erlangga "Banyak pakar yang menghindari penelitian untuk memecahkan rumus Helmholtz karena memang sulit," katanya. Pakar terakhir yang memecahkan teori Helmholtz adalah Mike Giles dan Prof Turkel, berasal dari Swiss dan Israel, masing-masing dengan caranya sendiri. Teori dari kedua pakar itulah yang kemudian dianalisisnya beberapa waktu sehingga kemudian bisa dioptimalkan dan dijadikan metode yang cukup cepat. "Saya punya persamaan matematika dalam bentuk diferensial. Yang saya lakukan untuk memecahkan rumus Helmholtz itu adalah mengubah persamaan ini menjadi persamaan linear aljabar biasa. Begitu saya dapatkan, saya pecahkan dengan metode direct atau iterasi," ujarnya. Metode langsung yang Yogi gunakan ternyata kemudian menemukan kasus yang besar maka akan mengakibatkan membengkaknya biaya baik waktu dan sumber daya. Namun menurutnya metode iterasi pun belum tentu bisa memperoleh solusi atau kadang-kadang diperoleh dengan waktu yang cukup lama. Kabar baiknya metode iterasi selalu murah dari segi hardware. "Persamaan Helmholtz ini bisa diselesaikan dengan iterasi, tapi kalau dinaikkan frekuensinya, jadi sulit untuk dipecahkan,’’ ujarnya. Yogi juga menjelaskan, untuk mengetahui struktur daerah cekung, misalnya, yang dilakukan adalah meneliti daerah akustik dan kemudian dipantulkan gelombangnya dengan frekuensi tertentu. Pantulan tersebut kemudian direkam. Setelah itu, frekuensi akan dinaikkan misalnya, dari 10 Hz, lalu naik lagi 10,2 Hz, 10,4 Hz, dan seterusnya. Kemudian, Yogi memperoleh metode robust yang memungkinkan persamaan Helmholtz untuk dipecahkan dengan frekuensi berapa pun. ‘’Kita sudah melakukan tes 300 Hz tidak masalah. Meskipun, sebenarnya 70 Hz pun sudah cukup untuk pemetaan,’’ jelas Yogi. Hebatnya, penemuan Yogi ini dapat digunakan lebih dari sekadar menemukan sumber minyak, keberhasilan persamaan Helmholtz ini juga bisa diaplikasikan dalam industri lainnya yang berhubungan dengan gelombang. Persamaan ini digunakan untuk mendeskripsikan perilaku gelombang secara umum. Industri yang bisa mengaplikasikan rumus ini antara lain industri radar, penerbangan, kapal selam, penyimpanan data dalam blue ray disc (keping DVD super yang bisa memuat puluhan gigabyte data), dan aplikasi pada laser. Mengenai kelanjutan dari penemuannya itu, Yogi mengatakan, karena penelitian ini dilakukan oleh perguruan tinggi, maka persamaan Helmholtz ini menjadi milik publik. ‘’Biarpun dibiayai oleh Shell, tapi yang melakukannya universitas, sehingga rumus ini menjadi milik publik,’’ katanya. Yogi mengaku tidak mematenkan rumus temuannya itu. Sebab menurutnya produk itu berasal dari otak sehingga tidak perlu untuk dipatenkan. Dia hanya berharap dengan tidak mematenkannya, ilmu pengetahuan akan dapat terus berkembang. “Saya ingin temuan ini dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena itu hak manusia. Hak ini bisa dijamin jika ilmu dimiliki publik dan bersifat open source ” kata Yogi. Sehingga sejatinya Indonesiapun dapat menggunakan rumus yang dipecahkan oleh Yogi ini lewat PT Pertamina. Hanya saja terdapat beberapa syarat yang perlu dipenuhi oleh perusahaan minyak plat merah tersebut.
Yogi Erlangga saat mendapatkan penghargaan Bakrie Award 2012 (Foto: Eru Gunawan / Photobucket.com) Yogi Erlangga saat mendapatkan penghargaan Bakrie Award 2012 (Foto: Eru Gunawan / Photobucket.com)

"PT Pertamina pun sebenarnya bisa menggunakan rumus ini untuk mencari minyak bumi. Saya sempat diundang oleh Pertamina beberapa waktu lalu, tapi karena ada keperluan, tidak hadir. Memang ada yang mengatakan kalau PT Pertamina tertarik dengan temuan saya, cuma masalahnya Pertamina memiliki software-nya atau tidak,’’ ujar pria yang tak suka publikasi ini. Menurut Yogi, persamaan Helmholtz ini dalam proses penelitiannya sudah dipresentasikan di banyak negara di dunia, yaitu saat intermediate progress selama Desember 2001 hingga Desember 2005. Buku mengenai persamaan Helmholtz yang dibuatnya saat masih di Belanda pun, laris manis. Setelah menjadi terkenal di dunia matematika karena berhasil memecahkan rumus Helmholtz yang dikenal sangat sulit, pria yang saat ini menjadi Professor di Alfaisal University, Arab Saudi ini masih memiliki obsesi yang belum tercapai. Obsesi tersebut adalah ingin melihat bangsa Indonesia maju. Menurut anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Mohamad Isis dan Euis Aryati ini, Indonesia sekarang masih tertinggal dibandingkan dengan India. Padahal, Indonesia dan India sama-sama sebagai negara berkembang dan banyak masyarakatnya yang berada di bawah garis kemiskinan. ‘’Meskipun miskin, tapi India sekarang bisa menjadi pusat informasi teknologi (IT) di dunia. Saya ingin Indonesia seperti India, kemiskinan bukan berarti tidak bisa berkembang,’’ ujar Yogi. Khusus untuk ITB, obsesi Yogi adalah ingin ITB bisa lebih besar lagi. Minimal, ITB menjadi perguruan tinggi terbesar di Asia. Karena, kalau hanya terbesar di Indonesia saja, sejak dulu juga begitu. Bahkan, sambung dia, pernyataan itu justru menjadi tanda tanya besar. ‘’Saya pun masih memiliki obsesi pribadi. Keinginan saya adalah ingin melakukan penelitian tentang pesawat terbang, perminyakan, dan biomekanik,’’ kata pemenang penghargaan VNO-NCW Scholarship dari Dutch Chamber of Commerce itu. (dari berbagai Sumber)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini