Tidak Kenal Miras, Misteri Masyarakat Penghuni Pulau di Barat Bengkulu

Tidak Kenal Miras, Misteri Masyarakat Penghuni Pulau di Barat Bengkulu
info gambar utama
Unik. Ternyata pulau di sebelah barat Pulau Sumatera ini memang memiliki banyak misteri yang belum terpecahkan. Namun berkat penelitian yang dilakukan LIPI beberapa waktu lalu, sedikit demi sedikit misteri tentang tempat ini berhasil disibak. Bukan hanya kekayaan alam dan biodiversitas saja yang terdata namun juga tentang kehidupan sosial yang unik di pulau terpencil bernama Enggano ini. Melalui ekspedisi dan riset di Pulau Enggano, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhasil menguak ragam potensi di Pulau Enggano. Sebanyak 46 peneliti LIPI telah mengungkap keanekaragaman hayati di pulau terluar Provinsi Bengkulu di Kecamatan Enggano dalam Ekspedisi Widya Nusantara yang diprakarsasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelitian berlangsung selama 16 hari.
Warga Adat Enggano (Foto: Koleksi Tropen Museum) Warga Adat Enggano (Foto: Koleksi Tropen Museum)

Dalam catatan sejarah yang ada, pulau Enggano tercatat pada dokumen bertahun 1596 yang membahas Tentang pulau Enggano. Catatan lain juga mencatat tentang kongsi dagang belanda (VOC) yang telah melakukan ekpedisi ke enggano di tahun 1664. Versi lain juga menyebutkan bahwa seorang Cornelis de Houtman, pelaut berkebangsaan Belanda adalah yang pertama kali melaporkan keberadaan Pulau Engano (baca: Enggano) yang berarti kecewa. Diduga, kata tersebut terucap karena apa yang mereka cari pada waktu itu tidak ketemu. Maklum pada abad ke-16, pesisir barat Sumatera dikenal kaya akan lada dan kopi. Sayangnya tidak ada catatan tahun berapa dirinya menemukan Enggano. "Padahal Enggano adalah sumber minyak kelapa, hasil-hasil pertanian lain dan tripang. Dan mereka (masyarakat Enggano) telah berniaga dengan pedagang bugis, tionghoa, Mandar dan Kalimantan," kata Dedi Supriadi Adhuri, peneliti pada kedeputian Ilmu Sosial dan Kemanusiaan LIPI beberapa waktu lalu. Hal menarik dalam catatan Dedi adalah perihal jumlah penduduk di Pulau Enggano. Menurutnya, pada masa lampau, penduduk Pulau Enggano populasinya cukup besar, antara 6000-8000 orang yang jauh melebihi jumlah penduduk Enggano saat ini. "Kajian historis menunjukan bahwa wabah penyakit dan rendahnya fertilitas orang Engganolah yang menyebabkan penduduk Enggano asli tidak kembali ke jumlah sedia kala," Tambah Dedi. Penduduk Kepulauan Enggano umumnya bermukim di Pulau Enggano Besar. Gugusan pulau-pulau kecil diwilayah ini seperti Pulau Dua dan Pulau Merbau hanya dijadikan sebagai tempat singgah para nelayan pada saat mencari ikan. Beberapa nelayan lokal juga diketahui membuat gubuk peristirahatan di Pulau Merbau. Awalnya, penduduk Enggano bermukim di Pulau Merbau. Hal ini setidaknya terlihat dari banyaknya kuburan tua yang ditemukan di Pulau Merbau. Sampai saat ini kepindahan masyarakat dari atau ke Pulau Merbau tidak diketahui alasannya; hanya saja menurut sejarahnya di Enggano pernah terserang wabah penyakit kolera yang banyak menelan korban jiwa. "Mungkin karena alasan inilah terjadi migrasi ke atau dari Pulau Merbau ke Pulau Enggano Besar," tambah Dedi. Secara kultural masyarakat Enggano memiliki karakteristik unik. Mereka tinggal di kampung-kampung yagn mengitari tepi pulau. Penduduk Enggano juga tercatat tidak memiliki budaya busur dan anak panah. Selain itu Mereka tidak punya mengenai seni tembikar dan tenun. "Hal menarik lainnya mereka tidak mengenal minuman yang memabukkan sepertihalnya banyak suku bangsa lainya di Indonesia " ujar Dedi. Keunikan lain dari Enggano adalah terkait dengan bahasa Enggano yang relatif masih dipegang kuat dan digunakan oleh orang-orang Enggano. Bahasa enggano hampir digunakan di dalam semua aspek kehidupan orang-orang Enggano sebagai bahasa untuk berkomunikasi. "Ada kesadaran dari tokoh-tokoh adat untuk memelihara bahasanya," kata Dedi. Berdasarkan riset yang dilakukan LIPI, ancaman terbesar dari kelangsungan bahasa Enggano, justru datang dari populasi Enggano sudah sangat menurun drastis. Jumlah penduduk yang menurun membuat penutur bahasa Enggano menjadi jauh lebih sedikit. "Yang agak mengkhawatikan adalah karena jumlah orang Engganonya sendiri yang kecil sehingga penutur bahasa ini juga sedikit," jelas Dedi.
Warga Adat Enggano (Foto: Koleksi Tropen Museum) Warga Adat Enggano (Foto: Koleksi Tropen Museum)

Secara adat istiadat, masyarakat Pulau Enggano memiliki hubungan kekeluargaan dengan sistem yang berakar pada asal keturunan yang disebut dengan suku. Di Pulau Enggano masyarakat terbagi atas-atas suku-suku yang masing-masing suku dikepalai oleh Ketua Suku. Adapun penduduk asli pulau Enggano terdiri dari Suku Kauno, Suku Kaahoao, Suku Kaharuba, Suku Kaitaro, Suku Kaarubi. Meski demikian, secara umum proses pembauran adat istiadat dengan kaum pendatang telah berjalan dan tidak ada masalah dalam kaitannya dengan heterogenitas daerah asal. Pembauran dari masing-masing adat istiadat berjalan dengan sendirinya dalam kehidupan sehari-hari. "Beberapa suku di luar Pulau Enggano yang telah berbaur dengan masyarakat Enggano adalah suku Sunda, Minang, Bugis, Jawa. Batak, dan yang lainnya," tambah Dedi. Masyarakat Pulau Enggano sendiri masih teguh memegang adat istiadat peninggalan nenek moyang. Tokoh adat dan masyarakat kebayakan masih menggunakan adat sebagai rujukan perilakukan keseharian masyarakat Enggano. Kondisi ini secara tidak langsung mengundang potensi konflik terutama dalam hubungannya dengan penguasaan dan pengelolaan lahan. lipi.go.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini