Hebatnya Makna dan Filosofi "Gundul-gundul Pacul"

Hebatnya Makna dan Filosofi "Gundul-gundul Pacul"
info gambar utama

Setiap anak-anak sekolah dasar di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, hampir dipastikan mengenal lagu ini, bahkan bisa menyanyikannya dengan lancar. Setidaknya di masa saya SD, lagu ini menjadi lagu "wajib" yang harus mampu saya nyanyikan. Namun, sepertinya tak banyak yang memahami makna dan filosofi lagu yang begitu populer ini.

Meski di setiap buku lagu-lagu daerah nama R. C. Hardjosubroto tercantum sebagai pencipta lagu Gundul-Gundul Pacul, namun konon lagu ini diciptakan pada tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya kala masih remaja. Wallahu a'lam. Orang-orang tua masa lalu, mengerti benar makna dan filosofinya.

Gundul gundul pacul-cul, gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

Mari kita coba. Gundul, seperti yang kita tahu, adalah kepala yang rambutnya dicukur habis. Kepala adalah lambang kehormatan atau kemuliaan seseorang, sedangkan rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka, gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota.

Lalu, pacul sebagai salah satu alat pertanian yang terbuat dari lempeng besi segi empat ini melambangkan kawula rendah yang kebanyakan adalah petani. Jadi, gundul gundul pacul itu artinya bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia pembawa pacul untuk mencangkul, menguapayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Orang Jawa sendiri memiliki filosofi tentang pacul, pacul itu katanya adalah papat kang ucul atau empat yang lepas. Maksudnya adalah kemuliaan seseorang akan sangat tergantung pada empat hal. Yakni, bagaimana seseorang menggunakan matanya, hidungnya, telinganya, dan mulutnya. Mata itu seharusnya digunakan untuk melihat kesulitan rakyat, telinga digunakan untuk mendengar nasihat, hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan, dan mulut digunakan untuk berkata-kata adil. Jika, keempat hal tersebut lepas dari seorang pemimpin maka lepaslah sudah kehormatannya.

Kemudian arti gemblelengan yaitu besar kepala, sombong, dan suka bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat, tetapi dia malah menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya, menggunakan kedudukannya untuk berbangga-bangga di antara manusia, dan menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya.

Selanjutnya arti nyunggi nyunggi wakul-kul maksudnya adalah membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Wakul sendiri menyimbolkan kesejahteraan rakyat, kekayaan negara, sumber daya, pajak, dan sebagainya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul di kepalanya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap sebagai kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat. Pemilik bakul lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pembawa bakul karena ia hanyalah pembantu si pemiliknya. Dan sekarang banyak sekali pemimpin yang masih gembelengan, melenggak lenggokan kepalanya dengan sombong, mereka pun bahkan bermain-main dengan kedudukannya. Akibat dari semua itu ya wakul ngglimpang segane dadi sak latar, bakul terguling dan nasinya tumpah kemana-mana. Artinya, jika pemimpin gembelengan maka sumber daya akan tumpah kemana-mana, tidak terdistribusi dengan baik dan kesenjangan muncul dimana-mana. Nasi yang sudah tumpah ke tanah sudah tidak bisa untuk dimakan lagi karena kotor.

Jadi, Gundul gundul Pacul-cul artinya orang yang keempat inderanya (mata, hidung, telinga, dan mulut) tidak digunakan dengan baik akan mengakibatkan Gembelengan atau sombong. Sedangkan Nyunggi nyunggi wakul-kul artinya siapa yang menjunjung amanah rakyatnya dengan Gembelengan (sombong hati) maka akhirnya akan Wakul Ngglimpang atau amanahnya akan jatuh dan tidak bisa dipertahankan sehingga Segane dadi sak latar, kepemimpinannya itu berantakan sia-sia, tidak bisa bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Bagaimana menurut anda?

(Dari berbagai sumber)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini