Prof Eka, Langka dan Mendunia

Prof Eka, Langka dan Mendunia
info gambar utama
Screen Shot 2015-12-09 at 10.52.57 PM Sampai saat ini, Indonesia masih sangat kekurangan dokter ahli bedah. Dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa, dokter ahli bedah yang dimiliki baru kisaran 120an orang atau rasionya 1 : 2 juta. Artinya, satu orang dokter bedah harus melayani 2 juta penduduk. Dari jumlah yang sedikit itu, Prof dr Eka Julianta Wahyoepramono adalah salah satunya. Prof. Eka sapaannya lahir di Klaten, 21 Juli 1958. Ia adalah seorang profesor ilmu saraf (neuroscience) bertaraf internasional, spesialis bedah saraf pertama dari Indonesia. Selain itu, Ia tercatat dan mendapatkan rekor dari Muri sebagai orang pertama dan satu – satunya di Indonesia yang berhasil membedah batang otak pasien. Teknologi baru bedah saraf otak yang ditemukan oleh Prof. Eka adalah melalui hidung yang disebutnya dengan Trans Clival. Dengan metode ini, operasi otak tanpa harus bedah tengkorak melainkan cukup melalui tulang clivus pada hidung untuk mengangkat tumor yang menempel di bawah otak. Sebagai ahli bedah syaraf, namanya sudah tidak diragukan lagi. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi sudah mendunia. Sejak Agustus 2007 ia menjadi visiting professor di Harvard Medical School, Massachussetts, dan University of Arkansas for Medical Sciences, keduanya di Amerika Serikat, serta di banyak institusi medis di negara lain seperti Kanada, Australia, India, Korea Selatan, Taiwan, dan lain-lain yang membuatnya hingga kini menjadi referensi banyak Dokter di dunia. Edward R. Laws dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard, yang menjadi Presiden World Federation of Neurosurgical Societies XIII (Federasi Bedah Saraf Dunia), menilai Eka sebagai dokter luar biasa karena mempunyai ilmu membedah batang otak. Selama ini operasi batang otak tak pernah dilakukan karena berisiko mengakibatkan kematian. Namun, Eka berhasil melakukannya. Karena prestasinya Prof. Eka pernah mendapat tawaran pindah kewarganegaraan. Ia pernah ditawari di Jepang dan Arkansas. Tapi Ia malah menolak karena alasan nasionalisme yang membuatnya bertahan di sini. Ia juga tersinggung kalau ada orang di luar negeri yang merendahkan atau tidak memandang Indonesia. *Photo : https://nationalgeographic.co.id/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini