Petani kakao Edi Syafianto, Meraih Penghargaan International Cocoa Award 2015

Petani kakao Edi Syafianto, Meraih Penghargaan International Cocoa Award 2015
info gambar utama
image

Petani kakao dari Jorong Balubuih, Kabupaten Limapuluh Kota, Edi Syafianto, 45, meraih penghargaan International Cocoa Award 2015 yang diserahkan di Paris, Perancis, 28 Oktober lalu.

Kakao klon unggul lokal yang ditemukan Edi bersama Kelompok Tani Inovasi, masuk dalam daftar 50 besar kakao dengan citarasa terbaik dunia. DARAH Edi Syafianto tersirap, saat menerima email dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris, Perancis, Oktober silam. Dalam surat elektronik itu, pihak KBRI mengabarkan biji kakao klon unggul lokal yang ditemukan Edi bersama Kelompok Tani Inovasi, masuk dalam daftar 50 besar kakao bercita rasa terbaik dunia.

Tidak sekadar masuk daftar kakao ternikmat sejagad raya. Kakao klon unggul lokal temuan Edi yang diberi nama BL-50 (singkatan dari Balubuih 50 Kota), diinformasikan pihak KBRI di Paris, berhak atas penghargaan International Cocoa Award 2015. “Saya nyaris tak percaya ketika menerima email tersebut,” kata Edi Syafianto di kebun kakaonya yang berbuah lebat di Jorong Balubuih, Nagari Sungaitalang, Kecamatan Guguak, Kabupaten Limapuluh Kota, Minggu siang (9/11).

Wajar saja Edi Syafianto tidak percaya. Penghargaan International Cocoa Award yang diraihnya, bukan penghargaan sembarangan. Inilah penghargaan bergengsi untuk mengakui pekerjaan petani kakao dan merayakan keragaman rasa kakao dunia.

Penghargaan dua tahunan ini diberikan Bioversity International dan Event International. Kedua lembaga itu tak diragukan kapasitasnya. Bioversity International adalah organisasi penelitian dunia yang bermarkas di Roma, Italia. Sedangkan Event International merupakan penyelenggara Chocolate Fair di Paris, Perancis.

Pada tahun ini, Bioversity International dan Event International yang bekerja sama dengan sejumlah perusahaan cokelat, hanya memberikan penghargaan International Cocoa Award (ICA) kepada 50 petani dan pemilik perkebunan kakao di seantero dunia.

Mereka yang menerima ICA 2015 tidak hanya datang dari negara-negara di Amerika Selatan, tempat tanaman kakao ditemukan pertama kalinya di dunia. Tapi, juga berasal dari benua Asia, Australia, dan tentu saja Afrika yang merupakan surga kakao dunia.

Khusus dari Indonesia, tercatat ada dua orang meraih ICA 2015. Mereka adalah Hengki Lianto, presiden direktur sebuah perusahaan perkebunan kakao dan jambu mete di Kupang, NTT. Kemudian, Edi Syafianto, petani kakao yang memimpin Kelompok Tani Inovasi di Limapuluh Kota, Sumbar.

Sebelum menerima penghargaan ini, Edi Syafianto mengirim sampel ke Paris. Sampel yang dikirim berupa 5 kg biji kakao klon BL-50 yang tumbuh subur di atas lahan seluas 14 hektare milik anggota Kelompok Tani Inovasi. “Sampel biji kakao itu saya kirim ke Paris, berkat bantuan Dinas Perkebunan Sumbar dan Puslitkoka Jember. Sebelum dikirim, biji kakao itu difermentasi terlebih dahulu,” kata Edi yang lahir di Lubuakjantan, Lintau, Tanahdatar, 13 Desember 1970.

Begitu sampai di Paris, sampel biji kakao kiriman Edi diteliti Bioversity International bersama 145 sampel yang dikirim 35 negara penghasil kakao. Setelah diteliti, biji-biji kakao dari masing-masing negara, diolah menjadi minuman keras dan cokelat untuk kemudian dievaluasi sensorik.

Berdasarkan evaluasi itulah, biji kakao dari Balubuih, Limapuluh Kota, masuk daftar 50 besar kakao bercita rasa terbaik dunia. Sayang, Edi Syafianto tidak hadir saat penghargaan ICA 2015 di Paris, 28 Oktober lalu, bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda 2015. “Saya tak bisa hadir di Paris karena informasi penganugerahan penghargaan baru saya terima sepekan sebelum acara digelar. Sementara, saat itu saya belum mengurus paspor dan segala tetek-bengek perjalanan,” tutur Edi yang pernah mengecap pendidikan di Unand dan Unes Padang.

Walau tak hadir di kota Menara Eifel itu, sertifikat buat kelompok taninya sudah dikirim penyelenggara acara. Data Dinas Perkebunan Sumbar 2014, luas kakao di provinsi ini mencapai 154.129 hektare. Sejak dikenalkan kepada petani 1979 silam, kakao tumbuh merata di seluruh kabupaten/kota. Total produksinya sudah mencapai 88.967 ton/tahun.

Edi bersama 20 anggota Kelompok Tani Inovasi yang dulunya berpenghasilan rendah, kini semakin siap berbagi pengalaman dengan petani lain di Sumbar. Terutama, membudidayakan tanaman kakao klon BL-50 yang mereka temukan sejak 2011 silam.

Kakao klon BL-50 sendiri, terbilang unik. Saat tanaman kakao milik petani lainnya diserang penyakit busuk buah, kakao dari kampung ulama-ulama tarekat ini tetap menghasilkan buah dengan biji yang jumbo. Saking jumbonya, berat 60 biji kakao klon BL-50, bisa mencapai 100 gram. Maka tidak heran, sebelum Edi memperoleh ICA 2015, kakao klon BL-50 sudah dinobatkan Puslitkoka Jember, sebagai pemenang ketiga lomba kakao klon unggul nasional. “Pada 2012, kakao yang kami tanam sudah juara nasional. Kami juga dapat penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara dari Presiden SBY,” kata Edi.

Bila ditilik lebih jauh, keunggulan kakao klon BL-50 yang ditemukan Edi bersama Keltan Inovasi tidak sekadar karena tanaman ini ditanam pada ketinggian 500 hingga 600 meter dari atas permukaan laut. Tapi, lebih dipengaruhi teknik penanaman yang dinamakan sebagai teknik sambung samping.

Teknik ini ditemukan Edi bukan dari teori yang dibahas orang pintar di universitas. Tapi, dari kenyataan pahit yang dihadapi 2008 silam. Kala itu, Edi yang mulai memelihara tanaman kakao, dihadapkan pada persoalan minimnya produksi dan terbatasnya lahan. “Kakao yang saya tanam memang tumbuh subur. Tapi, buahnya kecil-kecil. Untuk mendapatkan 1 kg biji kakao kering, saya harus mengumpulkan 18 sampai 24 buah kakao segar. Ini tentu tak menjanjikan bagi perekonomian keluarga kami. Apalagi lahan kako yang kami miliki sangat kecil,” tutur Edi.

Beranjak dari kondisi itu, Edi bersama anggota Kelompok Tani Inovasi, mencari alternatif baru dalam pengembangan tanaman kakao. “Kami berpikir bagaimana dengan lahan yang sangat kecil, bisa menghasilkan buah kakao dengan jumlah banyak. Dalam arti lain, kami ingin memaksimalkan produksi kakao di atas lahan yang sangat terbatas,” kata Edi.

Usaha Edi dan kelompoknya tidak sia-sia. Dari pencarian panjang, mereka menemukan teknik baru penanaman kakao. Teknik tersebut dinamakan teknik sambung samping. Dengan teknik ini, produksi kakao meningkat. “Jika biasanya 1 kilogram kakao kering, kami dapat dari 18 sampai 24 buah kakao segar. Dengan teknik sambung samping, kami bisa memperoleh 1 kilogram kakao kering dari 8 sampai 14 buah kakao segar,” tutur Edi. Teknik sambung samping yang ditemukan Edi, sebenarnya cukup praktis. Bisa dikembangkan di mana saja. Awalnya, Edi dan anggota Kelompok Tani Inovasi menanam bibit kakao. Setelah bibit tersebut tumbuh dan berusia setahun, batangnya langsung disambung dengan ranting yang diambil dari pohon kakao lain. “Ranting dari pohon kakao lain, kami sambung dari samping batang pohon kakao yang ditanam lebih awal. Setelah ranting yang disambung samping itu tumbuh, baru kami memotong batang kakao yang ditanam lebih awal. Jadi teknik yang kami kembangkan, sangat sederhana sekali,” tutur Edi.

Hingga kini, kebun kakao yang digarap Edi bersama anggota Kelompok Tani Inovasi, sudah ‘lunyah’ dikunjungi petani dari berbagai daerah di Sumbar. Petani dari Riau, Jambi, Yogya, Jatim, Kaltim, juga sering datang ke sana. Bahkan, ada pula yang datang dari Timor Leste, Malaysia, Papua Nugini, Vietnam, Belgia, dan Swiss.

Mereka yang datang umumnya penasaran dengan kakao klon BL-50 temuan Edi bersama Kelompok Tani Inovasi. Tumbuhan tahunan berbentuk pohon ini memang menjanjikan secara ekonomi. Sepanjang tahun 2014 saja, 800 batang yang ditanam Edi di atas lahan seluas 0,8 hektare, bisa menghasilkan biji kakao kering sebanyak 2,6 ton. Harga jual kakao klon BL-50 juga lebih mahal dari kakao biasa. “Untuk biji kakao kering yang sudah difermentasi, saya menjualnya ke pabrik mini cokelat di Auakuniang, Payakumbuh Selatan, seharga Rp 35 ribu sampai Rp 36 ribu per kilogram. Sedangkan biji kakao biasa, saya jual seharaga Rp 30 ribu sampai Rp 32 ribu per kilogram,” ujar Edi.

Hanya saja, dalam beberapa bulan terakhir, panen kakao klon BL-50 di kebun Edi yang luasnya sudah bertambah menjadi 1,2 hektare, melorot dibanding tahun sebelumnya. “Tahun ini, panen agak menurun karena pengaruh musim kemarau. Tapi hujan seminggu terakhir, sudah mulai membuat kakao kami berbunga kembali,” kata Edi.

Dia bermimpi suatu saat nanti, biji kakao yang dihasilkan Kelompok Tani Inovasi dengan citra rasa terbaik dunia, bisa diolah sendiri menjadi cokelat. Mengingat, kelompok ini sudah memiliki 14 hektare kebun kakao dan 30 hektare kebun kelompok binaan. “Mudah-mudahan saja, suatu saat nanti, kami bisa punya Taman Teknologi Pertanian yang di dalamnya ada pabrik mini cokelat, seperti di Auakuniang, Payakumbuh Selatan. Sehingga, biji kakao kami yang sudah dapat penghargaan dunia karena kualitasnya, bisa dinikmati anak negeri,” ulas Edi Syafianto.

Sumber : FAJAR RILLAH VESKY / Padang ekspress

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini