Jalan yang Tak Lagi Sepi

Jalan yang Tak Lagi Sepi
info gambar utama
by Akhyari Hananto "Saya tak mengerti mengapa anda begitu optimis melihat Indonesia. Saya saja sudah kehilangan harapan kok" kata seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur kepada saya. Waktu itu tahun 2011, saya baru saja menjadi salah satu pembicara di acara penyambutan mahasiswa baru di kampus tempatnya mengajar. Saya benar-benar dibuat terkejut dengan ungkapan sang dosen tersebut, meskipun saya sedikitpun tak menyalahkannya. Bukan hanya karena hal tersebut disampaikan oleh seorang pengajar, salah satu kampus ternama, dan mahasiswanya ribuan,  namun lebih dari itu, saya tak bisa membayangkan apabila pesimisme beliau, diikuti oleh ribuan mahasiswanya. "Apa nggak capek?" tambahnya sambil tersenyum dan mengulurkan air putih kepada saya. "Jalan yang saya lalui ini memang sepi, pak" jawab saya. Pengalaman seperti itu tak hanya sekali dua kali. Lagi-lagi di sebuah kampus, kali ini di kampung halaman saya, Yogyakarta, di depan sekitar 200-an mahasiswa, saya kembali mengalami hal serupa, kali ini mahasiwa lah yang giliran mempertanyakan 'optimisme' saya. "Sudahlah, kita terima saja, Indonesia adalah negara yang gagal. Auto-pilot" kata salah satu dari mereka. Hebatnya, ungkapan sang mahasiswa tersebut mendapat aplus meriah dari sebagian mahasiswa yang lain. Itu di tahun yang sama, 2011. Entah mengapa, seolah 'salah' menjadi orang yang optimis dan bangga sekali akan Indonesia saat itu. Mungkin karena begitu banyak berita negatif tentang Indonesia yang bersliweran, baik di TV, koran, maupun di sosial media, sehingga banyak yang melihat Indonesia seperti apa yang mereka lihat di media-media tersebut. Saya memang memilih untuk menempuh jalan berbeda..dan jalan yang saya tempuh waktu itu, ...memang sepi. Saya tak pernah (dan tak akan pernah bisa) membayangkan bagaimana jika makin banyak orang yang pesimis, skeptis, dan kehilangan harapan akan Indonesia, dan masa depannya. Padahal di sisi lain, kita punya semuanya. Potensi negeri ini begitu tak terhingga.  Alam yang kaya dan indah, penduduk usia muda yang besar, dan banyak contoh-contoh orang-orang Indonesia yang begitu berjasa pada dunia. Namun, semua 'privilege' itu akan menguap percuma jika kita, para anak muda, tak punya harapan, tidak bangga akan negerinya, yang akan membangun sikap apatis akan bangsanya. Salah satu ungkapan dari Jane Goodall, sangatlah tepat dalam hal ini:

"The Greatest Danger to Our Future is Apathy". 

Hmmm..

Tahun 2013.

Suatu pagi, saya dikejutkan oleh telepon yang berbunyi bertalu-talu. Saya sedang tidak memegang handphone. Jam 5 pagi! Saya lihat, sudah ada 6 x miscall dari nomor yang tak saya kenal. Ketika saya telepon balik, ternyata beliau adalah sang dosen dari kampus ternama di Jawa Timur yang saya temui 2 tahun sebelumnya.

"Mas, jam 10 nanti, mohon datang ke kampus saya. Ngisi kuliah umum untuk para mahasiswa baru. Mohon usahakan datang. Ada pak menteri" katanya singkat. Rupanya dia telpon pagi-pagi sekali agar saya tak membuat jadwal lain hari itu.

Sebelum saya sempat menjawab apapun, dia segera menyahut "Harus, mas. Tolong datang, kami benar-benar mengharapkan kedatangannya. Mahasiwa pasti akan senang mendengar hal yang akan mas Arry sampaikan". Saya putuskan untuk tidak ngantor hari itu, dan pergi ke kampusnya.

Ketika saya datang ke kampus tersebut, sedang terjadi diskusi menarik di berbagai ruangan fakultas tersebut. Tak hanya jalannya diskusi, tapi topiknya sendiri...sangat menarik. "Membangkitkan Indonesia". Framing yang sebenarnya sederhana tersebut menjadi menarik karena berbagai ide-ide segar mahasiswa-mahasiswa yang (mohon diingat) baru lulus tingkat SMA tersebut. Indonesia yang punya banyak kendala dan tantangan, dihadap-hadapkan dengan Indonesia yang juga penuh potensi. Di sebuah ruangan saya menemukan seorang mahasiswi yang berujar "Kita tak banyak tahu tentang Indonesia. Informasi yang datang ke kita, banyak yang negatif-negatif saja. Saya rasa, itulah mengapa banyak dari anak-anak muda yang apatis, bahkan pesimis akan masa depan negeri kita" (begitu kira-kira).

Saya dibuat tercenung. Saya benar-benar terlambat menyadari bahwa,.banyak yang sudah berubah dari sekitar saya. Perubahan-perubahan mendasar yang tidak saya prediksi begitu cepat terjadi. Saya memang melihat banyak gerakan-gerakan positif di sosial media, yang memilih untuk 'menyalakan lilin, daripada mencaci kegelapan', namun saya tak menyadari bahwa di 'dunia nyata', virus positifisme dan optimisme mulai tersebar luas, bahkan di kalangan anak-anak muda seperti mereka.

Bertahun sejak saya pertama kali menulis tentang pengalaman saya di Solomon Islands (awal mula berdirinya Good News From Indonesia yang webnya sedang anda baca ini), mulai banyak usaha-usaha untuk mengangkat sisi positif Indonesia yang membanggakan, melalui tulisan-tulisan, acara TV, atau sekedar berbagi cerita optimisme. Siapa yang sangka, kini bahkan Good News From Indonesia yang kecil ini 'dibuatkan' 2 program di 2 TV nasional, dan menyusul 1 lagi dalam waktu dekat. Siapa sangka, GNFI kini diisi puluhan anak-anak muda yang begitu optimis, enerjik, dan mau bekerja keras untuk Indonesia.

Saya bertemu dengan seorang anak muda luar biasa dari Bontang, yang punya gerakan Bontang Bisa yang bertagline "Deliver Optimism". Gerakan ini kini sudah berhasil masuk ke berbagai ceruk-ceruk sosial kemasyarakan di kota Bontang, dan menjadi salah satu wajah tak terpisahkan dari kota paling kaya di Indonesia tersebut. Ketika saya tanya, apa yang membuatnya mendirikan Bontang Bisa, yang tentu saja menyita pikiran dan waktunya, sekaligus membesarkannya, dia dengan ringan berujar "Saya termotivasi oleh satu tweet GNFI tentang Bontang bertahun lalu". Percayalah, saya tak bisa menggambarkan perasaan saya saat mengetahui hal tersebut. Campur aduk. Mungkin kita takkan pernah tahu, berapa banyak orang-orang seperti mas Anjar ini di Indonesia, yang merelakan waktu, fikiran, tenaga, dan sumber dayanya..untuk disumbangkan untuk lingkungannya, untuk masyarakatnya, untuk Indonesia. Yang jelas, rasanya...jumlahnya kini tak sedikit. Siang tadi, saya mendapatkan SMS dari dosen yang saya ceritakan di awal tadi. "Mas Arry, selamat tahun baru 2016. Semoga tetap istiqomah di jalan yang mas tempuh. Jalan mas Arry kini tak lagi sepi"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini