Penemuan ini Menjadi Kabar Gembira untuk Penderita Gagal Ginjal dan Kanker

Penemuan ini Menjadi Kabar Gembira untuk Penderita Gagal Ginjal dan Kanker
info gambar utama
Kabar baik datang dari dunia kesehatan tanah air. Setelah melalui serangkaian pengujian dan penelitian yang panjang, hasil penelitian Dr. Adi Santoso tentang terapeutik erythropoietin (EPO) II segera diproduksi masal. Temuan baru tersebut diharapkan akan mampu mengurangi beban penderita anemia yang selama ini banyak dialami oleh pasien gagal ginjal dan kanker. protein Adi Santoso, peneliti kelahiran Jember, 17 Desember 1960 M tersebut menceritakan bahwa protein yang bermanfaat bagi penanganan anemia pada penderita gagal ginjal dan kanker tersebut telah diserahkan kepada PT Bio Farma Bandung. "Saya merasa bangga," ungkap pria yang berkantor di Cibinong Science Center tersebut seperti dikutip dari Jawapos. Adi menjelaskan bahwa protein EPO berfungsi merangsang pembentukan sel darah merah (eritrosit) dalam sumsum tulang. Dalam kondisi normal, tubuh manusia dapat memproduksi sendiri protein tersebut di dalam ginjal. Namun, pada pasien yang mengalami gagal ginjal, produksi protein EPO terganggu. Akibatnya, mereka sering kekurangan sel darah merah atau mengalami anemia. "Anemia juga dialami penderita kanker," tuturnya. Bahkan Anemia yang dialami para penderita kanker yang menjalani kemoterapi juga dapat memburuk. Protein terapeutik EPO generasi II (EPO II) yang berhasil dikembangkan Adi bersama timnya diharapkan bisa menjadi penolong bagi para penderita anemia itu. Protein terapeutik EPO II yang berwujud cair disuntikkan melalui intravena (IV). Kemudian, protein tersebut akan menstimulasi pembentukan sel darah merah di sumsum tulang (bone marrow). "Setelah disuntikkan, protein EPO II itu menuju sumsum tulang. Selanjutnya, produksi sel darah merah akan mendapatkan rangsangan kembali. Maka, produksi sel darah merah dapat berjalan lagi sebagaimana mestinya," jelas pria lulusan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang itu. Adi mengaku mulai bersinggungan dengan riset protein EPO pada 2004, Dia ditawari langsung oleh Umar Anggara Jenie (saudara kembar dari almarhum pengembang pesawat CN-235), yang saat itu menjadi kepala LIPI. Umar menugasi Adi supaya mengembangkan riset untuk memproduksi protein EPO dengan media tanaman. Saat itu Adi mengatakan, kebutuhan protein EPO sangat penting. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Sampai sekarang, papar dia, kebutuhan protein EPO di dunia farmasi masih sangat tinggi. Jebolan S-2 Animal Sciences dan S-3 Cellular Molecular Biology di North Dakota State University (NDSU) AS itu langsung menerima tawaran tersebut "Kebetulan juga, masih ada kaitannya dengan riset saya ketika S-3 dan melakukan postdoctoral research di United States Department of Agriculture (USDA)," jelasnya. Saat menempuh program doktoral di AS, Adi meneliti gen yang ada dalam lalat rumah. Nama gen tersebut adalah ornithine decarboxylase gene (ODC). Gen itu sudah dia daftarkan ke GenBank. sebuah website gudangnya gen-gen yang ditemukan dari seluruh penjuru dunia. Menurut Adi, bila diteliti lebih lanjut, gen ODC itu bisa dikaitkan dengan upaya mengobati sel kanker. Sebab, di dalam sel kanker manusia, ternyata kandungan gen ODC tinggi. Ketika teknologi bisa menekan produksi gen ODC, secara teori bisa juga pertumbuhan sel kanker ditekan. adi santoso Pada awal penelitian. Adi menggunakan media produksi yang berupa tanaman barley (sejenis gandum). Dia menyuntikkan barley stripe mosaic virus (BSMV) ke tanaman barley. Melalui bantuan virus itu, Adi berhasil memproduksi protein EPO di tanaman tersebut. Namun sayang, protein EPO yang dihasilkan tanaman barley tidak cocok bagi tubuh manusia. Akhirnya dia kembali melakukan riset dengan mengubah media produksi. "Kali ini saya gunakan media yeast (ragi, Red) Pichia pastoris," tuturnya. Riset dengan media ragi itu dilakukan dalam rentang 2008 sampai 2011. Anak keenam di antara tujuh bersaudara tersebut mengembangkan lagi produksi protein EPO dengan menggunakan humanized Pichia pastoris. Tujuannya agar protein EPO yang dihasilkan lebih cocok untuk dimasukkan ke rubuh manusia. Kendala nampaknya tidak serta merta menghilang, pada saat itu Adi masih kesulitan untuk mendapatkan humanized Pichia pastoris. Dia mengatakan, satu-satunya tempat yang memproduksi zat itu berada di New Jersey, AS. "Produksi humanized Pichia pastoris itu ternyata dimiliki oleh sebuah perusahaan farmasi di New Jersey. Sangat sulit mendapatkannya," ungkapnya. Sebuah upaya tentu saja akan memberikan jawabannya, Adi kemudian menggunakan sel mamalia yang bernama CHO-DG44 (Chinese hamster ovary) pada 2012. Sesuai dengan namanya, yang dia pakai itu berasal dari sel ovarium hamster Tiongkok. "Tapi, jangan dibayangkan kami di sini menernak hamster, kemudian diambil ovariumnya," ujarnya. Dia mengatakan, untuk penelitian tersebut, pihaknya bekerja sama dengan PT Bio Farma dan Fakultas Farmasi UGM. PT Bio Farma bahkan membelikan mammalian cell line CHO-DG44 yang berharga sampai Rp 300 juta per 1 mililiter. Setelah mendapatkan sel ovarium hamster Tiongkok tersebut. Adi langsung memperbanyaknya melalui teknik kultur sel mamalia. Hingga kemudian dirinya berhasil memiliki stok sel ovarium hamster Tiongkok yang melimpah. Sel ini sangat penting sebab tidak hanya bisa digunakan untuk riset produksi protein EPO, tetapi juga protein farmasetik berbasis bioteknologi lainnya. Adi menjelaskan, riset untuk produksi protein EPO dengan media sel ovarium hamster itu pada skala laboratorium ternyata mendapatkan hasil yang memuaskan. Dia bahkan memperoleh protein EPO II. Dia mengatakan, banyak sekali keunggulan protein EPO II bila dibandingkan dengan generasi pertama. Protein EPO generasi pertama hanya memiliki 3 N-linked gugus karbohidrat. Sedangkan protein EPO generasi kedua memiliki 5 N-linked gugus karbohidrat Karena jumlah gugus karbohidratnya lebih banyak, protein EPO II memiliki waktu paro iebih lama ketimbang generasi pertama. "Kalau menggunakan protein EPO generasi pertama, pasien itu bisa disuntik 2-3 kali dalam sepekan," katanya. Tetapi, dengan protein EPO II, pasien cukup disuntik sekali dalam sepekan. Sebab, protein EPO II memiliki "durasi hidup" lebih lama di dalam tubuh manusia. Adi berharap dengan keberhasilan penemuannya tersebut dan bekerja sama dengan perusahaan farmasi akan dapat memberikan manfaat bagi penderita gagal ginjal dan kanker dalam beberapa tahun kedepan. sumber: Pontianak Post

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini