6 Menit, 11 Juni, 33 Tahun Lalu

6 Menit, 11 Juni, 33 Tahun Lalu
info gambar utama

Adakah dari Kawan pembaca yang mengikuti apa yang terjadi pada 11 Juni 33 tahun lalu? Mungkin banyak dari kawan GNFI yang belum lahir. Saya pun masih bayi waktu itu, namun saya masih ingat apa yang terjadi saat itu, karena di kampung saya, keluarga kami adalah satu-satunya yang mempunyai Televisi di sebuah kampung tanpa aliran listrik di lereng Merapi, Yogyakarta.

Ada apa gerangan? :)

Itu hari di mana gerhana matahari total yang membuat sebagian Indonesia gelap gulita di siang hari. Gerhana matahari total tersebut menyapa Indonesia pada 11 Juni 1983. Rutenya meliputi Makassar, Kendari, Papua, dan sejumlah kota di Pulau Jawa seperti Yogyakarta, Semarang, Solo, Kudus, Madiun, Kediri, dan Surabaya.

Fenomena gerhana matahari total (GMT) 11 Juni 1983 memberikan cerita tersendiri. Peristiwa alam saat itu berlangsung pukul 11.00 WIB selama enam menit. Waktu itu, Indonesia memang menjadi salah satu "tuan rumah" gerhana matahari total, karena dilintasi gerhana paling lama. Dan fenomena itu menarik perhatian dunia. Astronom-astronom dari seluruh dunia berdatangan ke Indonesia (kota-kota yang dilewati gerhana).

Siaran langsung Gerhana Matahari Total TVRI 11 Juni 1983


Salah satunya adalah Tanjung Kodok di Lamongan, Jatim. Sejumlah ilmuwan asing memantau matahari tertutup bulan tempat ini. Tanjung Kedok tepat berada di bawah garis tengah lintasan bayangan gerhana. Waktu kejadiannya pun ketika posisi tertinggi matahari. Menurut para ahli, itu waktu yang sangat menguntungkan karena pandangan menembus lapisan atmosfir bumi yang tertipis.

Empat ilmuwan Inggris memantau di Desa Cepogo, Kabupaten Boyolali. Jawa Tengah. Mereka meneliti komposisi kimiawi dari debu matahari yang beredar di bidang eluator matahari.

Di Cepu, Jawa Tengah dan Yogyakarta, tim yang terdiri dari tujuh astronom dan 20 astronom amatir, Himpunan Astronom Prancis (SAF) Prancis melanjutkan penelitian terhadap gerhana matahari. Sepuluh tahun sebelumnya, para astronom Prancis ini meneliti gerhana matahari di atas bennua Afrika. Mereka memotret korona matahari.


Perangko GMT (foto: kompasiana.com)

Sedangkan 21 ilmuwan dari Jepang bekerja di empat lokasi. Selain tiga lokasi di atas, mereka memantau di Watukosek, Mojokerto, Jawa Timur. Tim Jepang meneliti pemotretan korona untuk mengetahui struktur halusnya.

Amerika Serikat mengirim 30 ilmuwan ke Tanjung Kedok. Mereka meneliti debu matahari yang berkisar di bidang eklipsika dan hanya terlihat di saat gerhana berlangsung. India mendatangkan tujuh ilmuwan. Ilmuwan Jerman ikut memanfaatkan GMT dalam empat rombongan.

Di sisi lain, masyarakat menyambut gerhana matahari total dengan hingar bingar. Bapak saya almarhum sempat bercerita, bahwa berbulan-bulan sebelum 11 Juni 1983, gerhana matahari menjadi buah bibir. Ada yang was-was, takut. Mengapa?

Pemerintah melarang masyarakat menatap langsung gerhana matahari. Stasiun TVRI waktu itu menayaangkan berulang-ulang menganai bahaya melihat GMT secara langsung. "Hanya satu cara melihat gerhana dengan aman, lihatlah melalui layar TVRI Anda," seru TVRI bernada iklan.




Pemerintah membentuk Tim Evaluasi Panitia Gerhana Matahari Total. Setiap berkunjung ke daerah yang akan terlewati GMT, tim mengkampanyekan larangan menatap langsung GMT. "Jangan sekali-sekali menatap gerhana. Kebutaan oleh gerhana matahari tak bisa disembuhkan," begitu kata dr. Bambang Guntur, ahli penyakit mata Tim Evaluasi Panitia Gerhana Matahari Total (sumber Tempo.co).

Larangan itu disambut dengan tanpa argumen dari masyarakat. Di beberapa kota, sirene dibunyikan, dan saat itu juga masyarakat diminta menutup jendela, genteng dan segala lubang yang memungkinkan sinar matahari masuk. Kantor-kantor tutup, sekolah tutup. Para ibu bahkan diminta untuk mendekap bayinya erat-erat untuk mengantisipasi berbagai hal.

Di desa saya sendiri, kehebohan tak terelakkan. Bapak saya bercerita, beberapa hari sebelumnya, terdapat kumpulan warga yang kembali menegaskan pesan-pesan pemerintah tersebut. Jam 9 pagi, kentongan ditabuh bertalu-talu dari berbagai sudut kampung, agar para warga berkumpul di rumah bapak saya. Selain untuk memastikan seluruh kampung aman (tak ada yang berkeliaran di rumah), warga juga bisa menyaksikan siaran langsung gerhana matahari total...dari TV hitam putih merek Okura milik bapak.


(Betara Kala memakan Matahari :) | Foto: Kompasiana)

Masih ada juga kehebohan lain. Di sebuah rumah yang tak jauh dari rumah bapak, terdapat bebunyian yang bersahut-sahutan. Waktu itu, di Jawa masih banyak yang percaya bahwa penyebab gerhana adalah matahari yang dimakan Batara Kala. Dan manusia harus menggagalkan upaya Kala dengan cara menabuh lesung. Dan itulah ternyata yang terjadi. Lesung ditabuh oleh puluhan ibu-ibu dari dalam rumah.

Saya masih kecil, namun saya masih ingat...betapa hebohnya waktu itu, terutama di rumah saya. Ada satu orang yang mencoba melihat keluar saat gerhana terjadi, dan kontan saja..dia ditarik masuk ke dalam rumah.

Ada-ada saja...

Yang jelas, 9 Maret nanti, Indonesia akan kembali menjadi "tuan rumah" gerhana matahari total. Apakah kotamu dilintasi gerhana? Cek di Kota-kota yang dilewati gerhana matahari total :)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini