Indonesia Ternyata Miliki Ribuan Ton Mineral yang Dapat Digunakan untuk Pembangkit Listrik ini

 Indonesia Ternyata Miliki Ribuan Ton Mineral yang Dapat Digunakan untuk Pembangkit Listrik ini
info gambar utama

Kebutuhan energi nasional yang terus meningkat, mendorong pembangunan pembangkit listrik yang padat energi sekaligus ramah lingkungan menjadi semakin masif. Beberapa pembangkit model baru mulai dibangun dan dikembangkan. Namun dari semua alternatif yang ada, pembangkit berbasis fusi nuklir masih dianggap yang paling memiliki potensi energi terbesar. Permasalahannya adalah penerimaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia masih menuai perdebatan karena memiliki resiko lingkungan yang sangat tinggi. Alternatif nuklir lain pun akhirnya coba ditawarkan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang menjadi institusi peneliti nuklir di Indonesia. 

 

Salah satunya adalah dengan menawarkan PLTN dengan berbasis Thorium. Thorium dianggap sebagai bahan pembangkit listrik berbasis fusi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan Uranium. Penggunaan Thorium ini dianggap paling cocok untuk tuntutan keberlanjutan dan keselamatan lingkungan karena limbah radio aktifnya dianggap lebih ramah lingkungan. Selain itu di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat sekitar 210.000-280.000 ton thorium yang tersimpan di bumi Indonesia. 


Cadangan thorium tersebut tersebar di Pulau Bangka, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Sulawesi Barat (Sulbar) yang memiliki banyak tanah jarang.

"Thorium ada di daerah dimana ditemukan unsur tanah jarang, ada di pasir monasit, biasanya ada di Vietnam, Semenanjung Malaysia, Bangka, Kalbar, Kalteng, dan di Mamuju Sulbar," kata Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016).

Dia menjelaskan, sekitar 90% bahan bakar thorium akan bereaksi menghasilkan listrik, sedangkan uranium hanya 3-5%, sehingga limbah radio aktif yang dihasilkan thorium jauh lebih kecil.

"Limbahnya lebih sedikit dari uranium, tapi memang punya radio aktif. PLTN 1000 MW itu menghasilkan 300 m kubik limbah radio aktif per tahun, 5% limbahnya usianya panjang. Kalau thorium yang limbahnya usianya panjang lebih rendah, kurang dari 5%, di bawah 300 m kubik juga," kata Djarot dalam konferensi pers di Kantor BATAN, Jakarta, Kamis (4/2/2016) seperti dikutip dari detikFinance.

Thorium juga tidak menghasilkan plutonium pada proses reaksi nuklirnya sehingga tidak dapat disalahgunakan untuk tujuan persenjataan. "Ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai senjata. Lebih aman," ujarnya.


Selain itu, listrik yang dihasilkan thorium relatif murah, kurang lebih US$ 6-8 sen/kWh, sama dengan listrik dari PLTN berbahan bakar uranium. "US$ 6-8 sen per kWh. Relatif lebih murah dibanding batubara. Ini sangat menjanjikan untuk masa depan," tukas dia.


Jenis mineral ini juga dianggap lebih stabil dibanding uranium, hanya saja penggunaannya lebih sulit.


"Dari sisi sifat fisiknya jauh lebih bagus dari uranium. Titik leburnya lebih tinggi, memang lebih rumit pengolahannya, tapi lebih stabil sifatnya. Thorium bisa dimanfaatkan dalam waktu lebih panjang," tukas dia.


Namun, thorium tidak dapat berdiri sendiri sebagai bahan bakar. Thorium membutuhkan uranium 235 agar dapat dikonversi menjadi uranium 232 dan siap digunakan sebagai sumber energi. Maka pengembangan thorium mau tak mau harus lebih dulu dimulai dengan pengembangan uranium.

Selain itu, pemanfaatan thorium untuk energi masih membutuhkan waktu yang lama. Penelitian sudah dilakukan di berbagai negara, namun belum pernah ada negara yang secara penuh mengaplikasikan secara komersial.

sumber: detikFinance

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini