Pulau Alor, dari Garnisun Majapahit hingga Quran Tertua se-Asia Tenggara

Pulau Alor, dari Garnisun Majapahit hingga Quran Tertua se-Asia Tenggara
info gambar utama

Bagi sebagian dari kita, nama 'Pulau Alor' adalah nama yang akrab di telinga,terutama setelah namanya makin dikenal karena keindahaan bawah lautnya yang luar biasa. Berkat sosial media, keindahan Alor begitu cepat tersebar ke mana saja, dalam jumlah yang masif. Bagi sebagian yang lain, nama ini mungkin 'hanyalah' bagian dari lebih dari 500-an pulau-pulau yang membentu wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur.

Alor yang diblok warna merah | wikipedia.com
info gambar

Namun Alor menawarkan begitu banyak hal, tak hanya bawah lautnya yang indah, atau gugusan pulau-pulaunya yang menyembul dari laut birunya yang luas. Pulau Alor memiliki keagungan budaya dan sejarah yang panjang, serta sosial masyarakatnya yang tak ditemukan di tempat lain.

Saya mendarat di Pulau Alor kemaren siang melalui 1 jam perjalanan udara dari Bandara El Tari di Kupang. Mendarat di bandara Mali di ibukota kabupatan Alor, Kalabahi, saya disambut hujan begitu deras. Airport yang mungil ini terasa penuh dengan banyaknya penumpang dan penjemput yang sama-sama ingin berteduh dari derasnya hujan. Perjalanan dari bandara ke pusat kota Kalabahi, sekitar 15 km jauhnya, ditempuh dengan lancar. Bukan hanya karena jalanan lengang, namun juga karena kualitas jalannya halus dan bagus!

Bandara Mali di Kalabahi di bawah guyuran hujan. foto: Akhyari Hananto
info gambar

Saya cukup sering melihat pohon-pohon raksasa yang menjulang dari kejauhan. Begitu besarnya, sehingga seolah memayungi pohon-pohon lain yang lebih kecil. Saya baru tahu setelah memasuki kota. Kalabahi pada jaman dahulu dikenal sebagai penghasil biji kenari terbaik, dan pohon-pohon yang saya lihat tadi adalah 'sisa-sisa' pohon kenari yang masih berdiri. Kota Kalabahi dikenal sebagai Kota Kenari.

Moko, genderang perunggu warisan leluhur Alor | foto : Wikipedia Commons
info gambar

Sedangkan Pulau Alor sendiri dikenal dengan sebutan "Pulau 1000 Moko". Moko adalah semacam gendang dari perunggu, yang menjadi warisan leluhur, sekaligus mahar perkawinan adat suku Abui. Jangan salah, moko ini bukanlah produksi baru, melainkan warisan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana budaya pembuatan moko bisa sampai ke Alor, karena asal muasal tradisi moko sendiri berasa jauh sekali dari suku di Dongson, Vietnam bagian utara. Entahlah, yang jelas, suku Abui begitu bangga dan mencintai sejarah leluhurnya, yang mereka pegang teguh hingga kini.

Tetua adat Abui dengan kostum tradisional | foto Akhyari Hananto
info gambar

Suku Abui sendiri adalah suku yang dominan di Alor. Suku ini dipercaya sebagai pendiri kerajaan pertama di Alor, yakni kerajaan Abui, jauh sebelum kedatangan Majapahit di tahun 1300-an. Sebuah detasemen tentara Majapahit memang pernah datang ke Alor, dan banyak dari mereka yang menetap di sini. Peristiwa pengiriman tentara Majapahit ke Munaseli inilah yang melatarbelakangi disebutnya Galiau (pulau Pantar dekat dengan pulau Alor) dalam buku Negarakartagama karya Mpu Prapanca yang ditulisnya pada masa jaya kejayaan Majapahit (1367). Buku yang sama juga menyebut Galiau Watang Lema atau daerah-daerah pesisir pantai kepulauan.

Senja di teluk Takpala | foto Akhyari Hananto
info gambar

Sejarah Pulau Alor juga tak lepas dari masuknya pengaruh-pengaruh dari luar, termasuk masuknya agama Islam, dan Kristen. Mayoritas penduduk Alor memang beragama Protestan dan Katolik yang jumlahnya mencapai 75% dari hampir 200 ribu populasi Kabupaten Alor. Bangunan-banguan gereja muda ditemukan di pulau ini. Salibnya yang menjulang tinggi mudah dikenali dari kejauhan. Namun uniknya, di pesisir pantai Alor, ada sebuah desa yang menyimpan Al-Quran tertua di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Al-Quran tersebut terbuat dari kulit kayu dan pewarna alam dengan usia diperkirakan lebih dari 800 tahun!

Al Quran ini terbuat dari kulit kayu yang dibawa oleh para mubaligh islam dari Kesultanan Ternate pada abad ke 15. Ada cerita unik sehubungan dengan Al Qur’an ini, saat itu terjadi kebakaran besar yang melanda rumah tempat menyimpan kitab tua ini yang menghanguskan seluruh bandan dan isi rumah termasuk semua benda-benda peninggalan Iang Gogo yang dibawa dari Ternate. Tetapi anehnya, Al-Quran tertua ini tidak terbakar dan hingga saat ini masih tetap terawat dan utuh.

Saya sempat mengunjungi kawasan bernama Takpala, sebuah perbukitan kecil di sisi teluk Takpala yang indah. Kemegahan budaya Alor dapat Anda jumpai di sini, dimana suku Abui tinggal. Suku ini masih memegang teguh tradisi dengan mempertahankan rangkaian bangunan adat berbentuk limas beratap daun kelapa, ditopang empat pilar dalam bingkai pohon asam dan berdinding anyaman bambu. Di rumah-rumah inilah, moko-moko di simpan di loteng yang bertingkat tiga.

Yang paling berkesan bagi saya adalah keramahan mereka menyambut tamu. Setiap tamu dijamu dengan keramahan khas Alor, disuguhkan kopi alor yang beraroma kuat, atau jagung rebus, atau sekedar diajak mengunyah pinang. Suku Abui yang tradisional ini seolah mencerminkan keagungan leluhur bangsa Alor yang mudah berinteraksi dengan pendatang, sejak jaman dulu.

Belum banyak yang bisa saya tulis karena saya baru sampai sekitar 15 jam yang lalu. Namun pulau Alor telah memberikan kesan mendalam. Pulau yang wilayahnya hampir sama dengan luas kota Palangkaraya ini didiami oleh belasan suku yang berbeda, dengan belasan bahasa yang berbeda pula. Keberagaman budaya, keindahan alam, dan keramahan masyarakatnya, adalah kombinasi yang menakjubkan bagi saya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini