SETELAH dua jam menempuh perjalanan darat dari Palu atau sekitar 90 km ke arah Selatan, akhirnya tiba juga di Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Di desa itulah kawasan Telaga Tambing terletak.
Tak ada gangguan yang cukup berarti selama dalam perjalanan menuju telaga tersebut, malah perjalanan itu cukup mengesankan. Jalan yang mulus dengan kelokan yang sisi-sisinya diwarnai pohon-pohon hijau nan asri serasa tak cukup untuk melelahkan perjalanan. Apalagi sapaan ramah penduduk di sepanjang jalan, menapikan pegal yang seharusnya terasa.
Sebelumnya di tahun 2009 saya pernah berkunjung ke telaga ini. Namun hari ini, suasana yang saya dapatkan sungguh sangat jauh berbeda, perubahannya sangat luar biasa. Dulu, untuk mencapai telaga ini, kendaraan harus berjuang keras melewati lubang bahkan kubangan di jalan. Parkir pun harus di pinggir jalan, lalu melewati jalan setapak yang becek dan ilalang tinggi yang tak jarang melukai lengan.
Namun sekarang, suasana seperti itu tidak ditemukan lagi. Kawasan ini telah dilengkapi dengan area parkir yang cukup luas. Jalan menuju telaga juga sudah dibuat permanen. Tak ada lagi ilalang yang jika tak waspada bisa menyambar pelupuk mata.
Tidak jauh dari telaga, sebuah pelataran cukup apik dengan pavin blocknya. Jalan setapak yang meliuk-liuk dan menghubungkan area yang satu dengan area lainnya dibuat sedemikian rupa dan permanen dari bahan semen. Di beberapa sudut berdiri lampu-lampu taman yang cukup menyinari ketika malam hari.
Di sebuah area bagian barat sedang dibangun rumah penelitian yang diperuntukkan bagi para peneliti dan ilmuwan yang kerap kali berkunjung ke tempat ini. Di tengah-tengah taman terdapat sebuah orchidarium, yaitu tempat untuk menampilkan aneka tanaman anggrek baik local maupun endemic yang ada di kawasan itu. Ada pula papan informasi yang menunjukkan aneka flora dan fauna khas di wilayah itu.
Dari sisi barat, matahari yang menyinari mulai meredup seiring dengan mulai terasanya hawa dingin. Saya bergegas memasang tenda yang disediakan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) sebagai pengelola kawasan eko wisata itu. Jumlah tenda yang ada baru 25 unit dalam berbagai ukuran. Namun menurut pengelola, jumlah itu akan ditambah lagi sejalan dengan makin banyaknya jumlah pengunjung.
“Baru sekitar dua tahun terakhir ini kita berusaha melengkapi sarana dan prasarana yang ada di kawasan ini. Untuk tahun ini (2016), beberapa program pengembangan akan kita lakukan lagi,” ujar Fery AM Liwu. Fery adalah kepala seksi Pengawasan Taman Nasional Wilayah III Tongoa Balai Besar Tanaman Nasional Lore Lindu. Dialah yang bertanggungjawab atas kawasan Telaga Tambing itu.
Bagi pengunjung lain, tenda bukanlah persoalan karena biasanya mereka datang sudah diperlengkapi dengan tenda dan segenap perangkatnya termasuk alat masak instan. Tenda yang disiapkan pengelola lebih khusus kepada pengunjung yang tidak mau repot. Pengunjung hanya menyiapkan makanan saja karena di kawasan itu tidak ada restoran atau pun warung makan.
Di bibir telaga di depan tenda yang didirikan melingkar tampak sekelompok anak muda menyalakan api unggun untuk melawan dingin. Di antara mereka ada yang memetik guitar sambil bernyanyi riang. Ada pula yang terkekeh-kekeh dengan candaan sesamanya.
Sejak kedatangan saya di tempat itu, saya aktif memerhatikan bangunan kamar kecil yang terdiri dari tiga kamar. Tenda yang saya dirikan memang tidak jauh dari kamar kecil itu, maksudnya sebagai antisipasi jika kebelet. Sedari saya datang, dari sekian banyak pengujung yang masuk ke kamar kecil, paling lama lima menit. Kalau bukan buang air kecil pastilah buang air besar. Tak satupun yang menggunakan fasilitas itu untuk mandi. Yah mandi.. tak ada yang berani mandi pada suhu dibawah 18 derajat celcius itu.
Bahkan dengan kuping saya mendengar sendiri, seorang pengunjung sempat berteriak spontan ketika membilas usai buang air besar. Mungkin karena kulitnya yang tersentuh dengan air super dingin, hehehhe..
Waktu menunjukkan pukul 20.00 Wita, namun gelombang kedatangan pengunjung masih terus terjadi. Bahkan menurut pak Fery, jika mlama minggu seperti ini, jumlah pengunjung akan mencapai puncaknya setelah sekitar pukul 22.00 Wita hingga 01.00 Wita.
“Kebanyakan mereka datang untuk menghabiskan malam Minggunya dengan suasana alam seperti ini. Setelah pagi, mereka berangkat pulang kembali,” ungkap Fery lagi.
Dingin kian menusuk dan saya hanya membawa jaket yang relatif tidak terlalu tebal. Tak kuasa menahan dingin, akhirnya kuceburkan diri bersama pengunjung lainnya dalam lingkaran api unggun. Larut dalam kebersamaan, riang, bernyanyi, melupakan penat yang menghimpit dan mungkin juga sejenak melupakan utang yang membebani, hehehe..
“Ada pengunjung yang pernah mengaku kepada saya,” kata Fery lagi dalam perbincangan malam itu. “Mereka mengaku, nilai karcis yang dibayar untuk masuk ke tempat ini tidak seberapa dibanding apa yang mereka peroleh. Mereka mengaku nafsu makannya meningkat dan merasa segar setelah berada disini,” aku Fery.
Buat sebagian pengunjung, pengakuan itu ada benarnya. Lingkungan alam yang tersaji memang menakjubkan. Tenda-tenda yang di sekelilingnya ditumbuh pohon-pohon menjulang membuat suasana hati menjadi tenang. Belum lagi panorama indah yang diketengahkan oleh telaga. Nuansa natual benar-benar tersaji di tempat itu. Tak heran jika sejumlah bule berani bertandang ke tempat ini walau harus dengan mencarter ojek.
“Kebanyakan bule yang datang kesini adalah maniak burung. Mereka rata-rata sudah berusia sepuh. Mereka sangat ingin melihat burung-burung yang ada di tempat ini. Bahkan ada bula yang berani membayar jika bisa ditunjukkan burung endemic pematuk mata,” kata Fery. Walau begitu lanjutnya, tak sedikit pula bule dewasa dan remaja yang datang berkunjung untuk menikmati suasana alam maupun untuk penelitian.
Dingin kian menusuk, kabut pun mulai turun. Terpal plastik yang sebelumnya digunakan sebagai alas duduk terpaksa saya pakai untuk menggulung diri di dalam tenda. Saya menyesali tidak membawa sleeping bag yang mungin bisa membuat sedikit hangat. Sepatu sengaja tak kulepas hingga ku terbawa mimpi, karena dengan itu saya bisa menahan dingin di bagian kaki.
Pukul 05.00 Wita pagi, alarm yang sudah saya stel sebelumnya berdering keras. Buru-buru saya bangun dan meraih kamera dalam ransel yang sudah disiapkan sebelumnya. Sebuah tripod pinjaman kuraih dari sudut tenda, lalu beranjak ke bibir telaga. Tak lupa mencaplok segelas kopi hangat dari tenda tetangga yang ternyata tidak juga tertidur hingga matahari mulai membiaskan sinarnya.
“Subhanallah” gumamku. Permukaan telaga itu seluruhnya tertutup kabut, bak menari di atas air. Momen itu tak kulewatkan. Beberapa orang pun mulai tersadar akan suguhan keindahan alam maha dahsyat itu. Mereka tak melewatkannya untuk berselfie ria.
Deretan tenda di bibir telaga terhampar rapi dengan aneka warna. Sapuan kabut tipis mendaramtisir keindahannya. Sepasang pemuda dan pemudi tampak menikmati pemandangan hebat itu. Entah apa yang mereka bicarakan, bisa jadi sedang mengikat janji sehidup semati, atau janji lainnya, entahlah.. yang pasti panorama langka ini harus diabadikan.
Saya pun berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengabadikan gambaran alam cantik ini. Hamparan kabut menyapu bak salju di atas telaga, pohon yang menjulang di sekitarnya dan bias lampu-lampu dan barisan tenda menyempurnakan eksotisnya kawasan ini.
Belum seluruhnya sempat terabadikan dengan baik ketika kabut tipis perlahan menghilang seiring dengan munculnya bias matahari pagi. Tapi pengunjung tak juga beranjak dari tempat itu.
Saya harus ke sini lagi di masa akan datang, kalau bukan untuk memotret, pastilah untuk melupakan sejenak beban rasa, beban hutang-hutang dan juga menyegarkan kembali pikiran yang mungkin ada kotor-kotornya. Hehehe.. ****
Sumber : Basri Marzuki
Sumber Gambar : bmzIMAGES
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News