Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda.
(Pahlawan Tak Dikenal - Toto Sudarto Bahtiar)

Bandung, 24 Maret 1946. Udara dingin malam itu tak menyurutkan semangat dua orang pemuda Republik untuk menguji nyali mereka untuk membumihanguskan kota tercinta. Berbekal granat tangan, mereka bermaksud meledakkan 1.100 ton bubuk mesiu di gudang persenjataan milik Jepang di daerah Dayeuh Kolot, Bandung selatan. Dua pemuda itulah Muhamad Toha dan Muhamad Ramdan yang kemudian diabadikan sejarahnya.
Pada hari itu Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) telah memutuskan Kota Bandung akan dibumihanguskan supaya tentara sekutu tidak bisa memanfaatkan fasilitas kota yang ditinggalkan warga dan tentara Republik. Keputusan musyawarah tersebut diumumkan oleh Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Panglima Divisi III/ Priangan. Beliau juga meminta sekitar 200 ribu warga Bandung ketika itu untuk meninggalkan kota. Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan diutus untuk melaksanakan tugas heroik itu.
Sebelumnya pada 21 November 1945, kekuatan rakyat Bandung membuat tentara penjajah meng-ultimatum agar Bandung utara dikosongkan oleh Indonesia selambat-lambatnya pada 29 November 1945.
Rakyat tidak setuju. Sejak itu sering terjadi insiden baku tembak antara pasukan sekutu dan pejuang Republik. Karena kalah persenjataan, tentara republik akhirnya tidak berhasil mempertahankan Bandung utara. Hingga pada 23 Maret 1946, dua hari sebelum peristiwa Bandung Lautan Api, tentara sekutu menyampaikan ultimatum kedua dengan menuntut Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan Bandung selatan.
Pada saat itu Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifuddin mendatangi Bandung dan memerintahkan TRI untuk mengosongkan kota. Meski dengan berat hati perintah itu dipatuhi. Namun sebelum meninggalkan Bandung, TRI melancarkan serangan ke pos-pos tentara sekutu.
Di tengah pertempuran hebat pejuang Republik melawan tentara sekutu itulah sosok pemuda 19 tahun, Mohammad Toha dan teman seperjuangannya Mohammad Ramdan berhasil menjalankan misi meledakkan gudang mesiu sehingga menjadikan kota Bandung diselimuti api berkobar. Peristiwa itu disebut Bandung Lautan Api. Keduanya rela mengorbankan nyawa ikut gugur dalam ledakan dahsyat di tanah Sunda.

Seperti apakah sosok Muhammad Toha?
Dilahirkan di Jalan Banceuy, Kota Bandung, pada 1927, Toha tumbuh menjadi anak yatim karena ayahnya, Suganda meninggal dunia. Ibunya, Nariah, kemudian menikah lagi dengan Sugandi, adik ayah Toha. Namun pernikahan itu berakhir cerai. Toha akhirnya diasuh kakek dan neneknya dari pihak ayah yaitu Jahiri dan Oneng.
Toha masuk Sekolah Rakyat pada usia tujuh tahun hingga kelas 4. Ketika Perang Dunia Kedua pecah, sekolah Toha terpaksa terhenti.
Saat Jepang menjajah, Toha bergabung menjadi anggota pasukan Seinendan. Dia juga sempat bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga dia mampu berbincang dalam bahasa Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Toha kemudian bergabung dengan badan perjuangan Barisan Rakyat Indonesia (BRI), yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha sendiri. BRI selanjutnya digabungkan dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Anwar Sutan Pamuncak menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Dalam laskar ini Toha menjadi Komandan Seksi I Bagian Penggempur.
Menurut keterangan Ben Alamsyah, paman Toha, dan Rachmat Sulaeman, tetangga Toha, dan juga komandannya di BBRI, pemuda Toha adalah seorang yang cerdas, patuh kepada orang tua, memiliki disiplin yang kuat serta disukai oleh teman-temannya. Pada saat itu orang-orang menggambarkan Toha sebagai pemuda pemberani dengan perawakan sekitar 165 sentimeter dan sorot matanya tajam.
Bagaimana dengan Muhammad Ramdan ?
Pejuang yang ikut gugur dalam peristiwa bersejarah ini, terbilang minim informasinya. Yang diketahui hanya bahwa Ramdan adalah seorang pejuang asal Bandung. Sejatinya, banyak nama pejuang yang tak tertulis tinta emas, dalam perjuangan mereka untuk tanah air. Namun, meskipun asal usul dan rekam jejak Muhammad Ramdan belum banyak yang tahu, yang terpenting baginya adalah hidup atau mati untuk Kemerdekaan Indonesia.
Keinginan mereka sederhana. Hanya ingin merdeka dari penjajahan dan menjadi bangsa yang berdaulat sepenuhnya di tanah sendiri.
Bangsa Indonesia bangsa yang besar. Memiliki pahlawan yang tak kenal rasa takut. Semoga apa yang menjadi cita-cita para pejuang kita, mampu kita jalankan hingga kini. Dan biarkan mereka tersenyum di alam sana, karena Indonesia bisa tetap mengobarkan semangat mereka dengan wajah baru, wajah para pemuda yang siap berkaya dari dan untuk bangsa.
Sumber : merdeka.com, sahabatmkaa.com
Gambar utama : reshajauhari.com
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News