Bandung Lautan Api, Cermin Bangsa yang Berani

Bandung Lautan Api, Cermin Bangsa yang Berani
info gambar utama

"Halo-halo Bandung..ibukota Periangan
Halo-halo Bandung..kota kenang-kenangan,
Sudah lama Beta..tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi lautan api
Mari, Bung..rebut kembali"

Itulah lagu "Halo, Halo Bandung" yang ditulis beberapa tahun setelah peristiwa besar yang melanda Bandung di masa kemerdekaan, Lagu ini menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api. Yap..Bandung Lautan Api.

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

Pembumihangusan yang dilakukan pejuang Republik Indonesia tersebut dilakukan untuk mencegah tentara sekutu dan Belanda memanfaatkan fasilitas-fasilitas di kota yang ditinggalkan.

Peristiwa pertempuran Bandung Lautan Api terjadi pada bulan Oktober 1945. Saat itu tentara sekutu mulai memasuki Kota Bandung. Hal tersebut tentu saja mengusik ketenangan dan rasa nasionalisme para pemuda Bandung. Bersamaan dengan datangnya para tentara sekutu, para pemuda dan pejuang di Bandung juga sedang berjuang merebut senjata dari tangan tentara Jepang. Tentara sekutu yang sesuka hati memasuki wilayah Bandung kemudian menuntut agar senjata-senjata yang telah direbut para pemuda diserahkan kepada mereka. Permintaan tentara sekutu, tentu menjadi hal yang mustahil karena semangat pejuang Bandung yang sangat tinggi untuk mempertahankan wilayahnya.



Tentara sekutu memberikan ultimatum pertama pada 21 November 1945. Dengan alasan untuk menjaga keamanan, mereka menuntut agar Kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya pada 29 November 1945. Ancaman-ancaman seperti itu semakin membuat pejuang Indonesia yang ada di daerah Bandung merasa kesal. Pihak sekutu membatasi wilayah di tanah yang jelas-jelas bukan milik mereka dan memerintahkan warga Bandung mengosongkan wilayah Bandung.

Batas kota bagian utara dan selatan yang harus dikosongkan adalah rel kereta api yang melintasi Kota Bandung. Para pejuang Republik Indonesia tidak mau mengindahkan ultimatum Sekutu tersebut. Sejak saat itu, sering terjadi insiden antara pasukan sekutu dan pejuang Republik. Insiden tersebut seperti sebuah rangkaian peristiwa pertempuran Bandung Lautan Api yang jauh lebih dahsyat. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada 25 November 1945, rakyat Bandung ditimpa musibah, yakni banjir besar akibat meluapnya Sungai Cikapundung. Bencana alam tersebut menelan ratusan korban yang dihanyutkan derasnya arus sungai. Ribuan penduduk Bandung juga kehilangan tempat tinggal.

Keadaan tersebut justru dimanfaatkan tentara sekutu dan Belanda atau NICA (Netherland Indies Civil Administration). Mereka menyerang rakyat yang sedang tertimpa musibah. Pada 5 Desember 1945, pesawat-pesawat tempur Inggris mengebom daerah Lengkong Besar. Pada 21 November 1945 tentara Sekutu kembali menjatuhkan bom di kota Bandung, tepatnya di daerah Cicadas. Dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh para tentara sekutu, persenjataan lengkap, semuanya serba terbaru, mereka menyerang warga Bandung yang saat itu tengah dilanda musibah banjir.

Tentara sekutu mengeluarkan ultimatum kedua pada 23 Maret 1946. Kali ini, mereka menuntut Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan seluruh kota Bandung. Pemerintah Republik Indonesia memerintahkan agar TRI mengosongkan Kota Bandung. Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifuddin tiba di Bandung dengan perintah kepada TRI untuk mengundurkan diri dari Kota Bandung. Sementara itu, dari Markas TRI di Jogjakarta datang perintah yang berbeda. Tentara Republik Indonesia dinstruksikan untuk tidak meninggalkan Kota Bandung.

Walau dengan berat hati, TRI di Bandung akhirnya mematuhi perintah dari Jakarta. Akan tetapi, sebelum meninggalkan Kota Bandung, para pejuang Republik melancarkan serangan ke arah kedudukan-kedudukan tentara Sekutu. Hal tersebut bukan lantas menghentikan perjuangan warga Bandung untuk mempertahankan wilayahnya. Membela dengan cara lain pun dilakukan, pertempuran Bandung Lautan Api menjadi salah satu cara peristiwa dari cara yang dipilih.

Selain menyerang kedudukan tentara sekutu, para pejuang juga membumihanguskan Kota Bandung bagian selatan. Pembumihangusan Kota Bandung diputuskan melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) pada 24 Maret 1946. Keputusan musyawarah tersebut diumumkan oleh Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Panglima Divisi III/ Priangan dan meminta rakyat untuk meninggalkan kota. Peristiwa Bandung Lautan Api dilakukan dengan banyak pertimbangan, mengingat akibat yang akan dirasakan oleh warganya. Bersama rakyat, TRI sengaja membakar kota mereka. Udara Kota Bandung yang biasanya sejuk dipenuhi asap hitam yang membubung tinggi dan listrik di Kota Bandung juga mati. Monumen Bandung Lautan Api merupakan monumen yang menjadi markah tanah Bandung (Bandungtourism.com)

Pasukan sekutu pun mulai menyerang yang mengakibatkan pertempuran sengit karena para pejuang memberikan perlawanan hebat. Di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, pertempuran paling dahsyat terjadi karena terdapat gudang mesiu yang dikuasai sekutu. Para pejuang bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Dua orang pemuda, Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan diperintahkan untuk meledakkan gudang mesiu di Dayeuhkolot dan berhasil meledakkannya dengan menggunakan granat tangan. Dalam peristiwa tersebut Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan gugur karena ikut terbakar bersama gudang mesiu yang mereka ledakkan.

Semula, staf pemerintahan Kota Bandung memutuskan akan tetap tinggal di dalam kota. Namun, demi keselamatan mereka ikut keluar kota bersama masyarakat lainnya Sekitar tengah malam, Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan Tentara Republik Indonesia, akan tetapi api masih membakar kota, Bandung telah berubah menjadi lautan api.

Terima kasih, Bandung.

(sejarahTNI)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini