"Industri Film Kita bisa Seperti Korea"

"Industri Film Kita bisa Seperti Korea"
info gambar utama

Hari yang menyenangkan. Saya bertemu dengan pria rendah hati ini di sebuah kampus di Jogja, saat beliau sedang mengikuti ajang pra konvensi calon walikota Jogjakarta dari jalur Independen. Saya sudah lama mengikuti jejaknya di dunia film, karena selain sama-sama orang jogja, juga karena film-filmnya selalu menguras fikiran ,menghibur, dan seringkali mendapatkan penghargaan-penghargaan dunia.

Dia lah Garin Nugroho. Nama ini sudah sangat melekat dengan dunia perfilman Indonesia. Bahkan bisa dikatakan, dirinya masih yang terbaik saat ini. Ia dikenal sebagai sutradara yang memiliki cerita yang 'berat' dan sarat akan pesan sosial di dalamnya. Saya sendiri baru benar-benar memahami pesan-pesan di filmnya, setelah beberapa lama, dan menonton beberapa kali.
Lahir di Yogyakarta pada 6 Juni 1961, Garin Nugroho menuntut ilmu di bidang film di Institut Kesenian Jakarta (IKJ)—di saat bersamaan juga mengambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Garin mengaku, ketertarikan terhadap film terakumulasi dari film-film yang ia pernah saksikan sejak kecil, lalu diperdalam lagi lewat film-film yang ia temukan saat belajar ilmu perfilman.

Garin mengawali karirnya dengan membuat film-film pendek. Dab debut film panjangnya yang rilis di bioskop tahun 1991, Cinta dalam Sepotong Roti, berhasil menang Piala Citra untuk Film Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 1991, dan meraih Piala Antemas sebagai film terlaris periode 1991 dan 1992.

Film keduanya, Surat untuk Bidadari (1992), membawa Garin ke dunia panggung film internasional. Sejak itu, namanya melejit dan merambah ke berbagai festival film internasional. Pada Perayaan 250 tahun Mozart (2006), Garin terpilih menjadi salah satu dari enam ‘innovative directors’ dunia untuk membuat film, yang kemudian melahirkan Opera Jawa. Di akhir tahun 2006, ia ikut mendirikan Jogja NETPAC Asian Film Festival.

In short, he's great !

GNFI : Sebenarnya, jenis film apa yang menarik mas Garin untuk membuatnya?

Garin Nugroho (GN): Sebenarnya, film-film saya bukanlah film-film dengan tema atau tokoh yang populer. Filmnya minoritas, tapi penting untuk disampaikan. Contohnya film Guru Bangsa : Cokroaminoto (2015) atau film Soegija (2012), keduanya adalah pahlawan nasional dan tokoh penting, namun mungkin namanya tidak sangat populer di masyarakat.

GNFI : Pernah tertarik mengangkat tokoh-tokoh seperti tadi, yang memaksa mas Garin membuat film kolosal?

GN : Tidak ada masalah, dengan catatan manajemen pembuatannya ok. Mungkin suatu saat film saya akan ke sana.

GNFI : Apa film terakhir yang mas tonton dan berkesan?

GN : Saya belum lama ini menonton filmnya Joko Anwar "A Copy of My Mind" (2015), dan itu film bagus. Saya juga menonton The Revenant (2016) yang memenangkan Oscar. Itu juga bagus, dan sangat menarik.

GNFI : Apakah mas Garin memandang, bahwa suatu saat dunia film Indonesia bisa maju seperti, let's say, Korea? Atau setidaknya Thailand?

Tentu saja bisa, dan kita bisa melakukannya, asalkan ada kemauan dari berbagai pihak dan bersinergi. Korea butuh beberapa tahun untuk menjadi sekuat sekarang. Ada strategi budaya, ada fasilitas besar yang disediakan pemerintah Korea, bahkan subsidi pajak untuk film-film tertentu, dan kemudahan mendapatkan kredit perbankan jika film-filmnya berhasil di pasaran.

Industri film Thailand juga sudah cukup maju. Proteksi akan film nasionalnya cukup tinggi, pajak film asing tinggi, copy film-film asing yang akan dipasarkan di Thailand harus dilakukan di Thailand. Lokal mengelola global.

Kalau industri film Indonesia mau seperti mereka, polanya sudah ada kok.

Saat ini Garin Nugroho tengah menjalani sesuatu yang baru dalam hidupnya, yakni menjadi calon walikota dari jalur independent, kota yang melahirkannya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini