Wanita Indonesia Ini Dua Kali Membangkrutkan Pemerintah Kolonial

Wanita Indonesia Ini Dua Kali Membangkrutkan Pemerintah Kolonial
info gambar utama

Sejarah panjang hubungan Indonesia – Belanda di masa penjajahan diwarnai oleh banyak konflik dan peperangan. Konsekuensinya, pada masa ini banyak lahir tokoh masyarakat yang dengan gagahnya mengangkat senjata, memberikan sumbangsih ilmu, atau melakukan banyak pergerakan untuk melawan penjajahan yang terjadi di bumi pertiwi. Orang-orang inilah yang hingga hari ini kita sebut dengan pahlawan nasional.

Gelar “pahlawan nasional” itu sendiri, merupakan sebuah gelar kehormatan besar yang diberikan negara secara resmi kepada beberapa orang saja. Tidak semua nama yang telah berjuang di masa lalu mendapatkan kehormatan tersebut. Sebagian besar nama-nama yang tidak mendapat kehormatan tersebut dilupakan oleh khayalak, sulit ditemukan potret wajahnya, tidak ada monumen untuk mengenang namanya, bahkan namanya jarang ditemui di buku pelajaran sejarah SD hingga SMA.

Diantara nama-nama tersebut, banyak juga terdapat nama-nama wanita yang turut berjuang bersama rakyat, melawan penindasan, baik dengan mengangkat senjata maupun dengan membangun pondasi pemikiran, melahirkan bibit-bibit muda pahlawan masa depan bangsa dengan keberanian yang menyala dan pola pikir yang mendalam.

Adalah Niken Lara Yuwati, nama salah satu pahlawan wanita tersebut. Beliau adalah cucu Sultan Bima, Abdul Kahir I. Permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwono I, seorang raja yang dihormati di tanah Ngayogyakarta Hadingingrat, dan lebih dikenal dengan nama Ratu Ageng Tegalreja. Bagi yang masih asing dengan namanya, beliaulah nenek dari salah seorang pahlawan nasional yang cukup mahsyur Bendara Pangeran Harya Dipanegara, atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro.

Peter Carey, seorang sejarawan asal Inggris menyebutkan bahwa Ratu Ageng Tegalreja dikenal sebagai sosok wanita tangguh dan berpikiran tajam. Beliau sangat mahir berkuda, ahli menggunakan senjata patrem (keris kecil), seorang pemanah ulung, dan kuat dalam mengarungi perjalanan yang panjang.

Dijelaskan pula bahwa pemerintah kolonial pada saat itu mengenal Ratu Ageng Tegalreja sebagai wanita yang membangkrutkan Belanda sebanyak dua kali. Pada kesempatan pertama, beliau mendampingi suaminya mengerahkan seluruh sumber daya Kesultanan Mataram untuk melawan VOC dalam perang selama sembilan tahun (1946-1755), sebelum akhirnya perang diakhiri dengan Perjanjian Giyanti yang memecah Kesultanan Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta.

Pada kesempatan kedua beliau mendampingi cucunya, Pangeran Diponegoro bergerilya di tanah Jawa selama lima tahun (1825-1830), memaksa Pemerintah Belanda untuk menjalin gencatan senjata dengan kaum Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol yang juga melakukan perlawanan serupa di tanah Sumatera. Pada peperangan kedua ini, konon 15.000 orang tentara menjadi korban dari pihak Belanda disamping mengalami kerugian material sebesar 20 juta gulden.

Niken lara Yuwati atau Ratu Ageng juga disebut sebagai pemimpin bregada (kesatuan abdi dalem) pasukan putri. Posisi yang membuat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels takjub. "Dalam kesempatan kunjungannya ke Keraton Ngayogyakarta, Herman Willem Daendels menyatakan kekagumannya terhadap Ratu Ageng," jelas Peter.

Sepeninggal suami tercinta dan saat beliau merasa semakin melencengnya jalan yang ditempuh putranya atas cita-cita suaminya, beliau memilih mengundurkan diri dari kehidupan Keraton ke wilayah Tegalreja, membuka persawahan makmur dan menampung para 'ulama serta santri. Dari sinilah sosoknya sebagai wanita pendidik yang melahirkan pemimpin masa depan mulai terlihat. Diantara anak-anak yang digemblengnya adalah cicitnya sendiri yang lahir pada 1785 Bendara Raden Mas Musthahar , Pangeran Diponegoro.

"Oleh neneknya (Niken Lara Yuwati, Ratu Ageng), Pangeran Diponegoro diajarkan banyak ilmu. Neneknya pun merupakan orang yang ahli dalam ilmu agama maupun perang," jelas Peter Carey. Berkat didikannya itu, tambah Peter Carey, Pangeran Diponegoro pun akhirnya memiliki dasar ilmu batin dan juga agama yang sangat kuat. "Diponegoro seorang Islam Sufi, penganut Tarekat Shattariyah, sama seperti eyang buyutnya, Ratu Ageng yang menjadi embannya (perawatnya)," tambah Peter.

Keahliannya dalam ilmu perang yang diajarkan oleh Niken Lara Yuwati, kelak menjadikan Diponegoro sebagai seorang pemimpin dalam pergerakan melawan kolonial Belanda di Yogyakarta pada tahun 1825 sampai 1830."Bahkan, kolonial Belanda tidak pernah berhasil mengalahkan Pangeran Diponegoro sehingga digelar sayembara berupa penangkapan dirinya dengan hadiah 50.000 gulden," tambahnya.

Niken Lara Yuwati, adalah salah seorang pahlawan wanita yang sangat jarang dikenal namanya. Namun kita telah paham bahwa menjadi seorang wanita, terlebih menjadi seorang permaisuri kerajaan tidak menjadikan dirinya lemah. Dengan kemampuannya di medan perang serta keluasan ilmunya, Beliau memilih melawan ketika melihat rakyat yang tertindas.

Namun, beliau juga tidak melupakan tugasnya sebagai pilar penopang negara, pendidik bagi generasi penerus bangsa. Keluasan ilmunya bukanlah hal yang sia-sia, diwariskannya ilmu tersebut pada para penerusnya. Dari didikannya, lahirlah seorang pahlawan yang mampu meneruskan perjuangan dirinya dan sang suami tercinta, pembela rakyat yang tertindas, melawan para penjajah.




Sumber : merahputih.com
Sumber Gambar Sampul :ugm.ac.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini