Film "Sumatran Last Tiger" Berjaya di Festival Film New York 2016

Film "Sumatran Last Tiger" Berjaya di Festival Film New York 2016
info gambar utama

Baru-baru ini, industri film Indonesia mengibarkan prestasi tertinggi di panggung internasional, dengan tema Raja Ampat, Wonderful Indonesia-West Papua, produksi Kementerian Pariwisata yang meraih award paling puncak di Bulgaria. Kali ini giliran "Sumatran Last Tiger" yang unjuk kebolehan.

Film dokumenter Sumatran Last Tiger yang menceritakan upaya konservasi harimau Sumatera di kawasan konservasi Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) Pesisir Barat, Lampung itu, meraih perak dalam Festival Film New York 2016. Memang bukan emas, tetapi levelnya dunia dan diadakan di New York, pusatnya budaya pop di Amerika.


Film bertema alam dan satwa liar di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ini mengalahkan ratusan film dokumenter lain. Demikian menurut keterangan tertulis Artha Graha Peduli yang diterima di Jakarta, Sabtu. Sumatran Last Tiger diproduksi Channel News Asia, Mediacorp pte Ltd, Singapura.

Menurut pengumuman dalam laman Festival Film New York, Jumat, 22 April 2016, medali emas diraih film Vanishing King: Lion of Namib yang menceritakan soal terancam punahnya satwa liar Singa di Namibia, Afrika. Film ini diproduksi oleh Interspot film GmBh, Austria.

Prestasi tinggi ini langsung direspon pelaku industri pariwisata di Indonesia. Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) optimistis popularitas pariwisata Indonesia akan semakin moncer di level dunia. Sama halnya ketika bintang film Julia Robert shooting di Bali untuk film Eat, Pray, Love yang berdampak pada brand pulau dewata itu. Persis dengan Lady Diana dan Mick Jagger di Pulau Moyo, Sumbawa, NTB. Atau David Beckham dan Richard Gere di Borobudur, Jawa Tengah.

"Apalagi film bertema alam dan satwa liar di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) ini mengalahkan ratusan film dokumenter lainnya. Saya yakin setelah ini akan makin banyak wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan," papar Ketua Umum ASITA, Asnawi Bahar, Minggu (24/04).

Berkat "Sumatran Last Tiger," dunia mengetahui gambaran harimau Sumatera yang pernah berkonflik dengan manusia dan kemudian dilepasliarkan kembali ke area konservasi alam seluas kurang lebih 50.000 hektare di TNBBS.

Media-media internasional jadi ikut merekam bahwa di seluruh Sumatera, harimau yang tersisa tinggal sekitar 500 ekor. Semua diekspos dengan panorama alam liar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang menawan.

“Secara tidak langsung pariwisata Indonesia ikut terekspos, ikut terangkat, ikut terdongkrak oleh film "Sumatran Last Tiger". Ini punya daya ledak yang besar karena banyak media internasional ikut mempublikasikan ini,” ungkapnya.

Menpar Arief Yahya juga mengapresiasi prestasi karya anak-anak bangsa di level dunia. Ini semakin meyakinkan bahwa negeri ini mampu bersaing di cultural industry atau creative industry.

“Dalam The Future Shock, Alvin Tofflre menyebut tiga gelombang revolusi industri. Pertama agrikultur, kedua manufaktur, ketiga teknologi informasi. Saat ini kita sudah melewati ketiganya, dan memasuki era revolusi baru, yang dinamakan cultural industry atau creative industry. Di sinilah bangsa ini bisa berkompetisi,” sebut Arief Yahya.

Prestasi demi prestasi di Kemenpar itu juga tidak lain dari sektor kreatif. Bukan manufaktur, atau pabrik-pabrik. “Kita tidak mungkin bisa bersaing dengan China kalau bermain di manufaktur. Tetapi kalau pekerjaan kreatif, saya yakin, kita tidak kalah. Kemenangan film dokumenter Sumatran Last Tiger ini adalah salah satu contohnya,” ujar Menpar.



Sumber : www.pikiran-rakyat.com
Sumber Gambar Sampul :express.co.uk

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini