Akhirnya! Drone UAV Buatan Indonesia Bisa Diproduksi Massal

Akhirnya! Drone UAV Buatan Indonesia Bisa Diproduksi Massal
info gambar utama

Drone buatan Indonesia kini bukan lagi hanya sekedar ide ataupun prototipe. PT DI dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang telah mengembangkan unmanned aerial vehicle (UAV) atau pesawat terbang tanpa awak bernama Wulung itu telah mendapatkan sertifikat untuk memproduksi masal. Hal ini tentu saja menggembirakan karena PT DI akhirnya dapat memproduksi masal wahana tersebut

Seperti dirilis oleh Kompas.com, bahwa PT DI Selasa (26/04) yang lalu telah mendapatkan Type Certificate dari Indonesian Military Airworthiness Authority dari Kementerian Pertahanan. Setelah Januari lalu melakukan pengujian untuk mendapat sertifikasi tersebut.

Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI Andi Alisjahbana mengatakan, drone itu bakal diperlukan oleh pemerintah, terutama untuk misi pengawasan.

“Kalau untuk pengawasan daerah perbatasan itu tentunya diserahkan ke TNI,” kata Andi usai menerima Type Certificate dari Kepala Pusat Kelaikan Badan Sarana Pertahanan Laksamana Pertama M. Sofyan di Bandung.

Drone tersebut nantinya juga dapat digunakan oleh badan-badan pemerintah lain yang memiliki keperluan untuk pengawasan, seperti daerah hutan dan laut.

PUNA Wulung buatan BPPT dan PTDI (Foto: defence.pk)
info gambar

Andi memaparkan, UAV Wulung merupakan produk drone UAV pertama di ASEAN yang memenuhi syarat untuk sertifikasi tersebut. Dirinya berharap Indonesia dapat menjadi pelopor dalam teknologi ini secara regional.

“Harapannya kemampuan Indonesia dalam mengoperasikan UAV bakal lebih baik dan jadi panutan,” ujarnya.

Andi juga mengklaim bahwa drone berkode NW01 (Nusantara Wulung) itu aman digunakan dalam lalu lintas udara. Sebab UAV ini memiliki peranti lampu yang bisa dilihat pesawat lain serta transponder yang bisa mengirimkan identitas dan lokasi pesawat di radar manajemen lalu lintas udara.

Meski cukup drone ini cukup meyakinkan, Andi mengaku belum tahu berapa nantinya drone ini akan dijual. Namun, dia menjelaskan bahwa harganya akan kompetitif.

“Karena ini biaya pengembangannya ditanggung pemerintah, biaya jualnya tidak amortisasi. Harganya sangat kompetitif,” tuturnya.

UAV Wulung, yang memiliki bobot maksimal 125 kilogram ini, mampu terbang hingga radius 120 kilometer dari pusat pengendali. Dengan bahan bakar maksimal 35 liter, pesawat ini bisa terbang selama dua hingga tiga jam non stop tergantung pada misi operasinya. “Ketinggian jelajahnya hingga maksimal 5.500 feet,” kata Chief Engineer UAV Wulung dari PT DI, Bona Putralia Fitrikananda.

Pesawat tanpa awak itu memiliki bobot maksimal 125 kilogram, kapasitas tanki bahan bakar 35 liter, menggunakan satu piston engine tipe pusher bertenaga 22HP. Andi memaparkan, pesawat juga akan bisa dikendalikan secara manual agar dapat menyesuaikan komando dari otoritas penerbangan sipil, Kementerian Perhubungan.

Untuk mendukung misi intelijen, pengawasan, dan pengintaian dengan infra merah, UAV Wulung dilengkapi kamera berkemampuan merekam secara real time dengan kualitas high definition. Perlengkapan itu membantu proses pengambilan video dan foto dengan kualitas baik pada ketinggian antara 3 ribu hingga 4 ribu kaki.

Bona sebagai kepala insinyur Wulung menjelaskan, bahwa produksi UAV Wulung melibatkan sedikitnya 100 insinyur lokal dari berbagai bidang yang mendukung teknologi kedirgantaraan. Untuk mengoperasikannya, pesawat itu akan dikendalikan oleh tim pusat pengendali.

“Untuk mengendalikan nantinya ada dua mobil pendukung. Satu mobil untuk pusat pengendali, sementara satu mobil lagi untuk membawa tiga pesawat sekaligus,” kata Bona sembari menambahkan pihaknya sudah menguji tiga pesawat serupa dengan 13 kali uji terbang di Bandara Nusawiru, Pangandaran, Jawa Barat.

PT DI memerlukan waktu dua tahun untuk memproduksi pesawat itu sejak mendapatkan hasil riset BPPT. Setelah melewati proses industrialisasi hingga sertifikasi, Bona memaparkan, pihaknya memerlukan waktu dua bulan untuk membangun pesawat serupa.

“Penggunaan muatan lokal dalam pesawat ini sudah mencapai 70 persen. Sisanya itu untuk mesin dari Jerman yang sudah teruji tetap bisa beroperasi pada ketinggian dengan suhu rendah. Selain itu ada komponen elektronika yang kita datangkan dari Amerika Serikat,” terang Bona.

Andi menjelaskan, ini merupakan bukti bahwa hasil riset dapat digunakan untuk masyarakat jika melewati proses industrialisasi. Meski dirinya menyayangkan bahwa banyak riset yang tidak terpakai karena tidak masuk ke dunia industri.

Sumber : Kompas.com
Sumber Gambar Sampul : Defence.pk

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini