Zona Ekonomi Eksklusif dan Hak Berdaulat Indonesia

Zona Ekonomi Eksklusif dan Hak Berdaulat Indonesia
info gambar utama

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai pemerintah Cina 'bermain kata' ketika berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia mengenai perairan Kepulauan Natuna.

Permainan kata yang dimaksud Hikmahanto merujuk pada pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying.

Indonesia berhak memanfaatkan sumber daya di Zona Ekonomi Eksklusif, kawasan sejauh 200 mil dari Pulau Natuna. | Science Photo Library
info gambar

Saat menanggapi insiden pengejaran TNI Angkatan Laut terhadap kapal-kapal nelayan Cina yang diduga menangkap ikan secara ilegal di perairan Kepulauan Natuna, 17 Juni lalu, Hua 'mengecam tindakan penembakan terhadap kapal nelayan Cina oleh TNI Angkatan Laut' yang notabene 'merupakan wilayah tradisional penangkapan ikan Cina'.

Akan tetapi Hua menggarisbawahi bahwa 'perseteruan kedaulatan teritorial antara Cina dan Indonesia tidak ada'. Hua juga mengakui kedua negara memiliki opini berbeda mengenai klaim hak maritim yang tumpang tindih di beberapa bagian perairan di Laut Cina Selatan.

 Peta wilayah yang diklaim Cina, yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dashed lines.
info gambar

Dalam pernyataan tersebut, menurut Hikmahanto, ada dua hal yang patut dicermati. Pertama, Cina menyebut tidak ada perseteruan kedaulatan teritorial. Kedua, Cina menyebut wilayah tradisional penangkapan ikan.

“Berulang kali Cina mengatakan menghormati sovereignty Kepulauan Natuna. Sovereignty diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi kedaulatan. Yang dipermasalahkan sekarang bukan sovereignty, bukan laut teritorial kita, ataupun kepemilikan Kepulauan Natuna oleh Indonesia. Yang menjadi masalah adalah sovereign right, hak berdaulat,” ujar Hikmahanto.

Zona Ekonomi Eksklusif

Hak berdaulat Indonesia, lanjutnya, ada pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen. ZEE adalah kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar. Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada, termasuk ikan.

Adapun landasan kontinen merupakan wilayah dasar laut dan juga tanah di bawahnya yang bersambungan dengan pantai di luar laut teritorial hingga kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang kedalaman kolom air laut di atasnya masih memungkinkan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi.

“Memang di wilayah tersebut adalah wilayah laut lepas, tidak dimiliki negara. Tetapi sumber daya alam yang di dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen diberikan kepada negara pantai. Di situlah kemudian Indonesia mengelola sumber daya alam yang ada di situ. Dan apabila ada kapal negara lain yang ingin mengambil ikan di situ, tentu harus meminta izin kepada Indonesia. Nah, sovereign right ini yang dipermasalahkan Cina,” papar Hikmahanto.

Dia lalu menyoroti pernyataan pemerintah Cina yang menyebut klaim hak maritim yang tumpang tindih. Menurutnya, pemerintah Cina mengeluarkan peta kawasan sembilan garis putus-putus atau nine-dashed lines yang mencakup sekitar 90% dari 3,5 juta kilometer persegi perairan Laut Cina Selatan. Adapun Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dekat perairan Kepulauan Natuna, kata Hikmahanto, masuk di dalamnya.

“Bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dianggap oleh pemerintah Cina sebagai traditional fishing ground. Dan jika kita melihat peta nine-dashed lines, memang bertumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Tetapi, yang jadi permasalahan, pemerintah Cina tidak punya dasar pada UNCLOS (konvensi PBB tentang hukum laut) dan hukum internasional. Alasan mereka adalah alasan sejarah,” kata Hikmahanto.

Yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia, sebagaimana dipaparkan Hikmahanto, adalah terus membantah klaim Cina.

“Kalau pemerintah Indonesia melakukan pembiaran, tentu Cina akan mengatakan Indonesia akan menerima. Lalu karena menerima, dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional. Konsekuensinya, Indonesia seolah-olah mengakui nine-dashed lines dan wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina,” kata Hikmahanto.

Tidak akui

Dalam konferensi pers yang digelar di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Selasa (21/06), Menteri Susi Pudjiastuti menegaskan tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan dari negara manapun.

“Kami tidak mengetahui dan tidak mengakui traditional fishing zone siapapun di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kecuali di satu wilayah yang telah kita tandatangani bersama di Selat Malaka dengan pemerintah Malaysia,” kata Susi.

TNI Al berencana menambah kekuatan di wilayah perairan Kepulauan Natuna. Namun, rencana itu belum terwujud. | Getty Images
info gambar

Salah satu kapal nelayan dengan nomor lambung 19038 itu dapat dihentikan. TNI AL memastikan kapal itu milik nelayan Cina dengan jumlah ABK tujuh orang. Semuanya sudah diamankan di Pangkalan TNI AL di Ranai, Kepulauan Riau.

Insiden yang melibatkan kapal nelayan itu adalah kali ketiga sepanjang 2016. Dua di antaranya, kapal patroli Cina terlihat mendampingi kapal-kapal nelayan tersebut. Bahkan, pada Maret lalu, sebuah kapal patroli Cina dilaporkan menabrak kapal nelayan agar rusak dan tidak bisa ditarik kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, berkeras bahwa kapal-kapal nelayan Cina beroperasi secara sah.

Dalam wawancara eksklusif dengan BBC Indonesia beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa masalah pencurian ikan di Laut Natuna sebagai masalah kecil yang tak seharusnya menjadi urusan negara.

Meski demikian, Ryamizard berencana meningkatkan kekuatan militer di kawasan tersebut.

"Itu nanti ada satu flight pesawat tempur, ada tiga nanti kapal jenis korvet, kemudian ada satu pasukan marinir, Paskhas, satu batalion Angkatan Darat di situ. Marinir nanti lengkap dengan sea rider-nya. Bersenjata semua itu. Kalau ada apa-apa itu nanti dia (masuk)," kata Ryamizard.

Sumber : BBC Indonesia ditulis oleh Jerome Wirawan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini