Inilah Pelajaran Hebat Yang Diberikan Oleh Anak-anak Di Perbatasan.

Inilah Pelajaran Hebat Yang Diberikan Oleh Anak-anak Di Perbatasan.
info gambar utama

Riuh ragam suara terdengar di aula Hotel Matahari, hotel yang berada di Atambua, ibukota Kabupaten Belu, NTT. Disana sedang berlangsung Festival Membaca Belu dengan berbagai lomba di dalamnya. Lomba yang diadakan cukup unik menurutku. Mulai dari lomba menyusun huruf untuk siswa SD, membaca ekspresif untuk pemuda sampai membuat prakarya penunjang kegiatan mengajar untuk guru.

Menyusun Huruf

Saya sempat mengobrol dengan siswa yang baru selesai mengikuti lomba bercerita. Keringat dingin membasahi seragamnya saat ia turun dari panggung. Sebut saja namanya Adik, karena ia memperkenalkan diri dengan terbata-bata sehingga saya tidak berhasil mendengar jelas namanya. Menurutku, mudah bagi anak-anak di ibukota bercerita dalam bahasa Indonesia tapi bagi Adik dan anak lain disini, menggunakan bahasa nasional negara ini adalah tantangan yang cukup besar. Saya sangat kagum saat Adik tetap berusaha berbicara menggunakan Bahasa Indonesia, karena baginya mengasah Bahasa Indonesia berarti memudahkan dirinya untuk bergaul dengan suku-suku lainnya.

Anak berdiri di perbukitan NTT

Hari pun berlanjut dengan mengunjungi Fulur, daerah yang jauh lebih terpencil dari ibukota Belu. Medannya yang berkelok dan jauh dari kata layak untuk dilewati cukup membuat saya mual. Namun penderitaan terbayarkan saat sampai di kamp membaca disana. Dengan hanya bermodalkan terpal, seorang relawan mengumpulkan anak-anak untuk duduk mengelilinginya. Walau hanya lulusan SD, relawan yang sekaligus ibu rumah tangga itu tampak semangat mengajar para muridnya. Lia, salah satu murid disana dengan bangga bercerita kalau ia sudah lulus kelas 6 dan sedang bersiap melanjutkan ke SMP yang berjarak 30 menit berjalan kaki dari rumahnya. Wakil kepala sekolah Lia yang hadir juga di sana juga mengamini kebanggaan anak didiknya. Tampak jelas dari air mukanya bahwa ia bahagia bisa meluluskan 16 muridnya agar dapat melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Kembali lagi, di Jakarta, melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP sudah menjadi hal yang sangat biasa dan tak istimewa. Namun Lia, ia bangga tidak harus berhenti sekolah dan menjadi ibu rumah tangga dengan umur yang sangat muda.

Alas Terpal

Esok harinya, saya bersama rombongan berangkat menuju Sekolah Dasar Atapupu. Atapupu adalah daerah yang berdampingan dengan Timor Leste. Kondisinya tak berbeda dengan Fulur, terpencil dan minim fasilitas. Okto, siswa kelas 4 SD menyambut saya dengan penuh semangat. Ia dan teman-temannya mengerubungi saya dan teman-teman layaknya sahabat yang sudah tak lama jumpa. Mereka mengajari kami banyak hal mulai dari pantun sampai lagu daerah. Kami bernyanyi bersama namun saya harus menghentikan mereka saat mereka mulai bernyanyi lagu pembuka sinetron Anak Jalanan. Tercengang saya mendengar hampir semua dari teman-teman Okto memiliki cita-cita hebat, mulai dari pemain bola, dokter sampai presiden.

Ya, mereka tak ubahnya anak-anak normal yang berada di Ibukota. Mereka bermain, belajar, bersenda gurau dan mempunyai mimpi besar. Perbedaannya, mereka adalah anak-anak di perbatasan yang mengenyam pendidikan dengan penuh keterbatasan . Namun saya bersyukur, tak kulihat satupun dari Okto dan teman-temannya yang sibuk dengan gadget untuk menonton YouTube atau bermain game sehingga mereka terisolasi dengan dunia nyata. Saya bersyukur, Lia sangat bangga untuk terus melanjutkan pendidikannya dan tak memilih langsung bekerja. Saya juga bersyukur, Adik menganggap Bahasa Indonesia adalah bahasa yang ia harus pelajari sebagai bahasa pemersatu diantara banyaknya bahasa daerah disana. Dan yang paling saya syukuri, saya diberi kesempatan secara langsung untuk melihat semua itu sehingga optimisme pun bertumbuh besar diantara berita negatif yang dijajakan di banyak media.

Optimisme Anak NTT


Sumber : Dokumentasi dan Pengalaman Pribadi
Sumber Gambar Sampul :https://huudalam.wordpress.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini