Tradisi Pemakaman Masyarakat Toraja

Tradisi Pemakaman Masyarakat Toraja
info gambar utama

Menikmati Budaya Suku Toraja --1--

“Makale, Makale. Terminal Makale”, suara lantang nyaring terdengar. Sang kondektur mencoba membangunkan penumpang bis yang tengah lelap menikmati mimpi. Saya ikut terbangun karena suara tersebut, takut sudah sampai di tempat tujuan, Toraja Utara.

“Jen, udah sampe ni,” saya coba bangunkan teman yang tak sadarakan diri dan menikmati waktu berdua bersama pasangannya, Gun. “oh belum deb, ini masih Tanah Toraja, kita kan ke Toraja Utara. Masih 30 menit lagi,” sambut Jenny seraya menarik selimut.

Jam di langit-langit bias menunjukan pukul 05.15 Wita. Embun pagi tebal menutupi jendela, membuat pandangan di luar sangat kabur. Terlebih fajar belum juga memperlihatkan keinginannya menyambut saya di Toraja. Sedikit kaku, tangan kanan coba saya gerakan. Satu usapan, mata saya langsung berbinar melihat rumah adat khas… yang merupakan rumah khas suku Toraja.

Akhirnya sampe juga, gerutu saya dalam hati. Keinginan untuk datang dan melihat isi Toraja akhirnya dalam terpenuhi setelah tujuh bulan menetap di Makassar. Meski perjalanan baru berakhir di terminal Rante Pao, saya enggan memejamkan mata untuk kembali bermimpi. Karena salah satu mimpi saya kali ini ada di depan mata, tak perlu lagi dengan menutup mata.

Perjalanan 30 menit terasa begitu singkat. Penumpang silih berganti turun dari bias Scania yang kami tumpangi. Ada yang dijemput. Ada yang berjalan sendiri menuju tujuan mereka. Beraneka ragam pohon besar dan bingkai bamboo dihiasi spanduk bergambarakan para politisi setia menemani dari Makale menuju Rante Pao. Maklum saat itu tengah ramai persiapan untuk Pilkada serentak 2015.

Bis telah sampai di persimpangan terahir. Semua penumpang termasuk saya dengan Jenny dan Gun ikut turun. ‘Toraja Utara’, tulisan ini terpampang besar di bawah lambing salib di puncak bukit. Tulisan itu pun menjadi pertama bahwa perjalanan mengelilingi Toraja akan kami mulai dari titik ini, Rante Pao.

Udara dingin mulai menjelajah. Jaket yang saya kenakan tetap gagal menangkis semua hawa dingin ini. Meski lahir dan besar di kawasan yang bisa disebut mempunyai udara dingin, tapi pekerjaan yang membawa saya merasaka suhu panas, membuat bulu kuduk tetap saja tak tahan dengan dinginnya Toraja tanpa sinar matahari.

Hah, uap hangat hasil pergolakan di paru-paru saya semburkan layaknya gumpalan asap rokok. Gun yang heran melihat hal itu pun mencoba hal nyeleneh tersebut. Dia yang jarang berada di kota dingin merasa geli denga aksi itu. Tapi tetap saja dia melakukan sepanjang saya melakukannya.

Pagi itu sekitar pukul 06.00, ayah Jenny yang hendak menjemput kami sepertinya masih berselimut dan menikmati guling. Angkutan kota pun masih jarang melintas. Pas ada, kami ragu apakah mobil avanza dan sejenisnya yang menawarkan jasa mereka betul-betul angkutan kota yang layak dan data dipercaya. Mengeleng-gelengkan kepala beberapa kali, kami akhirnya memastikan untuk mencari makan sambal menunggu pagi lebih bersahabat.

Mencari makan di Toraja sebenarnya tidaklah sulit, mereka menawarkan banyak pilihan makanan. Mulia dari nasi, bakso, nasi padang dan jenis makanan lain. Namun kami, khususnya saya dan Gun harus teliti saat memasuki warung makan. Dengan mayoritas masyarakat pemeluk agama Kristen, mereka banyak menggunakan olahan daging babi maupun minyak babi untuk makanan. Jadi kami sengaja mencari warung makan yang menunjukan label halal di depan toko mereka. Beruntung penjual ikan bakar buka sejak pagi hari. Meskipun sayur sop yang mereka buat sangatlah asin, tapi apa mau dibuat, kami makan dengan lahap semua hidangan di atas meja.

Surya mengintip dari balik jendela rumah makan. Pertanda kami harus melanjutkan perjalanan. Bingung menunggu jemputan, angkot pun akhirnya kami berhentikan. Hanya 15 meni berjalan, Jenny meminta sang supir berhenti. Ongkos 15 ribu untuk tiga orang diberikan Jenny. Rumah tante Jenny yang sedikit lupa namanya, tidak jauh dari jalan raya, cukup berjalan sekitar 50 meter, rumah itu sudah nampak. “Masuk-masuk”, ayah Jenny, Pak Frans, mempersilahkan kami membongkar sepatu dan beristirahat sejenak. Dengan wajah masih mengantuk, saya dan Gun merebahkan kaki. Sementara Jenny yang hyper aktif berkelling seisi rumah. Mondar-mandir ga karuan.

//Menghadiri Rambu Solo//

Beristirahat hampir satu jam, saya, Jenny dan Gun langsung diajak Pak Frans untk menuju sebuah daerah bernama Sa'dan Balussu. Di sana merupakan tujuan utama kami melakukan perjalanan ini. Rambu Solo, tradisi pemakaman ala suku Toraja akan dipamerkan. Pemakaman yang menghabiskan uang miliaran rupiah dengan segala pernak-pernik seni budaya akan ditampilkan dalam acara Rambu Solo.

Menuju Rambu Solo ternyata tidak begitu mudah. Kami harus melalui jalalan terjal daerah perkampungan dengan akses cukup terbatas. Meski menggunakan mobil berkekuatan besar, kuda besi ini tetap saja harus berhenti di tengah jalan. Bukan karena tidak mampu, namun parkiran panjang mobil membuat kendaraan kami harus berhenti agar bisa berputar pulang. Perjuangan ke Rambu Solo pun kami tempuh dengan berjalan kaki.

Di sana kami sudah ditunggu Fritz. Dia merupakan teman kerja saya dan Jenny. Fritz memang orang asli Toraja, keluarganya hampir semua menetap di utara Sulawesi Selatan. Dan setelah ditelisik, nenek Puang Nenek Nita yang akan dimakamkan ternyata merupakan nenek dari Fritz dan Jenny. Wajar sebagai orang Toraja, saudara dari saudaranya saudara adalah saudara. Sehingga saudara sesama saudara kadang tidak mengenal satu sama lain karena terlalu banyak saudara. Intinya Fritz dan Jenny adalah saudara, walaupun jauh sekali.

Skip tentang mereka. Sesampinya di tempat acara, jubah khas Toraja untuk mengahdiri pemakaman ramai terlihat. Puluhan bahkan ratusan orang tumpah ruah di depan pintu masuk Lantang (rumah sementara). Bukan hanya orang Indonesia dari berbagai penjuru yang hadir, saking terkenalnya acara Sambu Solo, bahkan wisatawan asing pun rela berpura-pura menjadi bagian keluarga, sekedar ingin mengikuti rangkaian upacara adat dalam Rambu Solo.

Penyambutan tamu untuk menuju tempat istirahat tamu
info gambar

Ketika akan memasuki Lantang, rombongan tamu (kebanyak keluarga jauh) yang menggunakan pakaian hitam-hitam, tas khas Toraja, topi caping (seperti petani), disambut tiga orang penari berpakain adat. Meraka menggiring tamu mulai dari pintu masuk sampai ke pendopo tamu. Selanjutnya para tamu akan mendapatkan sajian makanan dan minuman sebelum menuju Lantang.

Tamu yang juga keluarga nenek menggunakan pakaian adat
info gambar

Lantang dalam Rambu Solo kali ini mencapai lebih dari 100 lantang. Berbagai ukuran lantang dibuat sedemikan rupa menyesuaikan dengan jumlah kelaurga yang akan mendatangi acara pemakaman ini. Semakin banyak lantang artinya semakin banyak keluarga dekat dan jauh yang hadir dalam pemakaman. Saking banyaknya, Lantang harus dibangun satu tahun sebelum acara Rambu Solo digelar.

Satu hal yang tidak kalah menarik dari acara Rambu Solo ada kehadiran Tedong Bonga (Kerbau Bule). Jika di Jawa tepatnya di kampung halaman nenek saya yaitu kota Subang, saya hanya bisa melihat kerbau dengan warna abu-abu tua, di Toraja kita bisa melihat Tedong Bonga. Unik memang, kerbau ini selain memiliki tanduk yang cukup panjang dan besar, warna kulit mereka layaknya kerbau dari Eropa. Tedong Bonga mempunyai warna putih di antara badan mereka. Memang tidak seluruhnya berwarna putih, namun warna tersebut bisa terdapat di salah satu bagian tubuh atau berada di beberapa bagian badan Tedong.

Untuk harganya ? Cukup menyakitkan. Satu Tedong bonga biasa, atau tidak terlalu memikat hati saja bisa mencapai puluhan dan ratusn juta. Sedangkan Tedong Bonga yang berhasil memenangkan pertandingan gulat atau kontes kadang harganya mencapai Rp 500 juta. Subhanallah.

Pantas dalam menggelar acara seperti ini, keluarga dari nenek yang akan dimakamkan harus merogoh kocek sangat besar. Satu keluarga saja biasa menyumbang satu Tedong dan beberapa ekor Babi. Terkadang untuk memperlihatkan harkat dan derajat mereka sebagai orang Toraja, satu keluarga bisa menyumbang beberpa Tedong dan Babi.

Ma'Badong, tarian penyambutan tamu
info gambar

Tapi tidak berarti setiap keluarga almarhum nenek mempunyai kondisi keuangan yang melimpah. Tak jarang terdapat keluarga yang harus meminjam uang atau berhutang baik dengan Tedong ataupun melalui nominal guna ikut serta dalam tradisi Rambu Solo.

Seharian di acara Rambu Solo, Saya, Gun, Jenny dan Fritz cukup menikmati berbagai atraksi budaya yang digelar dalam Rambu Solo. Keinginan untuk segera beristirahat akhirnya memaksa kami untuk meninggalkan Latang. Tadinya kami akan menginap di Lantang, namun karena berbagai pertimbangan akhirnya kami memilih untuk meninggalkan Rambu Solo. Kami sebenarnya ingin lebih lama di Lantang, tapi acara Rambu Solo yang kami datangi ternyata telah berlangsung cukup lama. Tradisi adu Tedong tidak kami dapat. Sembelih Tedong yang sangat terkenal pun masih beberapa hari lagi. Menyebalkan

Gambaran situasi Rambu Solo. Terdapat banyak Tedong dan Lantang, ada juga stand untuk minuman Bir Bintang
info gambar


Sumber : Debbie Sutrisno
Sumber Gambar Sampul :Debbie Sutrisno

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini