Dengan Rumah Tunggu, Ende Berupaya Meniadakan Kematian Ibu

Dengan Rumah Tunggu, Ende Berupaya Meniadakan Kematian Ibu
info gambar utama

Kematian ibu hamil, bersalin, dan nifas (selanjutnya akan disebut sebagai: kematian ibu) di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Di luar dugaan, kematian ibu terjadi tidak hanya di luar Pulau Jawa, namun juga di padatnya perkotaan Pulau Jawa. Berbeda dengan situasi di Jawa yang melimpah sumber daya, mereka yang berada di luar Jawa dan daerah terpencil harus mengandalkan diri mereka sendiri untuk menyelamatkan ibu dan bayi.

Salah satu keunikan budaya yang berpadu dengan ilmu pengetahuan kesehatan bisa disaksikan di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tersebutlah sebuah Puskesmas bernama Nangapanda yang terletak di pesisir Selatan Pulau Flores. Terletak satu jam perjalanan dari pusat pemerintahan Kabupaten Ende, puskesmas ini memiliki posisi strategis karena dekat dengan pelabuhan dan beberapa pusat perekonomian.

Kondisi geografis yang tidak semuanya datar dengan akses jalan yang baik menyebabkan beberapa kasus keterlambatan ibu bersalin datang ke puskesmas. Diperlukan terobosan yang tepat guna dalam tempo sesingkat-singkatnya. Menilik teladan puskesmas lain di Kabupaten Ende yang didukung oleh suatu lembaga berdana asing, kader kesehatan puskesmas, perangkat desa, dan masyarakat mulai memikirkan sebuah solusi jitu: membangun rumah tunggu.

Apa itu rumah tunggu?

Rumah tunggu di Puskesmas Nangapanda dibangun secara swadaya masyarakat di lahan persis di depan kamar bersalin.
info gambar

Rumah tunggu adalah sebuah tempat yang dikelola oleh puskesmas, desa, dan masyarakat untuk digunakan ibu yang menunggu waktu persalinan di puskesmas. Saat cuaca baik, jalan kering, pagi atau siang hari, ibu hamil yang mendekati waktu persalinan diantar ke rumah tunggu. Ketika tiba waktu bersalin, ibu akan dipindahkan dari rumah tunggu ke kamar bersalin puskesmas. Konsepnya sederhana. Namun kenyataan tidak selalu sejalan dengan rencana di atas kertas.

Pertama, rumah tunggu memerlukan lahan. Sementara di Kabupaten Ende ini, menemukan tanah datar dengan luasan cukup untuk sebuah rumah bukan perkara yang mudah. Selain itu, lahan harus dekat dengan puskesmas, memiliki akses air yang cukup, dan aman.

Kedua, perlu ada penanggung jawab rumah tunggu ini. Puskesmas, pemerintah desa, dan masyarakat perlu duduk bersama dan mencari siapa saja yang akan mengurus rumah tunggu ini. Setelah ada pengurusnya, masalah ketiga pun muncul: anggaran operasional dan pemeliharaan.

Di sinilah peran pemerintah desa dan masyarakat. Bersama-sama mereka mengumpulkan dana secara swadaya untuk mendirikan rumah. Tiga orang warga sekitar, semuanya perempuan dewasa, membantu seorang petugas puskesmas secara purna waktu mengurus rumah tunggu ini. Puskesmas juga memberikan sisa lahan datar di depan kamar bersalin untuk mendirikan rumah tunggu ini. Anggaran disiapkan dari pemerintah desa dengan memperhatikan masukan puskesmas dan masyarakat.

Interior rumah tunggu di Puskesmas Nangapanda masih sangat sederhana. Walau demikian, ruangan ini cukup nyaman dan memadai bagi ibu yang menunggu waktu persalinan.
info gambar

Kabar baik tidak berhenti sampai di sini. Ketika diceritakan di beberapa tempat, banyak pujian mengalir untuk kegiatan swadaya rumah tunggu ini. Tanpa diduga, istri seorang perwira polisi di Kupang membelikan beberapa perabotan. Seorang peneliti di Yogyakarta mengirim sejumlah uang untuk dibelikan dispenser demi jaminan air bersih bagi ibu yang menempati rumah tunggu. Sejauh yang dipantau penulis, keterlambatan penanganan persalinan tidak lagi terdengar dari Puskesmas Nangapanda.

Konsep desa siaga yang melatarbelakangi pembangunan rumah tunggu ini tidak khas milik Kabupaten Ende. Konsep desa siaga dan rumah tunggu sebenarnya ada di seluruh dunia. Menarik karena gerakan sosial budaya di Ende berjalan sangat cepat. Masyarakat di Kabupaten Ende adalah masyarakat paling plural di seluruh daratan Flores. Mereka telah terbiasa hidup rukun dan saling mengandalkan dalam waktu lama.

Kurang dari lima tahun, Ende telah berhasil membangun sistem yang mengutamakan keselamatan ibu hamil mulai dari lingkungan sekitarnya sendiri. Hampir semua sistem ini bertumbuh pada desa siaga. Walau demikian, bagi penulis, Nangapanda ini istimewa. Rumah tunggunya dibangun sesuai kebiasaan masyarakat sekitar membangun rumah, sehingga tidak ada jarak antara masyarakat dan rumah tunggu.

Kabar baik di berbagai puskesmas dan desa siaga ini menggembirakan. Ende sedang menuju ke arah di mana persalinan bukan lagi pertaruhan nyawa ibu. Semoga cerita ini menginspirasi daerah lain!

"Tulisan ini untuk mengenang Alm. Abdul Mamnun Hatma, seorang yang belajar formal mengenai pendidikan dan menggunakannya untuk membuat pergerakan sosial budaya. Keselamatan ibu hamil, bersalin, dan nifas di Kabupaten Ende saat ini adalah buah investasi keringat Abdul Mamnun Hatma dan masyarakat di desa-desa siaga Kabupaten Ende yang tidak dapat dihitung satu persatu."



Sumber: Kunjungan tim Learning Centre dari RS Panti Rapih, Dinas Kesehatan Kabupaten Ende, dan Australia Indonesia Partnership on Maternal Neonatal Health (AIPMNH) Maret 2015.


Sumber Gambar Sampul: Dokumentasi tim Learning Centre dari RS Panti Rapih, Dinas Kesehatan Kabupaten Ende, dan Australia Indonesia Partnership on Maternal Neonatal Health (AIPMNH) Maret 2015. Seluruh foto diambil sendiri oleh penulis.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini