Tentang Sunda Wiwitan

Tentang Sunda Wiwitan
info gambar utama

Dalam pendidikan agama atau kewarganegaraan yang diajarkan dari bangku SD hingga SMA, untuk wilayah perkotaan terutama, pasti dikenalkan dengan 6 macam agama di Indonesia. Kita mengenal bahwa agama di Indonesia adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghuchu. Semua mengacu pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, tahukah Anda, bahwa ternyata di Indonesia masih banyak agama lainnya?

Semboyan negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, telah menunjukan bahwa Indonesia terdiri dari keberagaman. Salah satunya adalah keberagaman budaya atau suku. Sebagaimana yang kita tahu, budaya adalah tingkah laku manusia yang diwariskan sejak zaman dahulu kala. Ternyata, tidak hanya sekedar itu. Menurut Ira Indrawardhana, dosen Antropologi di FISIP Unpad, salah satu unsur budaya terdapat unsur religi. Religi itu terkait dengan unsur dalam kehidupan masyarakat atau manusia dengan adanya spirit atau kesadaran akan sesuatu yang bersifat tidak nampak, tetapi dipercaya berperan dalam kehidupan manusia, bahkan kehidupan alam ini, dan mempengaruhi kehidupan manusia dan kehidupan alam ini.

Namun, entah bagaimana pada akhirnya muncul dikotomi antara agama dan kepercayaan oleh pemerintah. Kata “agama” digunakan untuk menyebut sebuah “isme” atau pandangan hidup yang datang dari luar nusantara, sedangkan sistem religi yang telah dimiliki tiap-tiap kebudayaan disebut dengan kepercayaan.

Mayoritas penduduk beralih ke agama-agama pendatang. Namun, penganut kepercayaan itu masih ada, terutama mereka yang terlambat tersentuh dengan kebudayan modern. Mereka biasanya terkumpul pada satu tempat, berusaha terus menjaga tradisi kepercayaan mereka dari berbagai ancaman dan gangguan. Pada kebudayaan Sunda terdapat kepercayaan Sunda Wiwitan. Para penganut kepercayaan ini paling banyak terkelompok di Baduy dan di Cigugur.

Keraton Paseban

Bercerita mengenai asal-usul sejarah Sunda Wiwitan rasanya akan seperti mendongeng. Bahkan rasanya kalimat “Pada suatu hari” lebih cocok digunakan untuk memulai kisah ini. Tersebutlah seorang tokoh bernama Sadewa Alibasa Kusuma Wijayaningrat atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Madrais. Menurut Ira, Pangeran ini merupakan pelarian dari kesultanan Gebang.

Madrais berkelana menyebarkan faham yang ia miliki sebelum akhirnya menetap di Cigugur dan

mendirikan Paseban. Dalam perjuangannya menyebarkan agama, pangeran Madrais pernah diadu domba oleh Belanda dengan pesantren-pesantren yang ada. Ajarannya dianggap sesat dan pada 1901 ia pernah dibuang ke penjara orang gila di Cikeumeuh.

Madrais memiliki keturunan bernama Tejabuana Alibasa. Ia saat itu mendapat wangsit untuk berlindung pada cemara putih, yang diartikan sebagai pohon natal. Maka saat itu ia menyatakan diri masuk Katolik. Sehingga otomatis pada masa kepemimpinan Pangeran Tejabuana, banyak pengikut Agama Djawa Sunda (ADS, sebutan dari Belanda) yang juga masuk katolik. Salah satu ruangan di Paseban yaitu ruangan Jinem sempat dijadikan gereja. Ternyata benar saja, kerusuhan G30S/PKI merupakan keadaan yang berbahaya bagi para penganut kepercayaan karena dianggap komunis. “Bisa dibilang untung karena sudah memiliki “agama”” jelas Ira.

Pada generasi ketiga, kepemimpinan dipegang oleh Pangeran Djatikusumah yang juga dikenal dengan Rama Jati. Pada masanya, ia berusaha untuk mengembalikan tradisi Sunda Wiwitan. Saat ia menyataka diri sebagai Sunda Wiwitan, beberapa pengikut juga kembali pada kepercayaan ini, beberapa berdiam diri di bawah payung agama lain. Pada tahun 1980-an, Paseban diteliti oleh ARKENAS dan dijadikan sebuah Cagar Budaya sehingga statusnya sebenarnya adalah milik bersama.

Tari Badaya Pwah Aci merupakan salah satu tarian inti dalam Seren Taun, sebuah perayaan hari besar bagi masyarakat Sunda Wiwitan
info gambar

Pangeran Djatikusumah memiliki seorang istri bernama Emilia dan 8 orang anak, tapi hanya satu yang laki-laki yaitu Pangeran Gumirat Barna Alam. Anak dari Pangeran Djatikusumah ini tidak semuanya Sunda Wiwitan, ada yang Islam juga Katolik. Hal ini dikarenakan ajaran yang inti disampaikan Rama Jati adalah, “tidak apa-apa tak sepengakuan, yang penting sepengertian”. Hal tersebut bukan hanya menerap pada keluarganya tapi juga pada para penganut Sunda Wiwitan lainnya bahkan warga sekitar yang bukan penganut kepercayaan tersebut. Ajaran ini mengingatkan kepada manusia agar hidup rukun bersama.

Inti Ajaran Agama Sunda Wiwitan

Karena pengalamannya yang pahit dengan para penjajah Belanda, Madrais memasukan unsur kebangsaan dalam ajarannya. Inti ajarannya ada dua, yaitu cara ciri manusia (human character) dan cara ciri bangsa (nation character).

Menurut penjelasan dari Pangeran gumirat, dalam cara ciri manusia, terdapat 5 ajaran yang harus ditaati. Pertama yaitu welas asih atau belas kasih. Sesama manusia diwajibkan untuk memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama, terhadap alam sekitarnya, dan lain-lain. yang kedua adalah tata krama, yaitu aturan perilaku dalam bersosialisasi sehari-hari atau aturan etika. Ketiga, ada yang disebut dengan undak usuk. Undak usuk merupakan tatanan hierarki seperti dalam keluarga. Intinya, yang muda harus menghormati orang yang lebih tua.

Keempat, Budidaya dan Budibasa, yaitu mengatur tindaka dan perkataan yang baik. Terakhir, disebut dengan Wiwaha Yudha Naraga, yaitu memikirkan matang-matang baik buruknya tindakan yang akan kita ambil, jangan sampai merugikan orang lain.

Sedangkan cara ciri bangsa ada karena mereka meyakini adanya adi kodrati, sebuah takdir yang tidak dapat dihindarkan mengenai penempatan seseorang ketika dilahirkan ke dunia. Seseorang harus menjunjung tingga budaya tempat ia dilahirkan. “Bangsa, rupa bahasa, adat, aksara dan budaya dari awal penciptaan sudah di-kun fayakun-kan.” Jelas Gumirat. Dengan begitu, seseorang seharusnya tidak akan menjajah bangsa lain.

Selain itu, inti ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan banyak yang merupakan intropeksi pada diri sendiri atau usaha untuk melihat ke dalam diri sendiri. Menurut Gumirat, kitab yang mereka baca adalah kitab yang tersirat di alam semesta juga dalam diri mereka sendiri. Pun, tempat ibadah menurut Gumirat adalah pada badan manusia. Hal ini yang menjadi benang merah antara Sunda Wiwitan dengan agama lain, bahwa untuk mengenal Tuhan, manusia perlu mengenal dirinya sendiri terlebih dahulu karena Tuhan juga ada dalam diri setiap manusia.

Ajaran-ajaran tersebut biasanya dibahas dalam sebuah pertemuan, diadakan seminggu sekali atau sebulan sekali di balai pusat di masing-masing daerah. Di Cigugur, tentu saja di Paseban.

Sunda Wiwitan di daerah Perkotaan

Di daerah kabupaten Bandung, tepatnya di Cireundeu, terdapat sebuah kampung adat yang juga banyak warganya menganut Sunda Wiwitan. Menurut keterangan kepala Rw kampung Cireundeu Y. Ridwan Tajudin, dari 354 kepala keluarga, 91 diantaranya menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.

Balai pusat pertemuan di daerah ini bernama Bale Sarasehan. Selain balai, juga terdapat sebuah panggung pertunjukan. Suasana di tempat itu penuh dengan dekorasi yang masih rapih karena mereka sedang dalam perayaan ngemban taun 1 Sura Saka Sunda. Jadi, jika masyarakat Sunda Wiwitan merayakan hari besar dengan Seren Taun menyambut akhir tahun, mereka mengadakan saat pergantian tahun yaitu 1 Sura. Tujuannya sama-sama untuk merayakan hasil Panen. Di Cigugur banyak dimeriahkan dengan padi-padian sedangkan di Cireundeu banyak menggunakan Singkong.

Awalnya perayaan diadakan di bale, tapi kemudian beberapa warga secara bergantian mengadakan “sukuran” dirumah mereka masing-masing. Sukuran dilaksanakan dengan pembukaan dari Mbah Wiwid, ketua RT 03 sekaligus salah satu sesepuh disana. Lalu dilanjut dengan kata-kata dari si empunya hajat yang kemudian memimpin doa. “Pun Sampun, Gusti Nu Maha Tunggal...” begitulah Pak Jajat, salah satu warga Cireundeu yang saat itu sedang melaksanakan sukuran di rumahnya, membuka doa. Semua orang yang mengikuti doa biasanya membuat sebuah gerakan dengan tangan yang disatukan, bagian kiri didalam, dan kedua ibu jari dipertemukan ujungnya sehingga mebentuk segitiga. Dalam doa yang berbahasa sunda tersebut, puji-pujian banyak dipanjatkan kepada Gusti (Tuhan) dengan sebutannya beberapa kali diganti dengan kata Rahayu, dan juga panjatan doa kepada karuhun atau arwah leluhur.

Ya, mereka juga mengenal konsep Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan Ira, saat disumpah jabatan PNS, mengganti kata demi Allah menjadi “demi Hyang Jati Niskala, Gusti Nu Murbeng Alam, nu kagungan marga Dumadi Jisim, saya bersumpah...”. Karena itulah mereka berusaha memperjuangkan kepercayaan ini. Mereka sadar bahwa mereka tidak melanggar Pancasila, dan memiliki hak sesuai dengan pasal 29 yang menyatakan kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan.

Inti ajaran di Cireundeu tentu saja sama dengan di Cigugur. Menurut Yana, salah satu tokoh pemuda Sunda Wiwitan di Cireundeu, sejarah Sunda Wiwitan di daerahnya itu dimulai dengan sejarah H. Ali yang berkelana karena ingin merdeka lahir batin, dan sampailah ia di Cigugur. Disana, ia bertemu dengan Madrais dan berguru kepadanya. Keunikan yang ada di Cireundeu adalah, huruf sunda yang mereka gunakan adalah jenis Hana Caraka, sedangkan pada umumnya, termasuk di Bandung, jenis huruf yang digunakan adalah Kaganga. Hal tersebut dikarenakan mereka mendapat pengaruh kerajaan Mataram sehingga kitab-kitab dan ajarannya masih bertuliskan Hana Caraka. Jika dirubah, mereka takut ada penyimpangan dalam penafsiran. Sesepuh di daerah Cireundeu saat ini dipercaya kepada tiga orang, yaitu Mbah Emen, Mbah Wiwid, dan Mbah Asep.

Cigugur dan Cireundeu memang terbuka terhadap perubahan. Hal tersebut didasarkan pada ajaran “Ciri Wangsi, Cara Mangsa” atau “Ngindung ka waktu, mibapa ka jaman”. Hal tersebut berarti manusia harus bisa mengikuti perubahan tapi tetap memegang nilai-nilai luhur. Namun, berbeda dengan masyarakat Baduy Kanekes. Mereka sangat tertutup dari perkembangan zaman. Menurut Dewi Kanti, salah seorang anak dari Pangeran Djatikusumah yang menjadi ketua pelaksana Seren Taun Cigugur 2013, hal tersebut dikarenakan adanya semacam pembagian “tugas”. Masyarakat Kanekes memang mengabdikan diri untuk menjaga tradisi, budaya, dan nilai-nilai luhur kesundaan.

Agama Sunda Wiwitan tidak pernah dimaksudkan untuk disebarkan seperti agama-agama lain yang seolah mencari umat. Para penganut kepercayaan lokal hanya berharap mereka tidak dicap sesat dan bisa hidup berdampingan sebagai warga negara Indonesia dengan hak-hak sipil yang sama. “kebenaran tidak seharusnya dijadikan alasan untuk saling syirik” ujar Dewi Kanti.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini