Cerita Dari Piringan Matahari, Lamalera

Cerita Dari Piringan Matahari, Lamalera
info gambar utama

Jalanan aspal kasar di desa Lamalera masih sepi, tetapi matahari pagi sudah memaksanya mengeluarkan aroma panas. Jalan inilah yang menjadi penghubung utama desa di bagian selatan pulau Lembata, propinsi Nusa Tenggara Timur ini dengan daerah-daerah di sekitarnya, terutama Lewoleba. Desa nelayan ini punya cerita tersendiri, yang membuat kita akan merasakan unik dan indahnya tanah air Indonesia ini, dari segala sisi baik geografis, ekonomi serta sosial budaya masyarakatnya.

Lamalera adalah nama yang sangat pantas bagi desa ini. Nama yang diartikan sebagai piringan matahari sangat mewakilkan panas dan teriknya cuaca di sini. Panas mataharinya cukup membuat perubahan warna pada kulit, menjadi lebih coklat. Lokasi ini bisa diterapkan penggunaan panas surya matahari untuk menciptakan energi yang bermanfaat bagi masyarakatnya.

Diapit oleh perbukitan dan samudera lepas, desa yang berada di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata ini rajin disambangi oleh angin laut, apalagi ketika malam hari. Kontur tanah Lembata yang kering dan berbatu-batu, mulai dari kerikil hingga batu besar, kurang cocok untuk lahan pertanian. Ditambah lagi dengan curah hujan yang memang kecil di desa ini, profesi bertani bukan pilihan utama masyarakatnya.

Desa Lamalera yang diapit bukit dan laut lepas
info gambar

Kontur tanah Lamalera
info gambar

Nelayan adalah pekerjaan utama sebagian besar penduduk Lamalera. Dari leluhurnya, mereka belajar menjadi pelaut yang unggul dan tetap menjaga alam. Ada peraturan tak tertulis baik itu tentang waktu dan tata cara melaut yang mereka jaga, ajaran nenek moyang. Tidak setiap hari mereka melaut mencari ikan. Ada musim melaut yang mereka jaga kesepakatannya. Pengambilan hasil laut pun dilakukan dengan cara sederhana menggunakan jaring ikan.

Masyarakat Lamalera akan melakukan acara Tobu Nomefate, upacara adat sebelum musim melaut dimulai, biasanya bulan Mei sampai Oktober. Kegiatan ini berlangsung di pantai dimana para laki-laki akan berkumpul, bermusyawarah dan saling mengingatkan nilai-nilai yang harus dijaga selama melaut. Dilanjutkan dengan proses berdoa di chapel kecil yang dibangun di tepi pantai. Kemudian melepaskan salah satu paledang, kapal kayu yang digunakan untuk berburu paus secara simbolik ke laut.

Keunggulan nelayan Lamalera juga sudah diakui di dunia. Budaya perburuan paus yang masih terjaga sampai sekarang. Uniknya perburuan yang mereka lakukan adalah dalam skala kecil 3-5 ekor per tahun, dan perburuan dilakukan dengan cara tradisional. Tombak bambu adalah cara perburuan yang dijaga dari masa nenek moyang, bukan menggunakan pukat atau sejenisnya yang bisa menghabiskan ikan dalam jumlah besar. Suku Lamalera berburu dengan tetap menghormati alam. Bukan menangkap ikan dalam skala besar.

Susunan tulang-tulang ikan di jalan desa
info gambar

Bukti lain dari keunggulan nelayan Lamalera ini, bisa kita lihat dari tulang belulang ikan, dalam ukuran besar, yang disusun di pinggir pantai, jalan desa atau di depan rumah penduduk. Apalagi ditambah dengan cerita epik perjalanan seorang juru tikam paus, mulai dari dia belajar dari kecil, tikaman pertama, sampai cedera-cedera yang dia dapatkan sebagai hadiah sebuah kehebatan tim nelayan Lamalera.

Baleo! Baleo! Baleo!

Teriakan ‘baleo’ yang diartikan sebagai ajakan untuk berburu ikan besar, adalah pertanda bahwa keberadaan paus sudah terdeteksi. Biasanya dari semburan ikan itu sendiri atau dari sinyal bendera yang diberikan oleh nelayan yang sedang melaut yang diteropong dari daratan.

Paledang-paledang akan dikeluarkan dari gubuk penyimpanan beratap daun lontar. Laki-laki akan bergegas ke pantai tanpa alas kaki, membawa pisau besar mereka dengan tambahan bekal air minum, makanan dan tentunya tembakau. Bocah laki-laki pun ada yang mengikuti orangtua mereka melaut. Mereka akan menjaga teriakan ‘Baleo! Baleo!’ sebagai pengantar ke medan perburuan.

Paledang, kapal kayu yang digunakan saat perburuan paus
info gambar

Di antara 7-8 orang awak paledang, selain juru mudi dan awaknya, akan ada satu orang yang berdiri di ujung depan kapal. Falama, sang juru tikam, bersiap dengan tembilangnya. Tembilang adalah bambu sepanjang lebih kurang 3 meter yang ditambahkan dengan mata tombak diujungnya, merupakan senjata utama seorang falama. Seorang falama harus dilatih dari kecil, fisik dan kemampuan lempar tembilang. Tidak semua anak laki-laki harus menjadi juru tikam, tidak setiap farm atau marga harus memiliki falama. Suku Lamalera memberi kebebasan bagi penerus mereka.

Mendengarkan cerita dari seorang juru tikam seperti mendengarkan kisah heroik yang mendebarkan. Bagaimana mereka harus kuat berdiri di ujung depan kapal dengan mata memantau jauh keberadaan paus selama perjalanan ke samudera lepas. Bagaimana mereka harus melompat dan menikam target dengan tembilang yang tidaklah ringan. Terkadang tidak cukup satu tikaman, tidak cukup mulus sebuah proses perburuan. Ada cerita duka yang disampaikan dengan bisu oleh fisik-fisik mereka.

“Perburuan pertama, Falama sebaiknya tidak melihat mata paus. Bisa menimbulkan rasa takut”, tutur Bapa Alfred, salah satu juru tikam yang rusuk kirinya bergeser posisi akibat terjepit oleh paus dan paledang.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti jagung, sayur dan hasil tani lainnya, masyarakat Lamalera melakukan pasar barter. Pasar dengan sistem tukar menukar ini rutin dilakukan sekali dalam seminggu di lapangan di depan puskesdes Lamalera. Mama-mama dari perbukitan akan datang membawa hasil tani seperti beras, jagung, sayur, buah, kacang hijau, kapur sirih dan lainnya. Sedang para mama dari pesisir akan membawa hasil laut, daging ikan yang sudah dikeringkan. Dalam hitungan 3-4 jam atmosfir pasar terasa sangat dinamis. Hebatnya di pasar barter ini ada seorang mandor yang akan memberi komando kapan barteran bisa mulai dilakukan, dengan cara meniupkan peluit. Semacam wasit pasar.

Pasar barter di dekat puskesdes
info gambar

Atmosfir pasar menjadi bersemangat di bawah terik matahari Lamalera. Mama-mama yang cantik dengan kapur sirih pemerah bibir mulai berjalan mebawa keranjang berisi ikan kering hasil tangkapan suami. Gelombang anggun dibalut sarung tenun dan kecantikan wajah yang eksotis.

Sistem barter di Lamalera
info gambar

Pepatah “jangan menilai buku dari sampul luarnya” sangat pas untuk masyarakat Lamalera. perawakan yang tegas dan keras hasil didikan kehidupan, membuat aura kesan pertama mereka sedikit menyeramkan. Tetapi, ketika mereka mulai menyapa, senyum dan bercerita luluh sudah aura tersebut. Jalan desa yang kecil menjadi saksi bahwa ternyata mereka sangat mudah menyapa dan memberi senyum, bahkan kepada pendatang atau pengunjung. Perbedaan bukan masalah bagi mereka untuk berinteraksi. Nilai toleransi yang mereka punya sangat baik, pada sesame manusia dan juga alam.

Lamalera, desa yang bisa diakses dari Lewoleba dengan bis ¾ atau elf dalam 3 jam ini, mengingatkan kita bahwa kekayaan negeri Indonesia sungguh luar biasa dan tersendiri. Unik dan hanya ada di tanah air ini. Kondisi alam yang kadang “tak sehijau rumput tetangga” tetap menjadi kelebihan jika disyukuri. Tradisi yang menjaga nilai-nilai keseimbangan manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya. Perburuan paus yang melegenda ini membuktikan bahwa manusia Indonesia selalu berlaku selaras dengan alam. Manusia harus menjadi manusia bijak dalam menikmati hasil alam..



Sumber : Catatan perjalanan pribadi
Sumber Gambar Sampul : foto perjalan pribadi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini