Jelajah Tanjung Datu, Menyusuri Garis Batas Negeri

Jelajah Tanjung Datu, Menyusuri Garis Batas Negeri
info gambar utama

Kami mendapat kesempatan ke Tanjung Datu di minggu keenam menjalani Kuliah Kerja Nyata dari Universitas Gadjah Mada, tepatnya pada tanggal 20-22 Agustus 2014. Kunjungan ke tempat yang di dalamnya terdapat dua landmark penting Desa Temajuk, yaitu Mercusuar perbatasan dan situs Batu Bajulang ini berkaitan dengan pelaksanaan program kerja studi konflik perbatasan dan pendataan biodiversitas setempat.

Kami berkunjung ke sana setelah kondisi perbatasan antar kedua negara sempat menegang saat Malaysia membangun mercusuar di perairan Tanjung Datu yang masih menjadi zona abu-abu. Belum sempat pembangunannya terselesaikan, militer Indonesia mengirim pasukan melalui laut dan udara melancarkan protes sehingga aktivitas pembangunan mercusuar dihentikan sejak 20 Mei 2014.

Terletak di ujung barat laut Pulau Kalimantan dengan morfologi yang menjorok tegas ke laut, Tanjung Datu membuat Desa Temajuk secara keseluruhan sering disebut sebagai ekor Borneo. Dari Desa Temajuk ke Tanjung Datu biasanya ditempuh menggunakan perahu motor ke arah utara sejauh 3 km. Terdapat jalur darat yang bisa ditempuh, namun memakan waktu yang sangat lama karena jalurnya memutar dan melalui medan yang berat dengan jalur naik turun bukit menerobos hutan sepanjang 10 Km.

Tanjung Datu adalah sebutan untuk daerah semenanjung yang terletak di sebelah utara dari Desa Temajuk. Daratan yang menjorok ke laut ini berupa perbukitan yang memanjang dengan arah relatif utara-selatan dengan bagian tengahnya merupakan jalur patok-patok penanda garis batas antara Indonesia dengan Malaysia. Bentang alam hutan hujan tropis menutupi lahannya yang tersusun oleh batuan granit berumur Kapur. Hutan yang kerindangannya menghalangi cahaya matahari ini hanya dijamah di waktu-waktu tertentu oleh pemburu untuk mencari rusa atau burung murai, atau oleh tentara patroli untuk mengecek koordinat posisi patok perbatasan.

20 Agustus 2015, kami dari tim KTB-01 KKN PPPM UGM sejumlah 25 anggota berangkat ke Tanjung Datu didampingi beberapa warga yang menjadi orangtua asuh bagi kami selama di Temajuk. Tujuan pertama adalah untuk mengunjungi dua mercusuar perbatasan di darat yang berdampingan antara milik Indonesia dengan Malaysia. Delapan orang anggota tim kemudian melanjutkan ekspedisi pendataan anggrek, reptil, dan amfibi di kawasan Tanjung Datu dengan didampingi oleh Pak Heri, Pak Unyi dan Pak Saiful, warga Temajuk yang telah berpengalaman menjelajah hutan Tanjung Datu.

Memulai Perjalanan

Air belum pasang ketika rombongan siap menaiki perahu dari dermaga Dusun Maludin pagi itu. Perahu tak bisa merapat terhalang tanggul sedimen muara di depan dermaga. Kami pun berpindah tempat titik keberangkatan. Pantai Maludin yang terletak sekitar 300 meter di sebelah timur dermaga dipilih sebagai gantinya. Di situ kami menanti sesaat sebelum dua perahu seukuran panjang lima meter menepi ke pantai. Satu perahu nantinya akan diisi oleh 15 penumpang.

Kami bergegas menyambut perahu yang datang dengan bersiap sedia menenteng tas bawaan, melipat celana, dan melepas sepatu. Perahu akan kandas jika terlalu dangkal merapat ke pantai. Oleh karena itu, para penumpang harus menyibak air laut sedalam lutut untuk naik ke perahu. Sesaat setelah seluruh rombongan naik, mesin perahu menggerung mengangkat gas, memutar turbin untuk mulai berlayar.

Perjalanan dengan perahu motor menyusuri perairan dangkal di lepas pantai Temajuk ke arah utara diiringi pemandangan yang mengundang decak kagum. Kalau kau pernah mengagumi keindahan laut saat dilihat dari daratan, Kawan, maka percayalah bahwa keindahan daratan jika dilihat dari laut ternyata lebih indah lagi. Nun di daratan sana terlihat kotak-kotak rumah di perkampungan yang lamat-lamat menghilang disamarkan dedaunan. Deretan pohon cemara berbaris rapi di tepian pantai bagian selatan, lalu perlahan berganti dengan jajaran nyiur di bagian utara. Keduanya serupa untaian pita hijau yang menyempurnakan keindahan pantai berbongkah granit di tepi barat Borneo itu.

Tim KKN KTB-01 2014 berangkat ke tanjung Datu menaiki perahu motor
info gambar

“Tambahkan orang di depan, agar laju (kencang) jalannya perahu kita” ujar Pak Agus. Benar saja, setelah beberapa orang penumpang maju mengisi bagian depan, perahu kami melaju lebih kencang hingga mendahului perahu satunya. Di tepian perahu sesekali saya mengulurkan tangan ke air laut yang berwarna hijau, menyibak dan membiarkan tempiasnya membasahi badan. Mencoba sedikit merasai lautan. Sementara itu, daratan di sisi kami sudah tidak menampakkan lagi perkampungan dan deretan nyiur, berganti menjadi perbukitan yang menanjak curam dari garis pantai. Perbukitan itu ditutupi oleh pepohonan yang rimbun menghijau. Pantai sempit berpasir putih membatasinya dengan lautan. Bongkah-bongkah granit yang saling berkelindan memberikan daya tarik yang berlipat-lipat. Sebentar lagi kami akan tiba di dermaga Tanjung Datu.

Menjelang tibanya perahu di dermaga Tanjung Datu, kami dapat melihat keberadaan mercusuar lepas pantai yang tempo hari memanaskan hubungan antara negara Indonesia dengan Malaysia. Mercusuar itu masih berupa tiga tiang pancang dari beton yang menopang dasar mercusuar. Pembangunannya memang dihentikan, namun sampai kami tiba di sana pada waktu itu belum ada kata sepakat mengenai penyelesaian konflik mercusuar itu oleh kedua negara. Petugas penjaga perbatasan yang kami temui di Mercusuar darat mengatakan kegeramannya dan ingin segera merubuhkan embrio mercusuar itu, namun masih harus menunggu instruksi dari atasannya. Mercusuar sengketa ini kelak dirubuhkan pada bulan Oktober 2014.

Perahu yang saya tumpangi menepi di dermaga Tanjung Datu sebelah barat. Sementara perahu kedua, terus melaju untuk melihat mercusuar penyebab konflik dari dekat. Mereka lantas memutar untuk berlabuh di bagian utara dari Tanjung Datu.

Pilar dasar mercusuar lepas pantai yang sempat memanaskan suhu di perbatasan karena pemerintah Malaysia membangunnya di kawasan abu-abu. Pembangunan dihentikan setelah Pemerintah Indonesia melancarkan protes.
info gambar

Mercusuar Darat

Di Tanjung Datu sebenarnya telah terdapat pos pengawasan perbatasan antara dua negara. Terletak berdampingan di ujung utara punggungan semenanjung. Untuk mencapainya, kami harus mendaki anak tangga dari dermaga hingga ke atas bukit yang berelevasi 150 mdpl itu.

Dermaga tempat perahu kami berlabuh hampir-hampir menyerupai setting lokasi di film-film horror atau thriller adventure. Konstruksinya terbuat dari galah-galah bambu yang dipasang serampangan. Saling mencuat ke atas dan ke samping. Jika ada orang yang berjalan di atasnya, dermaga itu akan bergoyang dan berbunyi berderit-derit. Di sekitarnya bongkah-bongkah besar ganit bertindihan. Sebuah tangga di pangkal dermaga tampak menanjak curam hilang di rerimbunan hutan. Daun-daun kering berguguran mengalasi anak tangganya. Seluas mata memandang ke kiri dan kanan yang terlihat hanyalah kelebatan hutan hujan tropis.

Dermaga Tanjung Datu yang memegang peran penting dalam membuka akses dari mercusuar darat ke kampung terdekat, Desa Temajuk (c) Iftitah Sari/ Dokumentasi Tim KKN UGM KTB-01 2014
info gambar

Masyarakat Desa Temajuk mempercayai bahwa Tanjung Datu merupakan zona merah. Artinya, kepercayaan terhadap hal-hal mistik kuat di sana. Orang yang berkunjung di sana harus lebih berhati-hati menjaga ucapan dan tindakan jika tidak ingin mendapat ‘teguran’ secara langsung.

Konon tempo hari seorang komandan kodim setempat kena batunya. Di tengah-tengah kunjungan pejabat militer dari provinsi, beliau bersipongah berujar sudah biasa berkunjung dan sudah hafal medan Tanjung Datu. Tak lama kemudian kaki beliau terkilir di pendakian, memaksanya beristirahat dan urung mendampingi tamu lebih lanjut. Warga yang mengantar kami percaya bahwa kejadian itu akibat sikap yang jumawa yang kemudian mengurangi kehati-hatian di jalan.

Cukup banyak peluh yang terperas dalam perjalanan menuju mercusuar darat di atas bukit. Cukup memancing keluh, padahal setiap hari petugas penjaga mercusuar naik turun bukit untuk keperluan mandi atau mengambil cadangan air karena mata air terdapat di kaki bukit dekat dermaga.

Setibanya di atas, kami mendapati dua bangunan milik dua negara yang berbeda saling bersebelahan, masing masing dilengkapi dengan bendera kebangsaannya. Hanya dibatasi oleh pagar kawat dan sebongkah granit. Secara tampilan fisik, bangunan mercusuar Indonesia lebih megah dengan menaranya yang setinggi 30 meter dan kelengkapan fasilitas navigasinya. Mercusuar milik Malaysia tampak kurang terawat. Tidak ada menara yang menjulang tinggi, tidak tampak adanya petugas yang berjaga di dalamnya. Posisi keduanya di ujung utara punggungan bukit Tanjung Datu membuatnya laksana bungalow yang menyeruak ketenangan Laut Cina Selatan.

Di mercusuar Indonesia, ada tiga orang petugas yang tinggal sebagai penjaga di sana. Mereka bergiliran jaga setiap tiga bulan sekali. Tugas utamanya ialah untuk bersiaga terkait gejala-gejala hubungan antar negara di perbatasan, menjadi navigator bagi kapal-kapal yang hendak singgah, dan menyambut tamu yang hendak berkunjung ke Tanjung Datu. Bapak angkat saya di Temajuk berkata bahwa mereka senang jika ada orang berkunjung mengingat sehari-hari mereka hanya ditemani sepi.

Selain peralatan navigasi, di mercusuar itu juga tersedia alat-alat hiburan seperti dvd player dan televisi, serta peralatan dapur. Listrik dihasilkan secara mandiri dari panel surya yang dipasang di depan bangunan.

Ada hal menarik yang kami temukan di dalam kamar tidur petugas, yaitu coretan di dinding yang menggambarkan suasana kesepian yang dialami oleh petugas terdahulu di sana dengan mengkreasikan kata Tanjung Datu menjadi sebuah akronim dari kalimat-kalimat bermuatan curahan hati. Hal ini serta merta membuat kami sadar bahwa demi keutuhan dan kejayaan bangsa, ada pengorbanan besar dari seseorang yang selama ini tak banyak orang menyadari. Ada peran besar yang mungkin terlihat sepele namun membutuhkan perjuangan yang tidak sederhana. Dan ada pula sisi kocak dari prajurit yang selama ini tercitra keras lagi kaku.

Hanya sampai siang kami bertigapuluh berkunjung di mercusuar Tanjung Datu. Selepas matahari condong sedikit ke arah barat, kami harus bergegas menarik sauh kembali ke Desa Temajuk. Cuaca yang kerap mendadak berubah sering membawa badai di sore hari. Oleh karena itu, kami harus segera beranjak selagi gelombang laut masih relatif tenang.

Setelah berpuas diri mengambil foto di antara kibaran bendera dua negara dan bercengkerama dengan petugas yang berjaga, mayoritas anggota rombongan berpamitan pulang, kecuali delapan orang mahasiswa beserta tiga orang warga pengantar yang akan melaksanakan program identifikasi flora dan fauna di hutan Tanjung Datu. Meski tak lama, namun kunjungan ke Mercusuar Tanjung Datu memberikan cerita yang mengesankan bagi kami tentang bagaimana kondisi penjaga kedaulatan di ujung negeri.

Hutan Tanjung Datu

Saya dan ketujuh rekan yang tergabung dalam tim ekspedisi hutan Tanjung Datu masih beristirahat di mercusuar darat seusai anggota kelompok yang lain pulang. Kami memutuskan untuk berangkat setelah ashar. Seusai menyiapkan bekal makanan dan mental untuk terakhir kalinya sebelum berpetualang menjelajah hutan Tanjung Datu hingga tiga hari ke depan, kami berpamitan dan berfoto bersama petugas penjaga mercusuar. Matahari yang beranjak perlahan ke derajat rendah arah barat menemani kami mengawali langkah di perbukitan itu.

Tim kami terdiri dari sebelas orang. Tiga orang warga berpengalaman menjelajah hutan Tanjung Datu untuk berburu. Dua orang mahasiswa, dan enam orang mahasiswi. Mayoritas dari kami nyaris nol dalam pengalaman mendaki bukit selama berhari-hari. Di kesempatan lain Pak Heri bahkan berkelakar bahwa beliau sedang mengantar rombongan ibu-ibu PKK ketika seseorang dari desa menelponnya.

Pak Heri adalah seorang warga Desa Temajuk yang sering masuk hutan Tanjung Datu untuk berbagai kepentingan, sekaligus merupakan orangtua asuh bagi tiga orang dari rombongan tim ekspedisi ini. Pak Unyi dan Pak Apol adalah rekan Pak Heri dalam berburu di Tanjung Datu. Pak Unyi dengan bersenjatakan sebilah parang berjalan paling depan, mencari dan membuat jalan. Dipilihkannya jalan yang paling mudah, ditebasnya belukar dan dahan-dahan pohon paku berduri yang menutup jalan setapak. Pak Heri dan Pak Syaiful atau yang biasa dipanggil Pak Apol, berjalan di belakang. Kami berdelapan beriringan di tengah-tengah mereka. Menggebu di langkah-langkah pertama, kerap beristirahat di tengah perjalanan, dan bersusah payah mendaki setiap tanjakan.

Tujuan utama perjalanan ini yaitu untuk melakukan identifikasi flora dan fauna di Tanjung Datu. Fauna yang akan diamati terutama fokus pada jenis reptil (kadal, kodok, dan ular), sedangkan flora yang diamati khusus bunga anggrek. Pengamatan flora dilakukan di sepanjang jalan dengan mengambil pohon anggrek untuk kemudian dibuat herbatorium sesampainya di desa lagi. Sedangkan pengamatan reptil kami melakukannya pada malam hari dimana katak dan ular banyak keluar. Untuk mencapai tujuan ini, kami harus berjalan menembus rimba Kalimantan yang kelebatan khas daerah tropisnya termasyhur hingga ke seluruh dunia.

Kelompok kami menyusuri hutan Tanjung Datu sepanjang garis batas untuk menyapa keragaman hayatinya. (c) Iftitah Sari/ Tim KKN UGM KTB-01 2014
info gambar

Di bawah kerimbunan hutan terluar di Indonesia ini kami berjalan menyusuri setapak di igir bukit yang sejalur dengan garis batas antar negara Indonesia dan Malaysia, ditandai oleh patok-patok pancang yang kami temui sepanjang perjalanan. Lereng terjal di kanan dan kiri kami adalah dua daerah milik dua negara yang berbeda. Lereng barat merupakan wilayah Indonesia, sedangkan lereng timur sudah merupakan wilayah milik negara Malaysia. Jalur ini merupakan jalur yang sama yang digunakan tentara perbatasan untuk patroli pengecekan koordinat garis batas. Kondisi patok-patok pancang tersebut hanya berupa tonggak semen setinggi 40 cm bertuliskan nomor patok di bagian atasnya.

Meski sebagian kecil hati saya mengatakan bahwa hutan ini bukan tempat yang nyaman untuk bermain mengingat resiko bahaya yang bisa datang kapan saja dari medan berat dan panjang yang ditempuh dengan terengah-engah dalam kondisi badan lengket lagi bau, namun sebagian yang lain mengatakan bahwa perjalanan di hutan ini juga sangat mengesankan, memancing adrenalin, dan keseruannya mungkin akan menjadi salah satu momen masa muda terbaik yang bisa kami kenang kelak.

Di satu etape penyusuran terkadang kami sampai terperosot saat menuruni lembah sebab curamnya medan, harus merunduk rendah saat menembus terowongan semak sambil bersicepat mengejar area lapang untuk mendirikan camp sebab hari sudah gelap, berhati-hati terhadap gigitan semut-semut hutan, yang sialnya bagi Asmaa, seorang anggota ekspedisi sempat terkena serangan serombongan semut di sekujur tubuhnya karena tidak sengaja mengoyak gerombolannya pada pencarian reptil amfibi di malam hari. Hujan yang mengguyur deras di pagi ketiga semakin menambah tantangan bagi kami karena hujan menyebabkan setapak semakin licin, dan konon memancing lintah serta ular lebih banyak keluar.

Namun Tanjung Datu dengan hutannya yang masih terjaga tidaklah melulu memberikan sambutan yang menakutkan atau membahayakan. Di daerah semenanjung yang konon dulu menjadi tempat pendaratan nenek moyang bangsa Melayu yang berasal dari Malaka ini kami dapat menjumpai sisi cantik hutan berupa bunga rafflesia yang tengah mekar, sungai kecil yang mengalir di sela-sela himpitan bebatuan besar yang jernih airnya seperti berhulu langsung dari firdaus, dan banyak hal lain yang memikat hati. Tapi di luar itu semua, atraksi utama yang bisa memberi rasa paripurna dalam bertualang ke Tanjung Datu adalah sebuah titik yang dikenal dengan sebutan Batu Bajulang.

Batu Bajulang

Dari namanya yang diambil dari Bahasa Melayu, dapat diterka bahwa Batu Bajulang adalah suatu tempat yang terdapat batu dengan kondisi yang menjulang tinggi. Dan demikianlah adanya. Terdapat setidaknya tiga bongkah granit raksasa yang terlihat saling bersandar satu sama lain, dan dapat didaki hingga ke atas. Tingginya yang menembus rimbun pepohonan memungkinkan kita untuk menikmati panorama terbaik. Titik ini juga merupakan penanda alam perbatasan Indonesia-Malaysia. Di atas puncaknya, dapat kita temui adanya patok perbatasan tertancap di tengah-tengah.

Untuk mencapai puncak Batu Bajulang bukan tanpa resiko karena kondisi permukaan batu yang licin dan tempat berpijak yang sempit. Namun setibanya di puncak, pemandangan surgawi siap menyambut kita. Daerah semenanjung dan hutannya yang tampak di bawah seakan gelaran permadani hijau yang ujungnya berakhir di laut di utara. Jauh lebih ke bawah, pantai-pantai dengan putih pasir dan bebatuannya seakan manik-manik yang membatasi tepian permadani ini dengan birunya samudra raya.

Pemandangan dari atas Batu Bajulang (c) Hafiz Fatah/ Tim KKN UGMKTB-01 2014
info gambar

Jika cuaca cerah, Kepulauan Riau dapat pula terlihat di barat jauh, namun cuaca sedang mendung saat kami berada di atas. Awan pekat yang tak seberapa tinggi itu bahkan sempat terdorong angin utara dan berarak ke arah tempat kami berdiri sebelum berhenti di ujung lautan dan turun sebagai gerimis. Kami pun turun dan berteduh kembali ke camp.

Bongkah granit berukuran besar di Batu Bajulang dan bebatuan yang bertindihan di pantai membuktikan bahwa secara geologi, daerah Tanjung Datu disusun oleh batuan beku granit yang berumur Kapur atau sekitar seratus juta tahun. Batuan jenis ini terbentuk dari pembekuan magma asam jauh di bawah perut bumi dalam waktu yang relatif lama sehingga cukup untuk menumbuhkan kristal-kristal berukuran kasar.

Interaksi batuan tersebut sebagai bagian dari bumi yang dinamis dengan perjalanan waktu memungkinkan batuan ini terangkat ke atas permukaan seperti saat ini. Selama terangkat, gaya tektonik yang mengenainya menyebabkan terbentuknya rekahan-rekahan. Rekahan inilah yang kemudian menjadi jalur terkikisnya batuan dan menghasilkan sisa-sisa berbentuk bongkah-bongkah seperti yang banyak dijumpai di pantai dan di Batu Bajulang.

Laut Cina Selatan dari atas Batu Bajulang, pemandangan sisi Indonesia. (c) Hafiz Fatah
info gambar

Pulang

Siang hari ketiga, 22 Agustus 2014 kami akhirnya kembali juga ke peradaban manusia disambut perkebunan lada dan buah naga di ujung timur Desa Temajuk. Sebuah kepulangan yang cukup melegakan setelah hampir tiga hari kami hidup di hutan. Setelah bosan makan mie instan dan biskuit, dan setelah harap-harap cemas melihat setapak sempit yang seolah tidak berujung.

Siang itu kami sampai lagi ke rumah orangtua asuh masing-masing dengan membawa belasan sampel anggrek, katak, dan ular, serta keyakinan akan kesungguhan Indonesia dalam menjaga kewibawaan dimulai dari titik terluarnya.


Naskah ini berbasis pengalaman menjalankan program Kuliah Kerja Nyata yang didanai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi


Foto Gambar Sampul : Mercusuar darat Tanjung Datu (c) Arfian Setiaji (ig: @arfiansetiaji)

Foto-foto : Dokumentasi Tim KKN UGM KTB-01 2014 (Arfian Setiaji, Hafiz Fatah, Iftitah Sari)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini