Kabar dari Indonesia Kepulauan: Sejahtera itu Sesederhana ini

Kabar dari Indonesia Kepulauan: Sejahtera itu Sesederhana ini
info gambar utama

”Sosialisasi Desa Sadar Potensi Wisata ini kami laksanakan agar masyarakat Desa Kemujan memahami apa saja potensi wisata Kemujan dan bagaimana mengembangkan serta memanfaatkan potensi tersebut,” kurang lebih itulah kata sambutan kami ketika membuka kegiatan Sosialisasi Desa Sadar Potensi Wisata di Desa Kemujan. Desa Kemujan? Pernah kesana? Atau sekedar mendengar? Atau tak ada bayangan sama sekali?

Sebelum menceritakan desa ini, kami adalah rombongan mahasiswa perguruan tinggi negeri di Kota Bengawan yang sedang melaksakan tugas kuliah kerja nyata, hanya tugas, demi mendapat nilai dan selebihnya adalah kesempatan emas untuk berwisata, bagi saya pribadi. Tapi saya salah, ternyata saya baru mendapat bijih emas yang harus saya olah dulu. Dan mengolahnya diperlukan pembelajaran. Dan di Desa Kemujan inilah saya belajar.

Pulau Kemujan?

Desa Kemujan merupakan desa dengan mayoritas penduduknya keturunan Suku Jawa, Madura dan Bugis. Nenek moyang mereka adalah pelaut yang datang dan menetap. Menempati salah satu pulau di Kepulauan Karimunjawa. Hohooo siapa tak tahu Karimunjawa? Tentu tak satupun, sebab keindahan alam terutama bawah lautnya sudah merajalela. Akses kesanapun sangat mudah, ada kapal yang hampir setiap harinya bertolak dari pelabuhan Kartini, Jepara maupun Tanjung Mas, Semarang. Atau pilih pesawat dari Surabaya dan Semarang. Letak desa sekaligus Pulau Kemujan ini tepat di sisi utara Pulau Karimunjawa, menuju kesana cukup menyeberangi jembatan yang menghubungkan dua pulau ini.

Suasana perkampungan Bugis di Kemujan
info gambar

Kondisinya saat itu tak banyak wisatawan yang datang ke Kemujan, akses internet tak sampai, listrik hanya mengalir kurang lebih 12 jam, jumlah guru di sekolah sedikit. Guru disana banyak yang tinggal di Jawa sehingga kerap kali tak datang mengajar. Jangankan pokemon, instagram atau youtube, anak-anak di sana hanya kenal cara berenang, memancing, naik perahu, sekolah, mengaji dan main bersama. Jika ditanya apa cita-cita mereka? Dengan bangga mereka menjawab ingin jadi nelayan atau guru di Kemujan. Entah bagaimana mereka bertahan tanpa bermain gadget, berbelanja di mall, nongkrong di kafe dan lain sebagainya. Ini baru pulau yang berjarak lima jam dari Pulau Jawa. Jika saya tinggal di sana, mungkin saya sudah merencanakan kesuksesan di kota.

Mereka bangga dan bahagia hidup disini.
info gambar

Disini Saja

Bisalah dikatakan bahwa saya dan rombongan adalah anak kota yang haus udara segar, sudah banyak mengeluh dan selalu mengidamkan berwisata. Maka ketika kami datang disambut dengan pantai di halaman rumah, laut lepas setelahnya, rumah penduduk yang hanya setinggi pohon pisang, dan dijaraki berhektare pepohonan, kebun, dan semua itu dapat dinikmati gratis sepuasnya, seolah kami ingin memberitahu kepada keluarga, teman, bahkan seluruh dunia, bahwa disana ada surga, kami pernah kesana, ke tempat yang belum pernah kalian datangi. Melihat kondisi kemujan, tak habis pikir dengan diamnya penduduk lokal yang tak memanfaatkan alamnya, namun juga tak mencari kehidupannya yang lebih baik di kota. Maka kami mulai memikirkan hal-hal modern, salah satunya mengadakan Sosialisasi Desa Sadar Potensi Wisata. Tak disangka penduduk disana sangat anthusias, bahkan sosialisasi ini berlangsung cukup alot.

Pantai dan Dermaga Hadirin merupakan salah satu potensi alam Kemujan
info gambar

Pembicara yang diundang untuk memberikan sosialisasi memaparkan potensi desa dan bagaimana memanfaatkannya untuk pengembangan sektor wisata. dan bagaimana penduduk Kemujan meresponnya? Seluruhnya seolah seiya sekata berkata, “bukan itu yang kami butuhkan”. Sampai seorang dari mereka berkata, “Ajari kami menikmati keindahan di pulau kemujan ini agar kami ikut menjaga”. Ia adalah Mas Bambang, salah satu pemuda Desa Kemujan.

Mas Bambang
info gambar

Saat itu saya baru menyadari, bagaimana mungkin mereka (red: penduduk Desa Kemujan) tak mengenali tempat tinggalnya sendiri, tak bangga dengan apa yang mereka miliki. Mereka justru sangat bangga dan memahami betul kebutuhan mereka dan alamnya. Mereka hidup disana sejak lahir hingga sekarang, uang dari laut atau kebun sudah sangat cukup dan melimpah. Sementara yang di kota dipusingkan dengan banyak hal untuk hidup bahagia, makmur, sejahtera, mereka sudah bahkan tak kurang satu pikirpun. Jadi untuk apa mereka diajarkan menebang pohon, mengeruk pasir, menutup tanah dengan aspal dan beton, membangun hotel dan tempat wisata dari semen. Lantas apa?

Ini sekaligus menjawab mengapa Pulau Kemujan masih dengan keasliannya dan mereka bangga tinggal disana, tak pergi merantau. Sebab mereka memilih tumbuh dan secara bersamaan menumbuhkan lingkungannya. Tak salah sukses di kota, namun siapa yang akan menyetok ikan di kota, dan siapa yang akan mendidik anak-anak disana. Tak salah juga menghidupkan sektor wisata, mengundang wisatawan datang, namun bukan berarti merusak alam. Kita yang perlu belajar batasan dan perihal menikmati serta memanfaatkan alam, sehingga alam ini tetap terjaga.

Mereka yang tumbuh dan menumbuhkan pulau ini
info gambar

Dan berita baiknya, upaya penduduk Kemujan menumbuhkan alamnya sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Sekarang, akses internet sudah mulai tersedia meski masih terbatas, listrik lebih lama mengalir, penduduk telah mulai mengenal dan memanfaatkan media sosial untuk memperkenalkan pulau ini. Yang terpenting kita masih bisa menikmati keaslian alam Kemujan dan alam juga masih menghidupi penduduk disana. See? Seperti konsepsi kompleksitas sosial, sekecil apapun yang kita lakukan bisa saja akan berpengaruh besar, termasuk terhadap kehidupan kita kedepannya. Jadi silahkan ke Pulau Kemujan, silahkan belajar apa saja. Saya yakin Anda tak perlu hotel mewah, sebab rumah penduduk Kemujan selalu terbuka lebar untuk siapapun.



Sumber Gambar Sampul : Dokumentasi Pribadi (Instagram @sufirahmaw & @uns_hellokemujan)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini