Ternate: Seribu Keindahan Di Lembaran Alamnya

Ternate: Seribu Keindahan Di Lembaran Alamnya
info gambar utama

Semburat merah mentari menyibak kota Ternate. Garis-garis sinarnya jatuh di lautannya yang tenang di antara Maitara , Halmahera dan Tidore, membuat lekukan indah air yang menari-nari di permukaannya. Gunung Gamalama menjulang tinggi, berasap tiada henti seperti mengawasi. Hari masih pagi di geliat kota yang diapit pulau-pulau gunung dan lautan ini. Cantik sekali.
Kami hanya punya beberapa jam saja di sini. Berlari kami ke Kesultanan Ternate, tempat cerita dimulai. Tentang Raja yang mahkotanya ditumbuhi rambut yang terus tumbuh dan tumbuh pun jika si Empunya sudah tiada. Butuh ritual khusus untuk memotongnya disertai doa dan sesaji. Mahkota berambut pula yang akan terbang memilih raja pengganti yang telah tiada, dalam persidangan khusus dan tertutup. Kami hanya melihat gambarnya saat tiba di sana. Sang Raja baru saja mangkat, belum ada pengganti. Mahkota berambut tersembunyi rapi.

Dari atas balkon istana kami melihat seluruh wilayah Ternate dan sekitarnya. Laut setinggi mata Raja saat mengawasi. Luar biasa! Terbayang di masalalu dan kini, Raja hanya perlu berdiri di balkon istananya dan semua tamu-tamunya sudah nampak di depan matanya dari lautan atau pun daratan. Pun begitu dengan rakyatnya berkegiatan. Tak lepas dari pandangannya. Baju-baju kebesaran, kereta kuda, singgasana, perabotan berusia ratusan tahun mengingatkan betapa masalalu tidak kalah berkualitasnya dari sekarang. Dan bagaimana kota ini tiada takut bersama dengan Sang Gamalama yang tak henti berasap? Raja lah yang meredamnya dan mampu memerintahkannya untuk memuntahkan isi perutnya di jalur yang dipilihnya. Dan semuanya atas restu Illahi Robi, Dzat Penguasa Alam yang Ternate dan Kesultanannya memuji-Nya di Masjid-Masjid generasi bergenerasi bersama dengan Kesultanan lainnya: Tidore, Bacan dan Jaikolo.
Berlari lagi kami ke Benteng-Benteng. Berdiri kokoh sejak ratusan tahun lalu kami menjelajah ke tiap-tiap sudutnya, kesana-kemari. Mencari-cari cerita bagaimana bangsa-bangsa kulit putih membangun pertahanan dari para penyerang tak kenal lelah. Ternate menawarkan kekayaan rempah-rempah yang akan menghangatkan perut-perut dan raga benua biru yang beku. Portugis dan Belanda tak kenal menyerah. Benteng-benteng yang menjorok ke laut, berdiri di atas tanah karang pun didirikan untuk memastikan Ternate aman dan dapat dikendalikan. Dihargainya Ternate dengan menamai benteng-benteng tersebut dengan nama Sultan-Sultan Ternate, Kalamata dan Tolukko. Liatlah, dari benteng-benteng ini Tidore, Halmahera, Maitara terawasi. Indah bagi peziarah kini dengan lautan dan pulau-pulau disekitarnya. Tapi tidak di masalalu, saat mata-mata biru berambut jagung mengawasi termasuk para pribumi.

Gamalama setia mengikuti kemanapun kami pergi. Sosoknya selalu terrlihat dimana pun kami berada. Pun saat kami mengunjungi Danau Tolire. Kami juga sempat melihat danau hijau tosca ini dari ke jauhan, di atas dataran tinggi. Saat mendekatinya kami semakin takjub. Danau Tolire. Sekencang dan sekeras apapun kau mencoba melempar batu ke arahnya, batu akan kembali ke tepian. Terkungkung dalam lubang yang dalam, danau Tolire dikelilingi oleh bukit-bukit dan pohon2. namun tak bisa meredam desiran angin yang kencang. Di seberangnya, segaris dgn cakrawala , laut biru tenang dan jernih mengundang kita.

Pantai Sulamadhana dari sisi yang berbeda saat kami tiba. Bermain saja kami di tepiannya. Memanjakan mata, memandang laut tenang tak terbatas. Rasa ingin berenang dan bersnokling ria terbentur oleh waktu.

Hingga waktu mengantar kami ke Batu Angus. Tempat Gamalama mengalirkan isi perutnya yang panas membara dijalur yang diperintahkan Sang Raja. Semua nampak hitam, hangus. Membentuk pahatan-pahatan batu alam bahkan siluet-siluet bak manusia raksasa. Batu Hangus adalah sebuah cerita tentang kekuatan alam yang tiada terkira, sekaligus keindahannya.

Senja menyapa saat kami tiba di Pantai Uang Seribu. Tidore dan Maitara di kejauhan. Nelayan memasang jaring, menangkap ikan. Langit biru bersih. Kami berebutan momen langka ditingkah angin senja. Momen seperti di uang seribuan yang kami punya.

Ternate, ribuan keindahan yang kau tawarkan belum puas ku cecapi. Tapi persinggahan sebentar ini cukup berarti. Untuk kami, para pejalan kaki yang masih harus ke Selatan menunaikan sebuah janji.

Sumber :
Sumber Gambar Sampul : Koleksi Pribadi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini