Kisah Tumiso, Orang yang Menyelamatkan Naskah-naskah Pramoedya Ananta Toer

Kisah Tumiso, Orang yang Menyelamatkan Naskah-naskah Pramoedya Ananta Toer
info gambar utama

Kisah masa lalu sastrawan legendaris dan kebanggaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer tidak asing lagi di telinga kita. Pram, demikian publik mengenal panggilannya, melahirkan karya-karyanya ketika ia dalam pengasingan di Pulau Buru. Saat diasingkan, Pram diperbolehkan menulis bahkan ia difasilitasi mesin tik dan kertas.

Fasilitas tersebut diberikan khusus kepada Pram oleh pemerintah sebagai dalih bahwa pemerintah tidak menahan Pram yang memang saat itu sudah mengenalnya sebagai sastrawan dunia. Meski begitu, jatah kertas yang diberikan oleh Pemerintah kadang tidak cukup. Pram pun dibantu oleh kawan-kawannya yang berada di tahanan untuk mencari cara mendapatkan kertas. Bahkan demi menuntaskan tulisannya, Pram pernah menggunakan kertas bungkus semen bekas tentara membangun rumah komandan.

Sayangnya, naskah-naskah Pram dilarang dikeluarkan dari Pulau Buru padahal selama di sana Pram telah menulis 10 judul karya, di antaranya tertalogi Pulau Buru, Arus Balik, Mangir, dan Mata Pusaran.

Adalah Tumiso, orang yang berhasil menyelundupkan karya-karya Pram dan menyelamatkannya dari sitaan pemerintah. Tumiso adalah salah satu kawan dekat Pram yang mulai mengenal Pram sejak 1964. Selain karib, Tumiso juga merupakan salah satu orang yang sering memberikan masukan kepada karya-karya Pram.

Tumiso sangat rajin menyimpan naskah yang ditulis oleh sastrawan asal Blora tersebut. Ketika dibebaskan pada tahun 1979, Tumiso mengumpulkan naskah-naskah tersebut dan menyembunyikannya dalam tumpukan pakaiannya yang akan dibawa pulang.

Tumiso yang bebas bersama Pram dan Oey Hay Djoen tidak langsung dibebaskan melainkan terlebih dulu dibawa ke Magelang, Jawa Tengah. Di sana Tumiso dan tahanan lainnya digeledah oleh para petugas keamanan. Menyadari hal itu, Tumiso pun berpura-pura jatuh dan mengaku sakit. Akhirnya, ia tidak jadi digeledah.

Naskah dan catatan-catatan Pramoedya yang dimuseumkan di Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya (source: junantoherdiawan.com)
info gambar

Dari Magelang, Tumiso dan tahanan dibawa ke sebuah penjara di Semarang. Ia kembali pura-pura sakit dan selamat dari penggeledahan. Selama perjalanan panjang pembebasan ini Pram tidak mengetahui bahwa naskahnya dibawa oleh Tumiso. "Pram baru tahu naskahnya selamat saat sudah di Semarang ini," kata Tumiso seperti ditulis CNN.

Sering mengaku sakit bahkan hingga penggeledahan terakhir membuat Tumiso dicurigai penjaga dan disebut pengecut. Meski begitu, Tumiso berhasil menyelamatkan naskah Pram sampai ia kembali ke rumahnya di Surabaya.

Pada 1980 Tumiso berangkat ke Jakarta untuk menyerahkan naskah-naskah Pram. Naskah tersebut lantas diterima oleh penerbit Hasta Mitra, penerbit yang didirikan Pram bersama dua rekannya, Hasjim Rachman dan Joesoef Isak. Oleh penerbit tersebutlah naskah karya Pram dicetak dan dipublikasikan. Sedikitnya ada delapan naskah yang dibukukan, yakni Tetralogi Pulau Buru, Mangir, Arus Balik, dan Ken Dedes. Meski sudah dicetak, Tetralogi Pulau Buru sempat pula mengalami hambatan dalam proses publikasinya lantaran dilarang beredar karena dinilai mengandung paham kiri.

Awalnya, Pram amat pesimistis karyanya dapat dibebaskan bersama dirinya dan dicetak menjadi buku untuk dibaca banyak orang. Namun, Tumiso sebagai salah satu pembaca setia karya Pram berusaha agar karya Pram dibaca banyak orang. Sejak awal Tumiso yakin, karya-karya Pram adalah karya kelas dunia yang layak dibaca banyak orang.


Sumber : CNN Indonesia
Sumber Gambar : CNN Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini